Bohemian

381 89 17
                                    

"Felix, lu ngerokok ternyata?" tanya Chaewon yang lebih kayak menuduh.

Tiba-tiba dituduh sembarangan, tadinya Felix pengen maki-maki, tapi Felix malah senyum sambil menggeleng karena yang nuduh Chaewon. "Enggak dong, ini punya Om Jae. Orangnya lagi di kamar mandi."

Chaewon ikut bersandar di samping Felix ke pintu bawah yang sengaja gak dibuka. Dua orang bersaudara itu sama-sama mandangin kebon halaman belakang rumah engkong.

Terdengar Chaewon menghela napas. "I'm sorry for what you felt this whole time, Lix, gua gak nyangka lu bakal ngaku ke engkong gak peduli sama tatapan nge-judge saudara yang lain."

Chaewon ngomong begitu karena tadi—setelah Seokjin puas meluk Yuri—Felix dapet giliran ditanya Tante rencana untuk kedepannya dan jawaban Felix adalah, "Felix mau pindah kewarganegaraan. Emang, Felix lahir di sini, ini tanah kebangsaan Felix. Tapi pernah kepikiran gak kalau ternyata orang luar lebih terbuka daripada orang kita sendiri? Felix merasa miris, muak. Jadi daripada stay still in the closet, mending Felix pindah ke lingkungan yang lebih ramah sama orang kayak Felix."

Mengejutkan emang. Beberapa sanak saudara bahkan dengan terang-terangan menatap Felix dengan tatapan menghujat. Engkong, setelah dengar itu dari Felix gak bisa bereaksi apapun, pria lanjut usia itu langsung berlalu ke kamarnya.

Suasana tadi cukup gak enak. Felix yang dipojokkan, gak ada yang merespon. Seokjin, Sowon, maupun Yena dan Yuri gak bisa manatap Felix, pandangan mereka lebih menghindar.

Chaewon yang ngeliat itu merasa tersentil. Makanya itu sekarang cuma dia yang mau berinteraksi sama Felix setelah pengakuan tadi.

Padahal orang kayak Felix tuh harusnya dirangkul.

"Chae," Felix senyum lagi, pokoknya apapun yang terjadi, di depan Chaewon harus tetap senyum. "Makasih udah mau peduli, it means world for me. Alesan gua ngaku yang bikin semua orang kaget tuh, ya soalnya gua merasa waktu gua gak banyak lagi. Seenggaknya gua harus coming out sebelum bener-bener gak sempet, biar lega. Lu ngerti kan maksud gua?"

Alis Chaewon terangkat tinggi, mengernyit karena berpikir. "Waktu lu gak banyak emangnya mau ke mana? Kenapa? Penyakit lu lagi?"

"Sebelum gua jawab semua pertanyaan lu, gua mau nanya satu hal, sekali lagi." Setelah menutup mata menikmati angin sepoi-sepoi kota Palembang pada malam hari, Felix menoleh ke Chaewon di sampingnya. "Lu masih mau maafin gua kan? Buat semuanya. Gua tau permintaan maaf ini gak bakal ngembaliin semua kayak semula, gak bakal ngembaliin waktu lu sama Ibu lu yang kebuang buat ngurusin gua. Sekali lagi maaf, Chae."

Menelan ludahnya ketir, Chaewon sempat menutup matanya, gak mau nangis lagi setelah tadi nangis diem-diem diliatin Felix. Chaewon paling gak bisa nih sama keadaan sendu, mellow begini.

Seakan setelah ini, semua gak akan kayak dulu lagi. Hal yang paling ditakutin Chaewon itu perubahan.

Chaewon itu yang paling susah menyesuaikan diri sama hal baru.

"Jangan sedih-sedihan gini ah. Gua gak mau balik minta maaf, gua gak mau ini jadi terakhir kalinya gua ngobrol sama lu, gua gak mau seakan lu minta maaf tadi buat kata perpisahan. Masih ada lain waktu buat ngelakuin semua itu. Makanya, jangan minta maaf."

Felix agak ketawa saat Chaewon buang muka. Soalnya Chaewon tuh paling gak suka diliatin pas lagi sedih. "Gua mau keliling dunia, Chae. Gak tau kapan balik lagi, mungkin juga gua gak bakal balik lagi. Soalnya lu tau, penyakit gua gak bisa sembuh, sampe sekarang gua masih ketergantungan obat."

"Bukan berarti lu harus nyerah. Bapak bakal bantu biar lu sembuh, Tante Sowon juga pasti mau. Jangan nyerah gitu kenapa sih!"

"Bukan nyerah, gua realistis. Dokter sendiri yang ngomong." Tepat saat Chaewon menoleh ke arahnya, Felix senyum manis banget sampe bikin Chaewon terenyuh. Kalau sedeket ini baru sadar Felix beneran semirip itu sama dia. "Maafin gua ya. Gua mau keliling dunia biar seenggaknya kalo waktu gua udah abis, gua tau uniknya dunia yang sempet gua anggep gak adil ini."

"Tapi masa lu mau mati di negeri orang?!" tanya Chaewon masih keras kepala. Felix ketawa karena muka merengus Chaewon.

"Satu lagi, Chae," tambah Felix ternyata belum cukup kata-kata perpisahannya yang bikin Chaewon mellow malem itu. Felix sempat meringis ragu. "Itu, Yunseong...."

Mendengar nama itu disebut, Chaewon mengernyit dalam. "Kenapa sama dia? Ngomong, Lix, jangan setengah-setengah. Gua gak bakal marah, beneran."

Ngomongnya doang gak bakal marah, dari muka Chaewon aja udah ketauan amarah yang meledak-ledak.

"Yunseong gak ngasih kabar ke lu lagi soalnya gua pukulin, gua suruh ngejauh dari lu," kata Felix hati-hati. Sempat ada jeda karena ngeliat muka Chaewon yang seakan siap mengunyah Felix. "bUKAN tanpa sebab! Dengerin dulu."

Akhirnya Chaewon berhasil mengendalikan ekspresinya. Hari itu ekspresi Chaewon berganti-ganti berbagai macem sekaligus, capek.

"Yunseong deketin lu cuma gara-gara Om Seokjin, disuruh emaknya. Gua gak sengaja denger omongan mereka pas di toko donatnya. Gua ajak ketemuan, gua pukulin juga soalnya kesel ternyata lu cuma dimanfaatin. Kembaran gua lho ini yang dimanfaatin! Maaf ya, gua gak ngomong dulu."

Chaewon juga kesel sih. Lebih tepatnya, harga diri Chaewon yang gak terima. Tapi yaudah lah, udah dibales Felix. "Gak papa, Lix. Makasih udah bilang."

Duh, walaupun Chaewon bilang makasih, tapi tangannya meremas bahu Felix kayak ngelampiasin emosi. Ini kan jadi Felix juga yang jadi samsak.

"Lagian lu kenapa gak sama Bomin aja? Tuh anak cakep, cocok sama lu."

"Apa!"

"Lu sama Bomin aja—"

Belum sempat Felix menyelesaikan kata-katanya karena ngeliat Yena lari ke halaman belakang dengan tergesa-gesa, jelas dia panik. "Yuri! Ada yang liat Yuri gak! Gua nyariin daritadi gak ketemu di mana-mana!"

Dalam sehari banyak hal terjadi sekaligus. Chaewon agak pening.

JO YURIZ: Bukan KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang