Sabtu jam sembilan pagi, lelaki gondrong memakai kaos hitam, bercelana jins, sepatu ket dan tas ransel di punggungnya, tampak berdiri di depan pagar tempat kos Gris. Berulang kali dia mengetuk-ketuk pagar, belum juga ada yang keluar. Setelah ketukan yang kesekian dan diketuk keras-keras, Putri mengintip keluar. Dibukanya pintu, tetapi dia tidak keluar sepenuhnya, hanya separuh tubuhnya saja yang terlihat dari luar. Hari Sabtu, menjadi hari libur kuliah.
"Cari siapa, Mas!" teriak Puteri.
"Apa benar ini tempat kos Seila?" tanya lelaki itu.
"Benar!" jawab Puteri.
"Bisakah saja ketemu dengannya? Saya Riswan, teman kantornya."
"O... sebentar!" kata Puteri kemudian menutup kembali pintunya.
Tak berapa lama Devi yang keluar. Dia buka pintu pagar yang masih terkunci. Riswan dipersilakan masuk, kemudian duduk di kursi teras. Devi duduk di pula di kursi seberang berbatas meja. Riswan agak bingung.
Pertanyaan Puteri diulang oleh Devi, "Cari siapa, Mas?"
"Saya Riswan, teman sekantor Seila. Bisakah saya ketemu dengan dia?" tanya Riswan.
"Hanya teman?" tanya Devi berlagak seperti seorang ibu yang mencurigai kehadiran laki-laki bagi anaknya.
"Ya, hanya teman. Mbak ini siapanya Seila, ya?" tanya Riswan.
"Saya penanggung jawab di tempat kos ini."
"Apakah saya salah alamat? Tapi kata Mbaknya tadi katanya Seila tinggal di sini," kata Riswan merasa dicurigai berlebih.
"Ya, beberapa waktu lalu memang ada Seila di sini. Tapi sekarang sudah tidak ada. Yang ada Gris," kata Devi.
"Gris? O, ya. Saya juga kenal dengan Gris. Yang wajahnya mirip Seila itu, kan? Tidak ada Seila, Gris pun tidak apa-apa," kata Riswan.
Devi pun justru yang balik dibuatnya bingung. "Kamu juga kenal dengan Gris?" tanyanya.
"Dia juga teman satu kantor. Mungkin dia nanti bisa mengajakku ke tempat kos Seila yang baru," kata Riswan.
Haruskah aku katakan yang sebenarnya? kata pikiran Devi. "Aku panggilkan dulu, ya," kata Devi akhirnya. Dia teringat pesan mama Gris untuk tidak menyampaikan masalah ini pada orang lain, selain orang yang dipercayanya.
Riswan harus menunggu agak lama. Dikiranya Gris mandi dulu untuk menemuinya, tetapi ternyata Gris keluar dengan apa adanya. Dia cuek dengan masih memakai baju dan celana tidur. Rambutnya disisir sekenanya. Matanya masih memerah karena baru bangun tidur. Dia melangkah dengan sandal spon yang diseret berat.
"Seila tak ada," kata Gris dengan enggan, dan masih berdiri. Tanpa salam. Apalagi jabat tangan.
"Dia pindah kos di mana?" tanya Riswan.
"Pindah kos. Siapa bilang?" tanya Gris heran.
"Mbak yang tadi, yang wajahnya seperti ibu-ibu," kata Riswan.
"Mbak Devi?"
"Mungkin."
"Bagaimana Mbak Devi bisa bilang begitu? Lha wong dia masih di sini. Apa maksudnya dia bilang begitu?"
"Mana aku tahu? Aku tadi juga merasa diinterogasi saat aku tanyakan Seila. Seakan-akan aku ini lelaki yang membahayakan bagi Seila. Dia apanya Seila sih?" tanya Riswan bangkit juga kejengkelannya yang sempat terpendam.
Gris tidak memberi tanggapan. Dia menatap jauh ke depan sambil manggut-manggut. Pikirannya sedang menerobos ke lorong-lorong memorinya, menjadi intelijen atas pernyataan Devi tentang Seila. Kemudian dia mulai memahami, kalau mulai ada intelijen bagi dirinya dan Seila. Ada sebuah upaya subversif untuk memenggal hubungan antara dirinya dengan Seila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gris dan Seila
Science FictionGris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatur dan pemberani. Dari sikapnya ini memancing perseteruan dengan mahasiswa seniornya Prastowo. Perset...