GALAU

1.5K 238 2
                                    

Mungkin pagi itu, Gris berada pada urutan lima besar dalam antrean mandi. Melihat itu, beberapa teman kosnya memberi sindiran. Gris hanya tersenyum. Ada goresan kebahagiaan di wajahnya. Hari itu, hari di mana dia akan masuk kelas kuliah untuk pertama kalinya.

Semua kegiatan pagi, dari mandi, memilih baju, menyisir rambut, Gris lakukan dengan secermat mungkin. Dia pilih baju berwarna ungu dengan sedikit renda-renda di ujung lengan, leher, dan dada sebelah kanan. Bagian bawah dia pilih celana jins bercorak halus warna dongker. Dia ingin menampilkan diri sebagai wanita tulen, tetapi tidak kehilangan warna dirinya sebagai wanita energik. Rambutnya yang sedikit berombak disisirnya dengan hati-hati. Setiap helainya seakan dilarang berkelindan dengan lainnya. Dibiarkan rambutnya yang sebahu tergerai bebas. Dia sudah memotong rambutnya sedikit lebih pendek di salon sederhana kemarin sore. Hanya saat me-make up wajah, dia tak punya selera berlebih, selain juga memang tidak menyukai make up tebal. Hanya sekedarnya saja, berbedak tipis dan lipstick netral agar tak tampak kering saja.Baginya make up adalah topeng yang mengkamuflase keindahan wajah yang sesungguhnya. Baginya pula make up hanya diperuntukkan bagi mereka yang kurang percaya diri.

Langkah Gris tidak lagi tergesa seperti kemarin-kemarin. Sepatu kulit hitam berhak tidak terlalu tinggi, berleher tinggi, dan bertali berderap di trotoar berlubang sana sini. Diliriknya seberang jalan yang berdiri warung tegal milik Bang Jasmin. Tak terlihat lagi dua lelaki yang sedang ngopi, yang selalu mengamatinya. Ada sesuatu yang berkurang saat dua lelaki itu tak lagi ada pada tempatnya. Di sana hanya ada Bang Jasmin yang melongokkan wajahnya, tersenyum, kemudian melambaikan tangannya. Gris pun membalasnya dengan senyum persahabatan.

Sepeda motor laki dengan pengendara berjaket hitam, berhelm teropong, mendadak berhenti di tepi jalan di samping Gris. Lelaki itu membuka kaca helmnya dan tersenyum.

"Ayo," kata lelaki itu yang tak lain adalah Erwin. Tanpa komentar, Gris pun melompat ke jok belakang. Dia tidak lagi mengambil posisi miring, melainkan menghadap depan dengan telapak kaki kiri kanannya ditaruh di atas pedal. Sesaat kemudian, sepeda motor melesat memasuki area kampus. Memasuki jalan-jalan kampus, Erwin tak lagi bisa mengemudikan dengan cepat. Selain padatnya jalan antara para pejalan kaki, pengendara sepeda motor dan mobil, memang ada rambu-rambu yang bertuliskan kecepatan maksimal yang diperkenankan 20 km/jam. Erwin tak langsung menuju fakultasnya, melainkan mengantar Gris ke Gedung Fakultas Sastra yang berada di paling sudut belakang area kampus. Gris diturunkan di gerbang fakultas.

"Kamu nanti perkuliahan sampai jam berapa, Gris?" tanya Erwin sebelum Gris masuk halaman fakultas.

"Sekitar jam satu," jawab Gris sambil merapikan posisi bajunya.

"Kita bisa bertemu, kan?"

"Bisa. Mita juga, kan?"

"Ya jelas donk. Di tempat biasa ya, di warung Bang Jasmin."

"Okey..."

Bersamaan dengan berakhirnya percakapan mereka, mobil sedan merah tua dari arah belakang tiba-tiba membunyikan klakson. Erwin pun terkejut dan menoleh ke belakang. Seorang pria melongokkan wajahnya ke luar jendela, dan meneriakinya, "Mas, tolong motornya segera dimajukan. Menutupi jalan."

Erwin mengernyit untuk memperhatikan lebih cermat lelaki itu. Lelaki itu dikenalinya sebagai lelaki bertampang angkuh, Prastowo.

"Ayo, Mas. Kok malah bengong!" hardik Pras lagi.

"Sudah ya, Gris. Aku ke fakultas dulu. Ada musuhmu tuh. Sampai bertemu nanti," kata Erwin kemudian memutar motornya.

Gris masih berdiri di gerbang mencermati lelaki di dalam sedan itu. Keduanya pun saling bersitatap saat secara perlahan sedan itu menuju samping gedung fakultas, tempat parkir fakultas. Ada stiker Resimen Mahasiswa di bawah kaca belakang sedan itu. Melihatnya, perasaannya pun menjadi kecut. Terkikis sudah gairah hari itu.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang