|17|

25.1K 1.7K 106
                                    

Haechan masih bergalau ria di kamar miliknya. Cintanya kandas begitu saja sebelum dia mengutarakan perasaannya pada pemuda yang dia sukai.

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Dan pemuda itu masih asyik dengan kegiatannya. Berguling ke sana, berguling ke sini. Tisu bekas dia menangis tadi berceceran di lantai yang dingin.

"Aku harus apa? Tidak mungkin 'kan aku merebut Mark dari dia. Ah, tidak, tidak. Aku tidak serendah itu." pemuda bertubuh montok itu menggelengkan kepalanya saat tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk merebut Mark dari kekasihnya.

"Aku tidak sejahat itu."

Haechan menghembusan napas lelah. Ingin rasanya dia mengutarakan perasaannya. Namun urung dia lakukan. Dia bukan hanya merusak hubungan Mark dengan kekasihnya. Dia juga akan merusak hubungan persahabatan mereka. Dan Haechan tidak mau mengambil risiko, jika dia mengutarakan hal sepenting itu.

"Haruskah aku buang jauh-jauh perasaanku ini?" gusarnya.

Ini salahnya kenapa dia harus menyukai sahabatnya sendiri. Salahnya kenapa perasaan itu tidak dia coba padamkan sedari dulu.

'Kau berhak untuk mendapatkan Mark, Haechan-ah. Pemuda itu, dia hanya orang baru dalam hidup Mark'. Sisi jahat Haechan.

'Jangan, Haechan-ah! Tidak baik merusak hubungan orang lain. Kau ingin hidupmu tidak bahagia, jika melakukan itu? Pikirkan baik-baik.' sisi baik Haechan.

Logika dan perasaannya mulai berperang. Haruskah?

"Aku harus apa?"

Tolong, jangan buat dia menjadi orang jahat.

Jika mencintai akan sesakit ini. Lebh baik dia tidak perlu merasakannya.

🐇🐰🐇




"Pagi." sapa Jeno pada sang Bunda yang tengah memasak sarapan untuk keluarga kecil mereka.

"Pagi, Sayang."

Luhan, Bunda Jeno, dengan telaten memotong-motong daging ayam segar menjadi beberapa bagian yang akan dia gunakan sebagai bahan dasar untuk membuat sup hangat. Cuaca terasa dingin pagi ini, mungkin efek hujan tiba-tiba turun.

"Ayah mana Bun?" tanya Jeno saat tidak melihat kehadiran ayahnya. Tumben sekali, pria paruh baya yang masih tampan itu tidak ada di rumah.

"Ayahmu sedang ada urusan, Sayang. Lebih baik Jeno membantu Bunda menyiapkan bumbu untuk sup."

"Urusan di rumah Mark kah?" tanyanya penasaran.

Tangan kekarnya membantu sang Bunda mengulek bumbu-bumbu yang sudah disiapkan di atas cobek. Luhan tidak terlalu suka menggunakam bumbu yang instan, makanya setiap dia memasak dia akan membuat bumbu sendiri. Tidak apa dia lelah yang penting anak dan suaminya puas dengan masakan olahannya. Toh, menggunakan bumbu yang instan dengan yang diulek sendiri sangat terasa berbeda di lidahnya. Kurang nendang itu bahasa gaulnya.

"Bukan dengan ayah Mark kok. Dia ada urusan dengan temannya. Pamit pada Bunda sih begitu." jelas Luhan. Tangan lentik nan terampil itu dengan cekatan memanaskan minyak setelah bumbu yang diulek Jeno sudah siap.

"Ini saja?" tanya Jeno. Pemuda tampan itu cukup puas melihat bumbu yang sudah dia ulek. Ternyata aku pintar sekali. Batinnya narsis.

"Iya itu saja. Jen, bantu Bunda menyiram tanaman dong." suruh sang Bunda.

"Iya, Bun."

Pria cantik itu menggoreng bumbu tadi di atas minyak yang sudah panas.

Kita tinggalkan rumah keluarga kecil milik Lee Sehun. Sebaiknya kita beralih ke rumah sebelahnya. Ya, betul. Siapa lagi kalau bukan rumah sepupu Jeno.

Panas? [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang