Kata-kata yang membuat gue terdiam, yang membuat kata itu terngiang-ngiang di kepala gue, yang membuat lidah gue kelu, tangan dan kaki semuanya dingin. Kata-kata itu membuat gue mengingat masa-masa kecil gue yang dimana dulu bunda pernah kecelakaan juga. Saat gue masih kecil sekitar umur 2 tahun-an dan disaat gue belum tau apa-apa. Gue teringat dimana jarum infus yang menempel pada tangan sebelah kiri bunda dan kepala yang diperban.
Sungguh, ini membuat gue sedih. Dulu bunda, sekarang ayah, apa setelah ini gue? Nggak. Semoga nggak terjadi. Orang-orang terdekat gue nggak boleh terjadi apa-apa, nggak boleh ada yang nyakitin ataupun disakitin. Tak sadar, airmata gue berjatuhan, kaki gue terasa lemas seperti tidak ada tenaga untuk jalan.
Gue terjatuh didepan kaki Bi Atik, masih tidak menyangka, padahal tadi pagi ayah sudah sarapan, lalu apa yang membuatnya kecelakaan? Apakah ketidaksengajaan seseorang? Atau mengantuk? Ayah saat ini sadar? Apa ayah luka parah? Pertanyaan itu semua memenuhi pikiran gue. Bi Atik langsung memeluk gue yang tengah jatuh di depannya. Suasana berubah, yang tadinya gue senang lalu sedih, tangisan gue pecah seketika.
"Non.. Jangan sedih, ayah nggak apa-apa kok, Bi Atik disuruh kesini karena disuruh bunda katanya titip Avin selama bunda dirumah sakit." Ucapnya seraya mengelus kepala gue dan punggung gue.
Gue masih terus menangis, susah untuk menghentikan tangisan ini. Gue takut banyak hal yang terjadi sama ayah, takut kehilangan ayah, sangat takut. Mau bilang keadaan ayah aja susah, lidah gue terlalu kaku untuk mengucapkan kata 'ayah'.
Gue menghentikan tangisan dengan menghapus air mata gue. Napas gue masih tersengal-sengal dan berusaha membuka mulut untuk menanyakan kabar ayah, "A-ay-ayah g-ggi-mma-na b-bi?" Tanya gue terbata-bata.
"Bibi kurang tau, non mau nyusul aja ke rumah sakit? Bibi tanyain ke bunda ya?"
Gue hanya mengangguk mengerti. Bibi mengambil ponselnya untuk menanyakan ayah dirumah sakit mana, kamar mana dan nomor berapa. Gue berusaha berdiri sambil memegang erat kursi meja makan. Kaki rasanya seperti ngilu, susah jalan. Mumpung Bi Atik lagi nanya, gue mengambil kunci motor terlebih dahulu.
"Non mau kemana?"
"Ngambil kunci motor bi,"
"Loh, motornya dibawa bunda non.."
"Lah itu motor siapa yang didepan?"
"Punya bibi,"
"Loh kok sama?"
"Bibi sengaja pas beli motor minta model itu, biar inget sama non Vina terus hehe.. Kalau mau dipake gak papa non,"
"Enggak ah bi, mau naik ojol aja."
"Ah dipinjem aja dulu motor bibi, nggak apa apa."
Gue menggeleng, gue tetap mau naik ojol aja. Pulang tinggal pakai motor gue yang dipinjam bunda. Biar sekalian buat gantian jaga ayah. Gue membuka ponsel untuk memesan ojolnya. Bi Atik tiba-tiba memberi tau keberadaan ayah dan bunda sekarang, "Non, ayah dirumah sakit Citra Negara, kamar boulvert nomor 203 ya,"
"Iya bi,"
Gue lanjut memesan dan menulis tempat tujuannya. Gue melihat tarifnya yaitu Rp27.000,00, sedangkan uang gue hanya Rp25.000. Ah Bi Atik biasanya suka ada uang recehan kembalian dari tukang sayur.
"Bi, ada uang dua ribu nggak?"
"Ada non, kenapa?"
"Kurang dua ribu lagi bi,"
"Ohh iya sebentar, bibi ambil dompet dulu."
Gue menunggunya sambil berjalan kearah ruang tamu. Tak lama, Bi Atik menghampiri gue dan memberi uangnya. Gue mengucapkan terimakasih padanya, tinggal menunggu ojeknya datang. Sekarang berada didekat supermarket dekat rumah, tandanya sebentar lagi ojeknya kesini. Gue berdiri diambang pintu lalu memutuskan untuk duduk di kursi teras.
"Huft gue harus kuat. Gue harus ketemu ayah,"
Tinn tinn!
"Gojek mbaa!" Panggil bapak-bapak itu dari luar rumah. Gue langsung memakai helm punya gue. Tak lupa gue memberi tau Bi Atik bahwa gojeknya sudah sampai, "Biii, aku berangkat!!"
"Iyaa non, hati-hati yaa! Bibi jagain rumahnya!" Balasnya dari dapur dengan suara sedikit keras agar terdengar sampai luar.
Gue langsung menutup pintu besi rumah lalu keluar rumah dan menaiki tumpangan gojeknya. Cukup jauh rumah sakitnya kalau dari rumah, sekitar 20 menit mungkin ada kalau lancar, kalau mobil mungkin sekitar 30-45 menitan. Kalau motor kan ramping, jadi walau macet tetap bisa selap-selip kanan kiri.
20 menit kemudian gue tiba di rumah sakit Citra Negara, tempat ayah dirawat. Ayah dan bunda pasti sudah menunggu, gue membayar gojeknya dengan tarif yang lebih. Gue langsung masuk kedalam, berlari dengan keadaan kaki yang lemas, tapi gue tetap berusaha berlari semampu gue. Gue mencari keberadaan kamar Boulvert sambil melewati lorong-lorong dengan bau khas rumah sakit. Entah kenapa gue sangat suka bau rumah sakit.
Gue mendapati meja security yang sedang dijaga oleh satpam. Gue menghampiri satpam tersebut dengan nafas yang tidak beraturan. Gue bertanya tentang keberadaan kamar itu, kamar Boulvert. Ia menjelaskan dengan lengkap dan mudah dimengerti, "Mbak nanti tinggal masuk pintu ini, nanti lurus sedikit nah lorong kedua itu kamar Boulvert ya."
Gue mengangguk mengerti, "Terimakasih pak."
Gue langsung menuju arahan yang tadi dikasih tau pak satpam. Gue sampai di lorong kedua, kamar boulvert. Disini banyak kamar, nomornya ratusan, gue harus cari kamar nomor 203, kamar ayah.
Gue melihat sekeliling dengan teliti. Akhirnya gue menemukan kamar bernomor 203 itu. Gue langsung berlari kearah kamar itu, "Ayah, aku datang,"
Gue membuka pintu kamarnya pelan, terlihat sesosok laki-laki paruh baya yang terbaring di atas ranjang, selang infus yang ada ditangan kirinya, dan alat untuk bernafas yang terdapat di hidung nya. Sesosok perempuan paruh baya juga terlihat sedang duduk di samping ranjang, dengan kerudung berwarna coklat susu serta baju berwarna hitam dan celana berwarna coklat tua.
Ceklek..
Bunda menoleh kearah suara pintu dengan mata yang membendung karena tangisan. Gue masuk kedalam kamarnya, masih tak menyangka bahwa ayah benar kecelakaan. Oh no! I'm shocked. This really make me speechless.
"B-bun?" Tanya gue sambil menutup pintu dan menghampirinya.
Gue langsung memeluknya erat. Ya, sangat erat. Bunda hanya bisa menangis sesenggukan didalam pelukan gue, begitu juga gue, menangis sesenggukan melihat ayah terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus yang banyak. Kepalanya diperban, lehernya dipasangi Cervical colar atau alat penyangga leher. Mungkin ayah mengalami pendarahan di bagian hidung.
Gue menenangkan bunda, melepas pelukannya dan mengusap-usap punggungnya. Gue mengelap air mata kesedihannya, rasanya ingin berteriak sekuat-kuatnya, tapi jiwa ini tak mendukung seolah-olah gue tertahan di satu titik.
Gue mencoba tarik nafas sedalam-dalamnya lalu membuang dengan perlahan. Gue melegakan hati untuk bertanya kondisi ayah saat ini, "Huft, bun, ayah gimana sekarang?"
"Vin.." Lirihnya.
"Iya, bun?"
"Kamu harus terima semua yang terjadi ya?"
Degg degg degg
"Tadi ayah di CT scan, kata dokter, kepala ayah kena benturan keras, kemungkinan besar ayah bisa amnesia, Vin." Lanjutnya.
H-hah?
Helaw guis, maap yaa slow update😭🙏🏿
Tetep voment-!
Maaf kalo garing:(
KAMU SEDANG MEMBACA
AVIN [[Slow Update]]
Ficção AdolescenteAvin, mahasiswi berusia 21 tahun yang duduk dibangku kuliah fakultas akutansi memiliki keunikan tersendiri pada dirinya. Ia terjebak didalam suatu masalah yang sangat rumit, sehingga ia sering bolos kuliah. Alvin, mahasiswa berusia 23 tahun yang sed...