ENERGI MAGIS

1.1K 208 2
                                    

Rumah mewah itu berdiri di perumahan elite pinggiran kota S. Rumah itu berarsitek ala Yunani kuno dengan pilar-pilar besar dan tinggi. Rumah masa kini yang bernostalgia dengan latar belakang kehidupan para filosof Aristoteles, Plato atau Socrates. Rumah itu juga seakan mengenang keangkuhan kerajaan Sparta. Rumah itu semakin angkuh dengan hadirnya pagar yang selalu tertutup dan gerbang tinggi. Sehingga rumah itu kalau dilihat dari luar, hanya terlihat pilar-pilarnya dan atap yang dibingkai dengan ukiran klasik.

Di depan rumah, terhampar taman rumput menghijau, ada aneka pohon palem, bonsai, sansivera dalam pot-pot model klasik, aglonema yang ditanam rapi sebagai pembatas taman dan jalan. Di tengah taman terdapat kolam yang memancarkan air mancur serta patung aquarius yang sedang menuangkan air.

Sebuah mobil Innova berplat nomor L1111SA berhenti di depan gerbang. Sesaat kemudian pintu gerbang terbuka. Pintu itu sudah distel otomatis oleh pemiliknya. Kehadiran tamu termonitor dari dalam. Mobil itu diparkir tepat di depan teras yang berpilar tinggi. Lelaki berperut besar, yang tak lain Mr. Johan keluar dari mobil dengan menenteng tas. Sementara di depan pintu sudah menunggu seseorang lelaki dengan rambut dikuncir ke belakang. Ada bulu-bulu agak kemerahan melingkari wajahnya. Matanya tertutup kacamata minus dengan kaca melingkar kecil.

Keduanya saling melempar salam dan senyum, kemudian bersalaman. Tampak keakraban di antara keduanya. Mr. Johan dipersilakan masuk. Setelah percakapan basa-basi, kemudian Mr. Johan mengeluarkan bendelan dari dalam tasnya.

"Bagaimana menurutmu komik ini?" tanya Mr. Johan menyodorkan pada lelaki itu, tanpa dimulai basa-basi terlebih dahulu. Seakan ada sesuatu yang memaksanya untuk segera menuntaskan keperluannya.

"Pangeran Laron," kata lelaki itu lirih membaca judul di cover-nya. "Karya siapa ini?" tanyanya kemudian.

"Lihatlah dulu! Aku butuh testimony dari kamu. Sebenarnya aku masih keberatan untuk menerbitkannya," kata Mr. Johan.

Lembar demi lembar komik yang masih berupa bendelan kertas gambar itu dilihat secara sekilas. Pada halaman-halaman tertentu dia berhenti, dahinya mengerut, ekspresinya heran. Kemudian dia menaruh komik itu di meja. "Kamu kenal dengan anakku?"

"Prastowo maksudmu?" tanya Mr. Johan.

"Siapa lagi? Itu kan satu-satunya anak laki-lakiku,"

"Wajah tokohnya mirip anakmu kan? Pasti itu yang kamu pikirkan. Awalnya aku berpikir, kemiripan wajah di sini hanya ketaksengajaan. Makanya aku datangi kamu pertama kalinya untuk memberi testimony pada komik ini. Sekaligus ingin memastikan, mungkin anakmu kenal pada pembuat komik ini," kata Mr. Johan.

"Siapa yang membuat komik ini?" tanya lelaki itu.

"Dia belum memiliki nama di komunitas komik. Tetapi dia memiliki talenta yang memungkinkan bisa bersaing dengan komikus-komikus masa kini, meski dia tampak arogan dan kurang disiplin. Namanya Seila," penjelasan Mr. Johan. "Dia belum lama bergabung dengan perusahaan saya. Hanya sebatas penerjemah script saja. Tapi ini murni karyanya sendiri."

"Seila. Sepertinya aku mengenal nama itu," katanya sambil memegang keningnya. "Ya.. ya, aku tahu nama itu. Dia pemenang kontes komik pelajar beberapa tahun lalu. Kebetulan aku jurinya. Waktu itu saya masih tinggal di kota B."

"Betul. Dia berasal dari kota B," kata Mr. Johan menegaskan.

"Prastowo waktu itu juga mengikutinya, tapi dia tidak menang. Dia terlalu percaya diri. Sebenarnya bisa saja aku memenangkannya, tetapi gambarnya masih terlalu kaku. Meskipun dia anakku, aku harus bersikap profesional. Bagiku dia kurang berbakat di dunia per-komik-an. Aku tak bisa membelanya. Hingga kemudian dia frustasi, dan meninggalkan dunia komik. Meskipun saya lama masuk dunia komik, ternyata tidak lantas keahlianku menurun pada anakku. Malah dia sekarang sayik masuk di dunia politik kampus. Bukan tidak mungkin, setelah lulus dia akan masuk dunia politik yang lebih besar. Mungkin itu dunianya yang sesungguhnya. Keahlianku mungkin hanya diwarisi anak perempuanku, Geisa. Tapi tetap dia memiliki gaya yang berbeda denganku. Dia lebih banyak dipengaruhi komik-komik ala manga," kata lelaki itu. "Tapi mengapa wajah anakku ditaruh di komiknya, ya?" tanyanya kemudian.

