Gunung Belah tak lebih hanyalah perbukitan kecil di lereng gunung Welirang. Posisinya yang tidak jauh dari kota S, Gunung Belah sering dijadikan lokasi perkemahan karena memang disediakan lahan untuk perkemahan. Tampilan Gunung Belah pada titik tertentu cukup menawarkan pemandangan yang eksotis berupa hutan yang masih menghijau dengan aneka pepohonan liar, sungai yang juga mengalir jernih, udara yang segar, serta puncak gunung yang senantiasa berselimut kabut. Eksotisme pemandangannya semakin memiliki daya magnet tersendiri karena ada air terjun kecil yang membelah tebing, dan siapapun bisa menikmati sensasi mandi di bawahnya. Gemericik air sungai yang mengalun lirih berpadu dengan kicau burung menjadi masik alami yang mampu meredakan penat dan suasana santai. Makanya Gunung Belah semakin banyak pengunjungnya selain karena situasi alam yang menggugah semangat, juga disediakan lokasi perkemahan yang cukup luas di berbagai titik yang landai. Terutama malam Minggu banyak wisatawan mendirikan tenda-tenda kecil untuk sekedar menginap semalam berdua-duaan atau mungkin berkelompok. Lokasi perkemahan juga sering digunakan untuk persinggahan bagi para pendaki gunung atau para pecinta alam. Hanya sayang Gunung Belah belum terkelola dengan baik oleh Dinas Pariwisata setempat sehingga tak jarang sampah-sampah sering tampak bertebaran di sana sini sehingga mengurangi kenyamanan. Juga belum tersedia kamar mandi yang memadai untuk menampung seluruh kebutuhan pengunjung, sehingga sering ditemukan wisatawan yang mandi atau buang air besar di sungai. Jelas menjadi tontonan tak sedap saat jalan-jalan kemudian memergoki mereka. Apalagi memergoki tinja yang mengambang di sungai.
Kurang lebih pukul delapan pagi, Riswan dan Devi sudah sampai di lokasi. Mereka menuju lokasi dengan memakai mobil rental Honda Jazz Matic merah menyala. Untuk menuju lokasi perkemahan, mereka harus memarkir mobil terlebih dahulu di lapangan yang memang disediakan khusus untuk pengunjung, karena memang lokasi tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Selanjutnya mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak sedikit menanjak dan berbatu yang sebenarnya masih bisa dilewati kendaraan roda dua. Tas ransel dengan tinggi melampaui kepala berada di punggung mereka. Sepatu ket hitam, celana bersaku banyak, dan T-shirt hitam, seakan-akan mereka pendaki sejati. Hanya saja kulit putih agak pucat yang dimiliki Devi menjadi sangat kontras dengan alam sekitar, sehingga tidak bisa mengelabui setiap mata untuk mengatakan kalau dia pendaki sejati. Pendaki sejati adalah kulit yang terbakar matahari dengan wajah yang jauh dari make-up dan sedikit bertotol-totol.
Beberapa rumah-rumah penduduk setempat tampak tidak terlalu jauh dari lokasi. Rumah-rumah yang sudah dibangun ala-ala bangunan modern dengan aneka ragam warna-warni. Tidak banyak memang, tetapi sudah cukup memberi harapan bagi pengunjung jika memerlukan bantuan, juga memberi isyarat bahwa tidak ada kehidupan primitif di sana.
Samping kiri kanan jalan setapak adalah perdu liar dengan bunga-bunga dan duri-duri. Juga sesekali ada pohon pisang dan singkong yang mungkin sengaja ditanam oleh penduduk sekitar. Juga rumput gajah setinggi dua meter tampak sengaja ditanam berkelompok-kelompok untuk makanan sapi atau kambing. Jalan semakin menanjak ketika memasuki lokasi perkemahan pertama. Ada pemakaman umum berderet-deret sekitar 100 meter sebelum mencapai lokasi.
"Saya bisa membayangkan, tempat ini bisa dijadikan lokasi uji nyali pada malam harinya. Hanya orang-orang pemberanilah yang melewati jalan ini secara sendirian di malam hari," kata Devi dengan nafas terengah. Peluh sudah memenuhi wajahnya. Riswan hanya menanggapi dengan erangan.
Dari tempat parkir sampai lokasi perkemahan pertama, mereka membutuhkan waktu kurang lebih 25 menit. Selanjutnya mereka menghabiskan waktu duduk di atas batu besar sambil menenggak air mineral sepuas-puasnya. Mereka sapukan pandangan ke bawah, sebuah hamparan hijau dan kuning dari petak-petak sawah tergambar jelas. Rumah-rumah penduduk tampak mengintip di antara rerimbunan pohon. Semilir angin mengelus wajah mereka.
"Masih sepi," gumam Devi sambil menyeka keringat di wajahnya.
"Masih terlalu pagi. Dua jam lagi mereka datang. Pengunjung umum biasanya datang sore hari," tanggapan Riswan menatap jauh ke hamparan lembah. "Biasanya agak ke atas sudah ada tenda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gris dan Seila
Ficção CientíficaGris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatur dan pemberani. Dari sikapnya ini memancing perseteruan dengan mahasiswa seniornya Prastowo. Perset...