Nadine

30 4 9
                                    

Saat itu Zahira bercerita dihadapan gue dan bunda. Zahira bercerita bahwa ia mendengarkan isi curhat dari temannya itu. Temannya menangis karena ketidaksukaan gue dengan Alvin. Gue terus mengernyitkan dahi. Gue terheran-heran. Gue dekat dengan Alvin saja sudah nangis, gimana kalau gue beneran jadian sama Alvin?

Zahira terus bercerita, "Nah terus kemarin temannya Nadine atau bisa dipanggil Karin itu cerita ke gue. Katanya dia yang nabrak ayah lo, Vin."

Gue spontan memukul meja ruang tamu, "BAGI NOMOR DIA ATAU KITA NGGA TEMENAN LAGI!?"

"Vin, lo dengerin gue dul—"

"ALAH APAAN MAU DENGERIN PENJELASAN LO LAGI? BAHH, APA YANG MAU DIJELASIN LAGI? JELAS-JELAS NADINE SAMA SURUHANNYA UDAH KETERLALUAN KOK!" Gue sontak berdiri dan membentaknya lagi karena emosi gue yang menggebu-gebu.

"Nak, udah, ten—" Bunda ikut berdiri dan menenangkan gue yang tengah emosi. Bunda menuntun gue untuk duduk kembali tapi gue menolaknya.

"APA?! GIMANA AKU MAU TENANG BUN, HM? JELAS AYAH YANG JADI KORBANNYA! KENAPA HARUS AYAH? KENAPA GAK AKU AJA YANG KETABRAK BIAR MATI SEKALIAN, HM? KENAPA YANG DITABRAK HARUS AYAH, YANG DIA BENCI KAN AKU, BUKAN AYAH! AYAH ENGGAK ADA SANGKUT-PAUTNYA SAMA SI BANGS*T ITU BUN!"

"Alvina.. Jaga omonganmu nak, astaghfirullahaladzim, istighfar kamu.."

"APA? GAK BOLEH YA NGOMONG BANGS*T KE DIA? DIA PANTAS UNTUK DIKATAKAN BANGS*T."

Gue mengalihkan pandangan dan omongan dari bunda ke Zahira, "Hira, kasih tau dimana Karin sekarang!"

"Dia ada di kostnya, kalau mau ketemu, ayo gue anter."

Walaupun gue se-marah apapun, se-emosi apapun gue, Zahira tetap bersabar. Ia menerima semua sifat gue, ia tetap tenang dan bersabar ketika gue emosi. Kalau juga Zahira ikut emosi, Zahira memilih untuk diam dan tak ingin diganggu. Bisa-bisa kena semprotan maut dari mulutnya.

Gue pergi ke kostnya Kiran bersama Zahira. Bunda gue tinggal dirumah, takutnya bunda ikutan sakit karena melihat gue yang daritadi emosi. Bunda sangat membenci yang namanya keributan dan bertengkar. Oleh karena itu, gue menyuruh Bi Atik menemani bunda dirumah untuk beristirahat.

Gue pergi menggunakan mobil Zahira. Ya, Zahira sudah bisa menyetir sejak awal kuliah di Surabaya. Di dalam mobil Zahira, gue hanya melamun melihat jalanan yang begitu ramai, gedung yang bertingkat sangat tinggi, busway yang sedang mengangkut penumpang didepan halte.

Lama perjalanan sekitar 30 menit akhirnya sampai tujuan. Zahira memarkirkan mobilnya didekat lapangan karena mobilnya tak cukup jika masuk ke dalam gang sempit. Gangnya cukup dekat dengan lapangan maka dari itu gue dan Zahira tidak usah capek-capek berjalan.

Sebelum gue menemui suruhan brengsek itu, Zahira menelfonnya terlebih dahulu untuk memastikan Karin berada di kostnya.

"Yuk," Ajak Zahira. Iya berjalan terlebih dulu karena Zahira yang tau kostnya.

Tak lama, kami sampai didepan kost milik Karin, "Ini kostnya, Vin. Tunggu disini dulu, dia lagi ganti baju." Ujar Zahira sambil mengeluarkan ponselnya dan memilih sandaran ditembok rumah orang.

"Alah kelamaan, gue mau dobrak!"

"Eh jangan! Nanti lo suruh ganti pintunya, mau lo?!"

"Gantiin pintu mah kecil, tinggal ambil duit tabungan gue juga jadi. Mending mana sama gantiin nyawa orang yang jelas nggak ada sangkut-pautnya sama gue? Ck!"

Zahira terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan gue. Benar juga kan? Mengganti pintu itu hal yang mudah daripada disuruh menggantikan nyawa seseorang. Bodoh!

Brakkk!!!

"HEH KELUAR LO SINI! DASAR PEMBUNUH TAK BEROTAK!" Sergah gue dengan mata yang tajam tertuju pada seorang gadis yang sedang mengikat rambutnya di depan cermin kostnya.

Zahira dengan cepat memeluk gue yang sedang berada didepan pintu kostnya. Pintunya rusak, bolong karena tendangan gue. Amarah gue tak bisa dibiarkan lagi, sudah di depan mata apalagi yang harus gue perbuat kalau bukan mendobraknya? Nggak mungkin gue menunggu di depan kostnya, ck gue ga butuh waktu untuk menunggu.

Gadis itu dengan cepat menoleh ke arah sumber suara, ya, gue. Ia seolah-olah terkejut. Mukanya mendadak memerah, ia memandang gue seperti tidak menyangka akan kehadiran gue saat ini. Ia lalu berganti pandangan ke arah Zahira yang sedang memeluk gue dari samping.

Ikat rambutnya terjatuh dari tangannya, rambutnya yang bergelombang itu kembali terurai. Gue memasuki ruangan kost yang sangat berantakan itu. Bau, banyak baju yang belum dirapihkan, piring bekas makan belum dicuci, dan masih banyak lagi.

Gue sedikit melihat sekeliling, "Ini ya yang namanya kost pembunuh? Ck. Bau busuk! Sama seperti orangnya, jarang mandi ya lo? Haha pantes bau."

"Lo ngapa diem ae? Ga berani lo sama gue?" Lanjut gue.

Gue melepas paksa pelukan Zahira. Gue mendekati gadis itu perlahan. Ia hanya menatap gue dengan penuh ketakutan. Makna matanya seperti sedang kebingungan, seperti ingin mencari tempat berlindung tapi ia tak tahu akan berlindung kemana.

Ia terus mundur, mentok tembok. Ia tak bisa berlari kemana-mana sedangkan gue justru bisa berbuat se-enak gue, mencekiknya pun bisa.

Cuiih..

Gue menghindar dengan cepat dan langsung menampar gadis yang bermuka seperti penghuni Jahanam itu, "Bener-bener autis ya lo,"

"Mending lo ngaca ya beb, lo pake gamis panjang, kerudung panjang tapi labrak cewek se-enaknya aja, haha. Siapa yang lebih tak beradab dan berakhlak men? " Jawabnya santai.

"GUE GA PEDULI PAKAIAN GUE MAU GAMIS MAU BAJU ROMBENG KEK KALAU EMANG LO SALAH YA TETEP GUE LABRAK BODOH!" Gue mendorong kepalanya sedikit kencang ke tembok.

"Aa-aduh," keluhnya.

"MATI AJA LO DAJ*AL! KEPALA KAYA BENJOLAN BISUL AJA BANGGA LO HAHA, BRENGS*K!" