PSIKOPAT

948 183 2
                                    

Untuk dapat menuju rumah Mr. Johan, Seila harus berseteru dengan Satpam perumahan. Bagaimana tidak, motor Vespa jadul akan memasuki perumahan elite. Satpam menahan mereka di pintu gerbang perumahan.

"Ingin ketemu siapa, Mas?! Nggak lapor, nyelonong saja masuk!" gertak Satpam setelah menghentikan laju Vespa Riswan. Tidak hanya seorang Satpam yang menghentikan, melainkan tiga orang dengan postur ala tentara semua. Tampang garang dipasang di hadapan mereka.

"Ketemu Mister Johan, Pak," jawab Riswan sesopan mungkin.

"Malam-malam begini ingin ketemu Mister Johan. Sudah janjian!" gertak Satpam berwajah gelap.

"Kami karyawannya, Pak! Ada urusan penting! Mala mini harus selesai!" kata Seila mencoba balik menggertak.

"Ini jam malam. Tamu sudah tidak boleh masuk!" kata Satpam meninggi.

"Mana aturannya?" tanya Seila masih diburu emosi.

"Kamu ngelawan!?" kata Satpam merangsek maju. Seila ditarik mundur oleh Riswan. Seila mengibaskan tangan Riswan. Seila mundur karena memang merasa tak mungkin melawan secara fisik tiga Satpam yang sudah mulai jengkel. Seila menarik HP dari sakunya kemudian memencet nomor Mr. Johan.

"Hallo, Sel!" jawab Mr. Johan dari seberang.

"Saya sekarang ditahan oleh Satpam perumahan. Tolong Mister sampaikan pada Satpam-Satpam ini, kalau saya ada perlu yang sangat penting untuk bertemu dengan Mister!" kata Seila keras-keras, kemudian menyodorkan HP-nya pada salah satu Satpam. Selanjutnya terjadi percakapan antara Satpam dan Mister Johan. Satpam itu hanya menanggapi Mr. Johan dengan ya, ya, ya dan ya Pak. Hasil akhir, Seila dan Riswan diperkenankan masuk perumahan.

Pantaslah kompleks perumahan itu dijaga super ketat oleh Satpam. Di setiap gang berderet rumah-rumah mewah yang bernilai ratusan juta per-unitnya. Rumah-rumah yang tidak ingin disentuh oleh orang-orang berkelas teri dengan dalih menjaga keamanan. Perrumahan yang memberi kesan, bahwa orang kecil adalah biang keonaran, biang sampah, dan biang kejahatan.

Rumah-rumah yang relatif sama bentuknya. Rumah-rumah dengan ukuran jumbo, berlantai dua, berpilar persegi yang dirangkai dengan batu alam berukir. Dibutuhkan kepekaan berlebih bagi para buta huruf untuk mengetahui kalau ini rumah si anu dan itu rumah si anu. Pembeda mencolok antara rumah satu dengan lainnya adalah bentuk pagarnya dan warna catnya, selain nomor blok dan nomor rumah.

Pada rumah yang dicat dengan dominasi warna kuning gading, Riswan menghentikan Vespanya. Vespa itu menjadi begitu kontras dengan keadaan rumah. Vespa Riswan mungkin senilai potongan besi tua separuh pintu pagar rumah itu. Perbandingan yang menghinakan.

Tanpa memencet bel, pintu pagar sudah dibuka oleh seorang lelaki kurus yang mereka duga sebagai pembantu Mr. Johan. Tampak Mr. Johan sudah berdiri di teras untuk menyambut kehadiran mereka. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Mr. Johan. Seila menolak permintaan Mr. Johan saat dipersilakan masuk ke dalam rumah.

"Di sini saja Mister," kata Seila langsung duduk di kursi teras sebelum dipersilakan. Mr. Johan berdiri termangu. Riswan pun belum juga mengambil tem pat duduk. Dikeluarkannya buku komik yang baru dibelinya. Dilemparnya komik itu di meja sambil berkata, "Puaskah Mister memperlakukan saya seperti ini?!"

Mr. Johan meraih komik itu, kemudian membolak-balik lembar demi lembar dengan cepat. Sementara kepalanya digelengkan pelan-pelan. Katanya, "Ini bukan perbuatan perusahaanku. Pembajak ini menerbitkan sendiri. Bahkan tidak tercantum alamat penerbit yang jelas, baik berupa Web. atau lokasinya. Tak tercantum pula ISBN-nya."

"Tapi bagaimana dia bisa masuk di toko buku besar?" tanya Seila. "Anehnya, buku ini tidak masuk daftar buku jual."

" Mungkin penulis komik itu hanya ingin melihat minat pasar saja sebelum menggandakannya sebanyak mungkin. Kuncinya ada pada Margo Tedjo," kata Mr. Johan. "Paling tidak dia tahu siapa itu P. Satomo."

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang