P. SATOMO

957 181 7
                                    

Devi, Mita dan Erwin kembali mengadakan pertemuan di Kafe Pojok. Kafe Pojok tidak terlalu ramai pengunjung. Seorang pengunjung dan biduan kafe sedang berduet menyanyikan lagu Cinta Mati yang dipopulerkan Ahmad Dani feat Agnes Monica.

Kopi moca menjadi pendamping percakapan mereka yang serius. Pertemuan itu seakan menjadi perkumpulan tiga detektif yang sedang memecahkan teka-teki masalah yang pelik. Gris menjadi objek utama pembicaraan.

"Saya sudah menghubungi mama Gris. Hasilnya positif, Prastowo adalah mantan pacarnya Gris," kata Devi memulai pembicaraan.

"Sebentar Mbak Devi. Tetapi mengapa tak tampak di antara keduanya pernah mengenal begitu dekat. Bahkan, Gris sering memberi kesan kalau dia musuh masa lalunya?" tanya Erwin.

"Saya belum selesai bicara. Ada cerita lain, Prastowo menjadi pacar Gris ketika Gris masih bernama Grisseila. Grisseila adalah kepribadian Gris masa lalu, yang itu agak berbeda dengan Gris yang kita kenal sekarang. Gris masa lalu keperibadiannya didominasi oleh kepribadian Seila yang cenderung pemberontak. Kemudian Grisseila menjalani terapi yang keras, semacam cuci otak, untuk membuang satu kepribadiannya. Akhirnya kepribadian Seilalah yang termutilasi. Dengan termutilasinya kepribadian Seila, Gris dengan nama barunya Grissanti seperti terlahir kembali. Dia tak lagi mengenal Prastowo. Bisa dikatakan Gris mengalami amnesia yang mendekati permanen. Tidak hanya itu, kemampuannya membuat komik pun sempat hilang sama sekali. Makanya, ketika mama Gris tahu kalau Gris membuat komik lagi, dia kelabakan bukan main. Mama Gris berkeyakinan Seila hadir kembali.

"Kembali pada hubungan Gris dan Prastowo. Sekarang kalian bayangkan apa yang terjadi pada Prastowo, ketika pacarnya tak mengenalinya lagi! Saya bisa memastikan di antara keduanya terjadi perseteruan. Bahkan konon, salah satu sebab pelarian Prastowo dari kota B ke kota S karena dipicu rasa sakit hatinya dengan Gris yang tak mengenalinya lagi," penjelasan Devi diakhirinya sementara. Devi memberi kesempatan pada Erwin dan Mita untuk merenung. Di tengah hingar-bingarnya musik kafe, keadaan di antara mereka seketika senyap. Erwin mengaduk-aduk kopi mocanya tetapi tidak juga segera menyorongkan ke mulutnya. Mita menatap kosong pada biduan yang melantunkan lagunya Sherina bertajuk Cinta Pertama dan Terakhir. Hanya Devi yang mencoba menikmati suasana dengan menggerakkan jari-jemari tangannya.

"Ya. Aku jadi paham, mengapa Prastowo selalu memancarkan kebencian pada Gris. Cuma Gris yang mungkin belum menyadarinya," akhirnya Erwin bicara.

"Aku punya ide," kata Mita. "Kita rasanya harus mengenal Gris sebagai Seila."

"Itu ide bagus. Tapi kapan sebenarnya Seila itu muncul? Masalahnya Seila ini fiktif." tanya Erwin.

"Sebenarnya tidak fiktif," Devi memotong. "Saya dua kali pernah menjumpainya pada waktu yang sama, pagi hari. Dia sebenarnya Gris, tetapi mengatakan kalau dirinya Seila. Ketika itu dia saya sapa 'Gris', dia katakan kalau dirinya 'Seila'. Bahkan, aku dan Puteri pernah mendengar terjadi pertengkaran di antara keduanya di kamar Gris. Bayangkan, seseorang bertengkar dengan dirinya sendiri. Artinya saat tertentu memang Gris menyatakan diri sebagai Seila. Hanya saja intensitasnya tidak pernah kita ketahui."

"Kita intai saja dia," usul Erwin. "Bukankah Gris punya dua kamar di tempat kos? Kita intai saja, kalau Gris masuk kamar Seila, berarti dia menjadi Seila. O, ya. Di tempat kos Mbak Devi, selain Mbak Devi siapa lagi yang mengetahui perihal kepribadian Gris?"

"Hanya saya. Karena memang ini rahasia, kecuali orang-orang tertentu saja."

"Terus kalau kita sudah bertemu karakter Seila, apa yang kita lakukan?" tanya Mita. "Apa kemudian kita hantami dia? Kemudian kita usir dia?"

"Sontoloyo! Ya nggak gitu-lah! Kita hanya ingin mengenal lebih dekat Seila. Apa yang dimaui Seila? Dengan mengenalnya, paling tidak kita bisa mengambil langkah selanjutnya," kata Erwin.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang