Jam 6 sore, Gedung Serba Guna sudah dipenuhi kesibukan. Itu terjadi sudah sejak jam 10 pagi, meski kesibukannya tidak setinggi sore itu. Beberapa puluh mahasiswa yang menjadi panitia Puncak Peringatan Malam Chairil Anwar hilir mudik mempersiapkan segala keperluan pentas. Dari penataan panggung, pemasangan dekorasi, tata lampu hingga penataan tempat duduk untuk penonton yang dibuat lesehan. Sebenarnya kondisi panggung sore itu sudah siap pakai, tinggal cek lampu dan cek sound saja. Ada dua panggung yang dipersiapkan untuk keperluan acara itu. Panggung satu, berada di ujung timur gedung, ditata sedemikian formal dengan alas berkarpet merah marun. Di atas panggung terdapat mimbar yang dikelilingi bunga-bunga plastik dan ber-beground spanduk besar digital printing berwarna dasar biru dengan ilustrasi wajah Cahiril Anwar. Spanduk itu bertuliskan tema "Membangun Kebebasan Berekspresi dalam Sastra" dan di bawahnya tertulis "Malam Puncak Chairil Anwar, Oktober 2009". Panggung satu diperuntukkan untuk acara seremonial dan pembagian hadiah berbagai lomba, seperti lomba baca puisi Chairil Anwar, Lomba Monolog dan Lomba Menulis Puisi, yang dilaksanakan dua minggu sebelum acara puncak.
Sementara panggung kedua, khusus diperuntukkan untuk pentas Teater Titik Tiga dan pembacaan puisi bebas karya para penyair kampus dan lokal. Acara pembacaan puisi akan dihelat semalam suntuk. Di halaman gedung, di bawah tenda-tenda juga dihelat bazar buku murah oleh para penerbit sponsor. Bazar itu sudah berlangsung seminggu sebelum kegiatan puncak.
Pukul tujuh malam, para mahasiswa penikmat sastra dari berbagai jurusan dan kampus-kampus lain berbondong-bondong ke GSG. Tak ada tarikan tiket, menjadikan gedung cepat dipenuhi penonton. Motivasi terbesar penonton lebih karena pementasan Teater Titik Tiga yang namanya sudah terkenal di lingkungan kampus. Setiap tampilannya selalu dipadati penonton.
Jam tujuh lebih sedikit, ruang sudah hampir sesak. Mereka tampak bergerombol di sana-sini dengan kelompoknya masing-masing, bercakap sambil memangsa kacang rebus atau makanan kecil yang dibawanya dari luar. Bergerombol di sudut depan adalah Prastowo dan kawan-kawannya. Meski dia tampak bercakap dengan kawan-kawannya, matanya tampak mencari-cari sesuatu di ruang itu. Setelah matanya tertumbuk pada dua orang yang bercakap di dekat pintu masuk, Prastowo manggut-manggut. Dua lelaki yang diperhatikannya tampak sedang bercakap santai, yakni Erwin dan Riswan. Mereka baru kenal di ruang itu. Perkenalan secara kebetulan.
"Namaku Erwin. Saya sepertinya belum pernah melihat Mas di kampus ini?" tanya Erwin memulai perkenalan, tidak menyadari kalau ada yang memperhatikannya.
"Nama saya Riswan. Saya diundang Seila. Saya teman kerjanya. Katanya dia ikut dalam pementasan ini," kata Riswan santai.
Erwin sedikit tersengat juga karena baru menyadari kalau lelaki dihadapannya adalah pacar Gris dalam karakter Seila. "Seila. Pasti yang kamu maksud Seila saudara Gris," kata Erwin menunjukkan sikap sewajar mungkin.
"Kamu kenal Gris?" tanya Riswan.
"Tidak hanya kenal. Kami bersahabat. Dia juga menjadi bagian dari pementasan mala mini," kata Erwin bermaksud menggiring Riswan untuk tahu sendiri siapa sesungguhnya Gris dan Seila.
"Begitu ya? Berarti benar dugaanku, mereka memang multi talenta. Mampu bikin komik dengan bagus, bisa akting juga. Hanya sayang belum punya peluang mengaktualisasikan hasil kerjanya. Keahliannya masih dimanfaatkan orang lain. Begitulah kebanyakan seniman di negeri ini, yang muncul di permukaan tak selalu mereka yang unggul. Yang muncul adalah mereka yang mampu bergining, meski kadang harus menjual harga diri." Banyak bicaranya mulai kambuh. Begitulah watak Riswan bila berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya. Taringnya adalah kata-katanya yang selalu menampakkan lagak manusia intelektual. Kata-katanya tidak salah, tetapi sifatnya yang menggurui dan mendominasi kadang terasa menjengkelkan bagi orang lain. "Mereka kadang-kadang tidak segan mengeluarkan rupiah puluhan bahkan ratusan juta untuk mencari nama di hadapan publik. Seila ini sudah jadi korbannya. Komiknya telah diambil alih orang lain. Dia marah besar. Akhirnya saya sebagai pacarnya dibuat repot juga, mencari-cari siapa sebenarnya yang telah mencuri hasil karyanya..." Alur pembicaraan Riswan yang tak putus, membuat Erwin sulit mencari sela untuk menanggapinya. Bahkan, Erwin juga semakin tidak paham maksud alur pembicaraannya. Erwin pun menjadi jengkel ketika Riswan berbangga diri kalau dirinya telah menjadi pacar Seila. Semula Erwin hendak menanggapi pembicaraan Riswan, akhirnya pupus juga minatnya berlama-lama diajak bicara. Akhirnya dia pun memilih diam dan sedikit sekali menyangkutkan kata-kata Riswan di benaknya. Untunglah itu tidak berlangsung lebih lama lagi, karena acara seremonial dimulai oleh seorang pembawa acara yang cantik jelita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gris dan Seila
Science FictionGris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatur dan pemberani. Dari sikapnya ini memancing perseteruan dengan mahasiswa seniornya Prastowo. Perset...