MUSUH BESAR

1.1K 201 14
                                    

Jam 10 pagi. Pintu kamar Gris diketuk.

"Gris," panggil mamanya.

Gris enggan menjawabnya.

"Hari ini mama sudah punya rencana untukmu. Jadi nggak?" kata mamanya setengah berteriak tapi lembut.

"Jadi, Ma!" jawab Gris seraya bangkit dari tidurnya.

"Ingat janjimu. Hari ini kamu akan katakan permintaanku padamu," kata Seila berbisik.

"Tapi dengan caraku," timpal Gris.

Pintu mendadak terbuka. Gris buru-buru mengambil HP-nya. "Gris. Kamu bicara sama siapa?"

"Sama teman, Ma," kata Gris sambil berpura-pura menutup HP-nya.

"O..." kata mamanya dengan mata menyapu seluruh ruangan.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanya Gris. Jantungnya masih berdegup.

"Ada tempat baru yang kamu belum tahu. Cukup menarik untuk kebutuhan refreshing," kata mamanya dengan tatapan disipitkan, dahi berkerut.

"Ya... baguslah. Saya siap-siap dulu, Ma. Saya juga belum mandi," kata Seila memaksa diri untuk tersenyum dan mencoba untuk rileks.

"Kalau kamu bisa mempersiapkan diri dengan cepat, kita tidak akan terlalu kelaparan untuk menunggu makan siang," kata mamanya.

"Sip. Jangan khawatir," kata Gris sambil menarik handuk dari gantungan di sudut kamar. Mamanya masih mencermatinya. Gris kemudian masuk kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya. Beberapa saat mamanya menunggu, berkeliling sebentar melihat kamar Gris untuk mencari-cari sesuatu. Setelah merasa tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, mamanya keluar.

Beberapa saat Gris diam di kamar mandi. Pura-pura menyiramkan air ke sana ke mari. Setelah merasa mamanya keluar kamar, Gris mengintip keluar.

"Mama sudah pergi," kata Gris pada Seila. "Nyaris ketahuan."

***

Innova itu meluncur menyusuri jalan berkelok-kelok. Jalanan itu tidak terlalu luas, tapi aspalnya halus. Tidak ada gonjangan berarti bagi mobil yang melintasinya. Kebun teh menghampar luas bersap-sap di sebelah kanan jalan. Waktu sudah mendekati tengah hari, tetapi bisa dipastikan pagi harinya uadara dipenuhi kabut. Tampak pada daun-daun teh dan rerumputan yang masih basah.

Setelah kebun teh, pemandangan beralih pada sawah-sawah teras siring, bersap-sap membentuk tangga-tangga menuju istana langit. Aneka sayur tertata apik di petak-petaknya. Ada sawi, kol, brokoli, dan wortel. Para petaninya memakai caping dan baju lengan panjang hanyut pada keasyikannya merawat sayur-mayur.

Gris dari dalam mobil tersenyum menyaksikannya.

"Gimana Gris, apakah perjalanan ini cukup menyenangkan?" tanya mamanya.

"Sudah lama saya merindukan suasana semacam ini," kata Gris dengan pandangan masih hanyut ke luar jendela. "Apakah mama masih sekali ini mengajak saya melewati jalan ini?"

"Waktu kamu masih SMA pernah juga lewat sini, tapi mungkin kamu tidak menikmatinya. Memang kamu dulu dan kamu sekarang sudah berbeda," kata mamanya seakan sengaja menggugah memori masa lalunya.

"Begitukah?" Gris pura-pura terkejut. Papanya yang fokus pada jalanan sempat melirik lewat spion demi melihat reaksi Gris. Gris tidak mencoba bertanya lebih jauh tentang dirinya masa lalu. Semalam memorinya sudah sedikit terbuka saat dia temukan gambar komik yang dibuatnya sendiri pada masa yang sudah lewat. Masa yang sebenarnya belum terlalu lama terlewatkan, tetapi terasa waktu itu sudah sangat lampau.

Pada jalan yang kanan kirinya hutan pinus, Innova melambat. Sebuah plang yang menunjuk ke arah kiri bertuliskan "Restoran Pak Raden". Menu masakan yang tertulis di plang itu tidak istimewa, yakni berbagai jenis ikan bakar dan unggas bakar. Jalan menuju lokasi masih berupa tanah. Seperti jalanan untuk memasuki lingkungan primitif. Jalan yang klimis menjadi penanda kalau jalan itu sering dilewati kendaraan. Tetapi kanan kiri jalan pun berbagai tanaman rambar, semak, perdu, dibiarkan tumbuh liar. Ada beberapa bunga perdu tampak bermekaran. Terkesan eksotis memang. Tetapi galam imajinasi Gris di balik semak dan perdu itu bersemayam puluhan ular.

Gris dan SeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang