SKIZOFRENIA

1.1K 205 2
                                    

Saat Devi sedang melayani klien, HP-nya berdering. Setelah meminta maaf pada klien, diangkatnya HP itu. Sederet nomor tertulis di sana, tapi tak ada nama. Nomor yang tak dikenalnya.

"Hallo, ada yang bisa saya bantu?" sapa standar sebagai sales.

"Apakah benar ini Mbak Devi?" pertanyaan dari seberang.

"Betul."

"Mohon maaf sebelumnya, saya mendapat nomor ini dari teman kos Mbak Devi. Perkenalkan, saya Rodiyah, mama dari Gris. Sekarang saya ada di rumah kos. Gris kelihatannya masih kuliah. Tapi saya datang ke mari bukan untuk bertemu Gris, melainkan ingin bertemu penanggung jawab kos ini. Bisakah Mbak Devi menemui saya untuk setengah atau satu jam saja?" pinta mama Gris.

"Ada masalah apa ya, Bu?" tanya Devi dengan kerut di wajahnya.

"Ada sesuatu yang penting yang harus saya sampaikan tentang Gris," kata mama Gris.

"Tentang Gris?"

"Ya. Sesuatu yang penting."

"Tetapi saya masih di kantor, Bu. Sekitar jam empat sore nanti pulang."

"Tidak apa-apa Mbak Devi. Kalau diperkenankan saya yang akan datang ke kantor."

"O begitu. Silakan, Bu. Kami tunggu di kantor..." kemudian Devi memberi alamat kantornya. Sebagai penanggung jawab kos, dia tidak bisa berdiam diri kalau terjadi sesuatu di tempat kosnya. Selama ini Devi memang sudah melihat simpul masalah pada Gris. Melalui mamanya Gris, dia berharap simpul masalah itu dapat terurai. Kasak-kusuk antar penghuni kos mulai bermunculan, karena keberadaan Gris dan Seila yang selalu misterius. Pulangnya selalu mendekati tengah malam, bangun kesiangan, dan tak pernah bercengkerama dengan penghuni kos lainnya. Percakapan dengan Gris hanya terjadi di depan kamar mandi.

Tak berapa lama, mama dan papa Gris sudah sampai di kantor Devi. Kantor bercat hijau itu hanya kecil saja, tapi elegan. Ada ruang berkaca hitam yang terdapat loket pembayaran, sementara di depannya tempat duduk yang diset mirip ruang tamu. Papa dan mama Gris dipersilakan menunggu di lobi setelah menyampaikan maksud kedatangannya pada Satpam. Tak tampak kesibukan berlebih pada ruangan itu, kecuali seseorang yang sedang dilayani di depan loket.

Setelah Devi dihubungi resepsionis, dia segera mengatur waktunya khusus untuk menjumpai mama Gris yang sudah ada di lobi. Dia tidak kesulitan memasukkan mama dan papa Gris ke ruangannya dengan mengatasnamakan kepentingan klien.

Setelah berkenalan, percakapan basa-basi, mama Gris pun mulai menyentuh masalah Gris. Dia ceritakan siapa Gris sebenarnya. Dia jelaskan pula kalau Seila itu hanyalah bayangan Gris. Vonis indigo bagi Gris pun disampaikannya. Mendapat cerita semacam itu, Devi tidak bisa menutupi keterkejutannya.

"...Saya sampaikan ini biar Mbak Devi memaklumi perilaku anak saya yang mungkin agak berbeda dengan lainnya," kata mama Gris menutup penjelasannya.

"Perilaku berbeda. Ya, memang kami agak mencurigai itu," kata Devi mulai membuka memori otaknya. "Pantaslah kami beberapa kali salah sapa saat menjumpainya, dalam wajah yang tak berbeda, kadang dia katakan 'saya Gris' dan di saat yang lain dia bilang 'saya Seila'. Tetapi saat kami bercakap dengannya sama sekali tak menyiratkan keanehan. Saya sama Puteri pernah mendengar pertengkaran antara Gris dan Seila di kamar Gris. Hanya saja tidak pernah kami temui mereka berdua secara bersamaan. Ya. Ya. Saya paham sekarang. Ada juga perlu saya laporkan pada Ibu, dia di tempat kos memiliki dua kamar. Yang satu atas nama dirinya sendiri, satunya atas nama Seila. Kenapa ya kami tidak pernah curiga tentang itu? Pantas sekali Gris pernah aku temui tidur pula di kamar Seila. Bahkan dia ambil uang sewa kamar dari lemari Seila," kata Devi. Kejadian-kejadian yang pernah ditemuinya tentang Gris seperti terkuak semua. Mama Gris hanya mendengar sambil geleng-geleng, karena dia merasa juga telah terkibuli. "Lantas apa yang bisa kami bantu, Bu?" tanya Devi kemudian.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang