Dini hari, Putri terusik dari nyenyak tidurnya. Dari luar kamar terdengar suara. Suara yang berasal dari televisi di ruang tamu kos. Kamarnya yang paling dekat dengan ruang tamu membuat suara itu terdengar jelas di telinganya. Dia mengernyit untuk mengingat-ingat sesuatu karena dirinyalah yang terakhir kali menonton televisi. Dia berprasangka kalau dirinya lupa mematikan televisi itu.
Putri merasa bertanggung jawab jika memang televisi itu masih menyala karena dirinya. Dengan agak bermalas-malas, dia turun juga dari ranjangnya. Diliriknya jam di atas meja, masih pukul 02.30. Dia melangkah menuju pintu. Setelah memutar grendel pintu dibuka sedikit pintunya untuk mengintip keluar. Tidak salah, televisi masih menyala, tapi lampu ruang tamu sudah tak menyala. Ruang tamu hanya disinari cahaya dari televisi. Tak terlihat seorang pun sedang menonton televisi. Bulu kuduknya seketika berdiri. Meski begitu, tetap saja dia memberanikan diri untuk mendekati televisi. Dalam hati dia mengumpat, siapa gerangan yang telah melakukan perilaku tak bertanggung jawab itu. Dalam keremangan dicari-carinya remote controle. Namun benda yang diharapkan tak kunjung ketemu. Barulah kemudian dia mengumpat pada dirinya sendiri, kenapa pula aku tak nyalakan lampunya. Dia pun segera melangkah ke salah satu dinding di mana saklar lampu dipasang. Bulu kuduknya tak juga surut bahkan terasa meninggi. Bahkan tangannya bergetar saat meraba-raba dinding hingga kemudian ditemukan saklar yang dimaksudnya. Lega perasaannya saat lampu ruang tamu berhasil dia nyalakan. Bulu kuduknya pun surut. Dan terlihatlah remote di sofa samping televisi.
Begitu mengetahui remote di sofa, perasaan bersalah Putri pun berkurang. Bukan menjadi kebiasaannya menaruh remote di sana setelah mematikan televisi. Dia biasanya menaruh remote di kotak kecil, di samping televisi. Setelah mematikan televisi, menaruh remote pada tempatnya, kesenyapan pun segera menjalar di ruang tamu. Bulu kuduknya kembali meremang. Setelah mematikan lampu, dia segera masuk ke kamar kemudian melompat ke ranjang. Selimut pun dia tarik hingga menutupi seluruh tubuhnya. Meski matanya dipejamkan rapat-rapat, pikirannya melayang-layang membayangkan kejadian barusan. Nalarnya tetap mencoba meyakinkan kalau peristiwa itu bukan ulah makhluk dari alam lain. Dia tetap meyakinkan kalau ada teman kos yang telah bertindak teledor. Kendati begitu, pikirannya tidak bisa lagi diistirahatkan. Kesadarannya semakin melanglang buana ke rimba raya imajinasi yang semakin menekan, dan melahirkan mimpi-mimpi buruk.
Pagi hari, ketika matahari jauh lepas dari horizon, dia masih tersuruk di bawah selimut. Kepalanya pusing bukan alang kepalang. Pusing bukan karena sakit tetapi lebih disebabkan mimpi buruk yang dilahirkan dari kejadian semalam. Kalau saja dia tidak ingat hari itu hari ketiga Orientasi Mahasiswa Baru, mungkin dia masih akan menghabiskan waktu di kamar tidurnya. Setelah menatap wajahnya di depan cermin, menyisir rambutnya alakadarnya, dia pun melangkah keluar kamar.
Di depan kamar mandi sudah mengantre beberapa penghuni kos. Rupanya Putri dapat giliran paling akhir. Dia harus mengantre di belakang Gris, sedangkan di depan Gris ada Devi.
"Bangun kesiangan, Put?" tanya Devi. Pertanyaan konfirmasi yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Tetapi pertanyaan itu justru seakan mengisyaratkan jawaban panjang.
"Saya semalam terganggu, Mbak," jawab Putri mengadukan sesuatu. Gris yang semula tak acuh, akhirnya menampilkan tampang memperhatikan juga.
"Terganggu apa, Put? Kelihatannya ada sesuatu yang tak nyaman?" tanya Devi lebih tampak sebagai ibu bagi seluruh penghuni kos.
Putri pun kemudian menceritakan kejadian semalam. Ditutupnya pengaduannya dengan nada kesal yang teramat. Gara-gara kejadian itu, dia memastikan akan terlambat pagi itu. Sebelum mendapat tanggapan, dia menyampaikan pertanyaan begitu pelan, "Tapi di sini tidak ada hantu kan, Mbak?"
Devi mengernyit. Gris tersenyum. "Saya sudah lima tahun tinggal di sini, tidak ada masalah-masalah semacam itu. Ya...memang semalam aku sempat melihat ada yang menonton televisi sampai larut. Sepertinya...kamu, Gris?"
"Saya, Mbak?" Gris langsung henyak. Awalnya dia menempatkan diri sebagai pendengar saja, akhirnya dilibatkan juga pada masalah Putri.
"Aku memang melihatnya sekilas lalu saja, waktu hendak ke kamar kecil. Dari postur, potongan rambut, bahkan sampai baju yang dipakai ya...sama persis dengan dirimu. Baju tidur warna pink," kata Devi menyudutkan Gris.
Wajah Gris yang semula memasang wajah tanpa dosa pun bergeser menjadi sosok yang diliputi kesal, tersinggung, dan sedikit berang. Kalau saja Devi bukan orang yang diseniorkan, tentu umpatan yang keluar dari mulutnya. "Mbak Devi, televisi bukan minat saya yang paling utama. Jadi bukan menjadi kebiasaan saya menonton televisi sampai larut malam. Bagi saya rugi menonton televisi sampai larut. Saya orang cerdas yang masih timbang-timbang untuk esok hari."
"Sorry, Gris. Aku hanya menyampaikan prasangka penglihatanku. Mungkin memang penglihatanku yang salah," kata Devi mencoba menurunkan tensi. "Aku harus cari tahu pada yang lainnya." Tatapan mata Devi beralih pada Putri. "Tapi aku kira tidak perlu dibesar-besarkan dulu masalah ini. Toh, kejadiannya juga baru malam ini. Sekali, dua kali lupa itu kan wajar, Put."
"Waktunya Mbak Devi tuh," kata Putri mengingatkan. Seorang perempuan yang baru keluar dari kamar mandi mengangguk kepalanya sebagai tanda hormat pada Devi. Handuknya dibalutkan di kepalanya, tangan kanannya menenteng tas kecil berisi perlengkapan mandi. Melintasi Gris dan Putri, disapanya pula keduanya, "Hei Gris. Hei Put. Aku duluan." Harum sabun meruap ke udara. Perempuan itu mahasiswa ekonomi semester akhir yang terkenal paling modis di kos-kosan. Ada yang menyebutkan dia sebagai gadis BMW, Bodi Melebihi Wajah.
Tinggal Gris dan Putri yang mengantre. Putri hilang keceriaannya. Gris pura-pura tidak tahu. Tiba-tiba ada batas tebal di antara keduanya. Putri seakan menuduh, Gris merasa tertuduh.
Gris pun tak bisa tahan. Dia coba cairkan suasana dingin yang mulai membeku. "Kamu marah padaku, Put?" tanya Gris.
"Apa yang membuatku marah," kata Putri tidak bisa menutupi kesalnya.
"Kamu sepertinya menuduhku kalau aku biang dari kejadian yang menimpamu," kata Gris pelan, memilih kata-kata yang sesuai untuk tidak memancing perseteruan.
"Bukankah Mbak Devi yang menuduhmu. Aku tidak mengiyakan tuduhan itu," Putri berkelit.
"Kamu tidak perlu berbohong padaku, Put. Kalau kamu tidak percaya, aku akan buktikan kalau itu bukan aku biangnya."
"Mengapa harus repot?"
"Karena saya tidak suka perseteruan tanpa sebab."
"Terserah kamu-lah! Gih mandi sana dulu. Mbak Devi sudah selesai tuh!" katanya masih ketus.
Selesai mandi, Gris tidak langsung masuk kamarnya, tetapi masuk ke ruang tamu, kemudian naik ke lantai 2. Ada enam kamar pada lantai dua yang saling berhadap-hadapan. Pada salah satu kamar paling ujung, menghadap jalan, dan menantang matahari terbit, Gris berhenti di depan pintu. Menempel di pintu tertulis: Seila sedang keluar, jika ada pesan tulis saja di kertas berikut ini. Di bawah tulisan itu beberapa lembar kertas memo dibendel dan ditempelkan, juga sudah tergantung alat tulisnya sekaligus.
Gris tak mempedulikan tulisan itu. Dia punya kunci serepnya, sehingga dapat leluasa masuk kamar Seila. Pastinya tak ada orang di dalam kamar itu. Hanya ada kamar yang acak-acakan, selimut tak terlipat, beberapa lembar kertas gambar berserakan di lantai dan meja. Gulungan-gulungan kertas terikat tampak ada di atas lemari baju. Spidol 24 warna pun tak utuh lagi di tempatnya. Separuhnya dibiarkan tercecer di meja dan ranjang. Bahkan, ada yang masuk di tempat sampah bersama robekan-robekan kertas. Ada potongan-potongan gambar tak lagi berbentuk di sobekan-sobekan itu. Gris tak mau tahu tentang gambar pada sobekan-sobekan itu kecuali hanya geleng kepala dan berkacak pinggang saja.
Mendekati meja belajar, Gris terhenti. Di sana tergeletak sketsa dari pensil bergambar istana di dunia fantasi. Istana dalam empat menara dan satu kubah raksasa di tengah-tengahnya. Tembok istana itu berjuntai tanaman rambat yang kacau balau. Di depan istana terlukis taman, kolam dan gazebo kecil di atasnya. Ada putri kecil duduk termenung di taman istana. Sementara jauh di langit ada awan putih berarak, dan kalau dicermati lebih mendalam ada dua mata jahat mengintai sang putri.
Sebelum meninggalkan kamar, Gris menulis sesuatu di kertas kosong dengan spidol warna merah. Kamu telah melakukan perbuatan bodoh yang mengusik privasi orang lain. Sebaiknya jangan ulangi perbuatanmu kalau tidak ingin aku usir dari tempat kos ini. Kertas itu kemudian ditaruh di atas meja, serta ditaruh pula pemberat berupa kotak pensil di sudut kertas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gris dan Seila
Fiksi IlmiahGris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatur dan pemberani. Dari sikapnya ini memancing perseteruan dengan mahasiswa seniornya Prastowo. Perset...