TITIK BALIK

996 185 5
                                    

Kafe Pojok selepas maghrib adalah hingar-bingar musik dalam redup lampion warna-warni. Pengunjung bergerak membawa masalahnya sendiri-sendiri, berdua-dua atau berapapun kelompoknya. Bercakap-cakap serius atau kadang tertawa terbahak-bahak yang tampil dalam adegan musik. Setiap suara diredam oleh suara-suara yang saling berpadu. Membuat siapapun yang berkunjung di sana merasa bebas menyampaikan apapun, meski itu informasi yang sangat rahasia.

Devi, Erwin, dan Mita duduk terdiam menunggu kehadiran Riswan di salah satu ruang paling jauh dari panggung karaoke, tertutup di antara satir-satir bergambar burung kakak tua. Semuanya duduk dalam kebisuan menikmati alunan lagu yang dilantunkan secara fals. Bukan menikmati, melainkan menunggu jawaban teka-teki yang mungkin telah berhasil dipecahkan Riswan. Ketika teka-teki itu berhasil dipecahkan, maka akan ada penerang lorong yang selama ini gelap-gulita.

Riswan datang terlambat, 45 menit setelah kesepakatan waktu yang ditetapkan. Dia melanglah tergesa-gesa dengan wajah muram. Sudah membayang bagaimana tanggapan ketiga kawannya saat dia sampaikan jawaban yang kurang memuaskan. Dia datang dengan sapaan 'hai' yang disampaikan dengan berat hati. Dia minum capucino yang sudah kehilangan busanya sebelum memulai berbicara.

"Sorry menunggu saya lama," kata Riswan sambil menyorongkan roti bakar berselai strawberi yang sudah hilang panasnya. Ketiganya menunggu dengan menyedekapkan tangan di bawah dadanya, menyaksikan Riswan menyantap roti bakar, menunggu kesiapannya untuk bicara.

"Saya tahu, kamu pasti memberi berita yang tidak bagus. Wajahmu sudah membahasakannya," kata Erwin sedikit sinis.

"Tidak terlalu. Masih ada lilin-lilin kecil yang bisa dijadikan penerang," kata Riswan sambil melirik Erwin yang duduk di sampingnya. Kemudian menikmatinya kembali roti bakarnya. "Sebentar ya, saya masih lapar. Kalau saya lapar itu kurang tenang menyampaikannya. Sambil saya menunggu sampai kalian siap mendapat informasi yang kurang memuaskan."

Mita mulai jengkel dengan tidak memasang senyum. Devi tersenyum kecut.

"Karena pekerjaan ini kalian tanggungkan ke saya ... " katanya sambil mengunyah. Beberapa helai roti melompat dari mulutnya. "Jadi jangan pernah menyalahkan saya apapun hasilnya."

"Inilah cara terbaik untuk membela diri, sebelum kita menyalahkannya," kata Erwin kembali dengan nada sinis. "Dan kamu juga jangan salah, bukan kami yang menanggungkan perkerjaan ini padamu, melainkan kamu sendiri yang memilih untuk menanggungnya."

"Cukup! Tidak ada gunanya kita berselisih. Ris, katakan saja apa hasilmu, kemudian kita buat strategi apa yang sebaiknya kita lakukan di Gunung Belah besok," Devi menengahi. "Dan aku sudah tahu, kamu gagal menemui Seila. Jadi, itu tidak perlu diceritakan." Nada tegas Devi, membuat semua diam.

"Ternyata yang indigo bukan Gris, tapi Prastowo. Imajinasi tentang sapi betina bertanduk, sesungguhnya menjadi milik Prastowo. Bahkan itu lebih dari sekedar imajinasi, melainkan halusinasi Prastowo sejak kecil. Sementara itu, antara Seila dan Prastowo pernah menjadi kekasih di masa remajanya dulu, hanya saja Gris tidak menyadarinya. Mengenai hubungan antara Prastowo dan Gris di masa lalu, semestinya bisa kita tanyakan pada mama Gris. Ini menjadi PR Mbak Devi selanjutnya. Paling tidak malam ini Mbak Devi sudah harus menghubungi mama Gris, sehingga kita dapat cerita lebih gamblang tentang hubungan mereka. Saya sebenarnya sudah mencoba mengorek hubungan mereka pada ayah Prastowo, tetapi sayang dia hanya menganggap hubungan mereka sebagaimana halnya cinta monyet, meski aku membaca dia sebenarnya menutupi sesuatu."

"Jadi kamu menemui ayah Prastowo?!" tanya Mita.

"Ya, ketika aku buntu memaknai komik itu," jawab Riswan.

"Bagus. Itu baru namanya pekerjaan besar dan berani," Erwin akhirnya memuji, meski lebih terdengar sebagai ejekan. Riswan tidak terlalu peduli dengan tanggapan itu.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang