Tidak bisa dihindarkan, Gris jauh terlambat. Dia sampai kampus, apel pagi sudah bubar. Lapangan depan perpustakaan sudah sepi. Gris bingung, toleh sana, toleh sini, tak seorang mahasiswa pun terlihat di sana. Pastinya mereka sudah menuju kelas-kelas yang disiapkan di gedung-gedung fakultas sekitarnya. Dia sempat bingung harus menuju gedung fakultas mana, karena tiap hari kelas-kelas itu berpindah. Sementara dia tidak membawa buku petunjuk teknis pelaksanaan orientasi. Dari sejak awal dia sudah tidak suka dengan buku itu karena terlalu besar untuk tasnya. Dia berpikir, pokoknya datang ke kampus, kemudian ikut ke mana kelompoknya melangkah, pasti tak akan tersesat. Dia sama sekali tidak menyangka kalau begini kejadiannya.
Gris ingat, kalau di depan perpustakaan dipasang segala informasi berkaitan dengan kegiatan orientasi. Tapi sekali lagi, untuk melihatnya dia pasti akan berbenturan kembali dengan mahasiswa senior, karena di ruang lobi perpustakaan biasanya mereka berkumpul. Tidak ada pilihan kalau kemudian perseteruan harus kembali terjadi, terutama dengan Prastowo.
Bagi Gris di goresan otaknya paling dalam, Prastowo seakan musuh masa lalunya. Pertama kali bertemu dengannya, seakan sudah mengenalnya di waktu lampau. Hanya saja, Gris belum bisa merunut asal usulnya. Apakah itu hanya sekedar perasaan spontan akibat kebencian yang teramat, atau memang Pras pernah benar-benar ada sebelumnya. Atau bisa mungkin, hanyalah pertemuan di alam mimpi. Anehnya, sejak bertemu pertama kalinya, kebencian langsung meruap melalui celah-celah benaknya. Dan kebencian itu selalu tak terbendung.
Sehelai tangan, tiba-tiba saja menggamit tangannya saat Gris sedang mencari-cari informasi di papan depan perpustakaan. Gris yang kaget, spontan menepisnya. Rupanya tepisan itu sudah diantisipasi, tangan itu mencengkeram erat lengan Gris. Cengkeraman tak bersahabat. Gris mencoba untuk meronta, tetapi sia-sia. Mulutnya pun dibekap dengan telapak tangan. Belum sempat melihat wajah penggamit itu, dia diseretnya menuju ke samping perpus. Di sana ada lorong menjorok ke dalam yang menjadi jalan tembus perpustakaan. Rupanya lorong itu selalu terkunci, sehingga membentuk cekungan sempit. Akibatnya si penggamit pun tidak khawatir akan terperhatikan orang lain. Apalagi lorong itu menghadap gedung fakultas FISIPOL yang menjulang. Kalaupun terjadi tindakan sadis di sana, tak seorang pun akan melihat.
Di cekungan itu, tubuh Gris diputar balik sehingga berhadapan persis dengan si penggamit. Si penggamit tak lain adalah lelaki bertampang angkuh, Prastowo.
"Kita punya urusan yang belum terselesaikan," kata Pras pelan tapi penuh tekanan.
"Kamu belum puas menindasku? Apakah kamu akan menindas perempuan sepertiku dengan cara-cara pengecut seperti ini!?" kata Gris menutupi gusarnya.
Pras tertawa mendengar gertak sambal Gris. "Kamu memang perempuan paling gila yang pernah aku lihat. Aku bukan lelaki pengecut seperti yang kamu tuduhkan. Urusan kita tidak ada hubungannya dengan kegiatan orientasi ini. Kamu punya janji yang tidak kamu tepati."
"Apa maksudmu? Aku kira kamu lebih gila daripada aku," kata Gris sinis bercampur bingung.
"Ke mana saja kamu selama ini? Apakah kamu pura-pura tidak mengenalku?"
Gris mengernyit. Mereka saling bertatap. "Kamu mabuk, ya? Ada bau asap dari mulutmu. Jangang-jangan kamu habis menghisap ganja."
"Jangan alihkan pembicaraan!" Pras berang. Kata-katanya melengking. "Kamu ingin menghindar!" Pras menatap tajam. Tubuh Pras merangsek maju. Gris tiba-tiba dibalut rasa takut. Tubuh Gris yang terjepit antara Pras dan kaca lorong. Bahkan wajah Pras hanya berjarak beberapa inchi dengan wajahnya. Sekilas ada tato pentagram di lehernya. "Ingat, kamu punya hutang besar denganku! Bayar sekarang, atau sesuatu yang buruk menimpamu."
Gris semakin tak tahu alur bicara Pras. Ketakutan semakin mendesaknya karena kesadarannya meyakini kalau Pras dalam kondisi tak waras karena mabuk. Saat wajah Pras behadapan sangat dekat dengan Gris, spontan lutut kanan Gris diangkatnya keras-keras hingga menendang selangkangan Pras. Pras yang tidak menyadari itu seketika meraung didera kesakitan yang amat. Pras pun terhuyung ke belakang. Kesempatan itu pun digunakan Gris untuk melarikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gris dan Seila
Science FictionGris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatur dan pemberani. Dari sikapnya ini memancing perseteruan dengan mahasiswa seniornya Prastowo. Perset...