"Barangkali di antara mereka memang ada hubungan," kata Mr. Johan.

"Aku tak pernah tahu soal itu. Masalahnya Prastowo anaknya sangat tertutup. O ya, komik ini bisa kamu tinggal dulu di sini? Biar aku bisa mempelajarinya lebih dalam," pinta lelaki itu.

"Silakan," kata Mr. Johan.

***

Margo Tedjo, begitu nama lelaki yang menjadi ayah Prastowo. Komikus silat yang cukup ternama. Hanya saja namanya sudah hampir tenggelam setelah munculnya komik-komik impor dari Jepang dan Korea.

Dia cermatinya lebih mendalam cerita lembar demi lembar komik Seila. Seorang Pangeran Laron yang sedang berjuang menjadi raja. Dia sebenarnya sudah menemukan Sang Puteri untuk menjadi pendampingnya. Saat keduanya sudah mengikat janji untuk membuat kerajaan baru, serta membangun bahtera rumah tangga yang akan dilimpahi keturunan, ada monster berkepala sapi betina mengusiknya. Monster itu berjuluk, Penguasa Neraka. Monster itu menjelma menjadi Pangeran tampan. Ketampanannya yang melebihi ketampanan Pangeran Laron, serta memiliki tutur kata lembut manis. Siapapun yang mendengar tutur katanya akan terhipnotis dan hanyut dalam lautan asmara yang tidak terbendung. Tanpa disadari Sang Puteri telah hanyut pada rayuan Pangeran tampan palsu itu. Hingga kemudian dia terbang bersama Pangeran palsu meninggalkan Pangeran Laron menuju kerajaan yang berada di tengah hutan.

Saat Pangeran palsu itu sudah memerangkap Sang Puteri, dia menampakkan kembali wajah aslinya. Betapa kagetnya Sang Puteri melihat kenyataan itu. Dia menyesali semuanya. Tetapi ada jaring-jaring misteri yang membuatnya tidak bisa lepas dari perangkap monster. Dia dimasukkan ke tempat, yang ke manapun dia lari, maka akan kembali ke tempat semula. Tempat mirip labirin yang disekat ruang-ruang transparan.

Sementara Pangeran Laron mencoba mencari Sang Puteri. Dia berikrar akan menghancurkan monster itu. Hanya saja ada syarat tertentu untuk dapat menembus tempat bersemayamnya monster, dia harus mengubah diri menjadi cahaya. Sementara hanya ada satu orang yang menguasai ilmu itu. Orang itu tinggal di sebuah tepian sungai. Jika Sang Pangeran sudah mendapati sungai dengan empat rasa: manis, asin, asam, pahit, maka di sanalah tokoh yang dimaksudkan itu berada. Untuk mendapati sungai itu, Pangeran Laron harus menghadapi berbagai rintang. Rintangan-rintangan itu sengaja dihadirkan oleh Penguasa Neraka untuk menghambat perjalanan Pangeran Laron.

Sampai di sana, cerita terpenggal. Pangeran Laron belum menemukan sungai yang dimaksudkan. Nasib Sang Puteri juga masih mengabur.

Margo Tedjo menaruh bendelan itu. Katanya bersama desah, "Terlalu fantasi, tapi adegan demi adegan tergambar sangat rapi. Ekspresi dan gerakan tergambar halus dan detail, seakan komikusnya terlibat sendiri dalam cerita. Unik, aneh. Seakan aku hanyut dibawa cerita. Komikusnya tidak hanya menggambar, melainkan ikut dalam arus perasaan tokohnya. Mengapa bisa begitu, ya?"

Ditariknya HP dari sakunya. Dihubunginya Mr. Johan. Begitu tersambung, disampaikannya perasaannya sebagaimana barusan yang dialaminya. "Ini menarik, Jo. Layak untuk diterbitkan. Aku siap tanam saham untuk menerbitkannya kalau kamu tidak berani memodalinya."

"Itu kan tidak jauh beda dengan komik-komik fantasi pada umumnya, Go," tanggapan Mr. Johan dari seberang.

"Kamu itu bukan komikus tapi sok tahu komik. Ada ke-khas-an yang sulit ditemukan pada komikus-komikus lainnya. Ada semacam energi magis yang membuat pembaca terhipnotis untuk ikut mencari-cari penyelesaiannya."

"Ah, kamu terlalu melebih-lebihkan," tanggapan Mr. Johan.

"Saya sudah puluhan tahun bergelut di dunia komik, Jo. Tahu persis kelebihan dan kekurangan setiap komik. Sudah, begini saja, kamu cari komikus lain yang mungkin bisa memberi testimony. Mungkin E. Kosasih atau Marga T. atau siapa sajalah yang kamu kenal. Saya jamin komentarnya akan sama." kata Margo Tedjo jengkel.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang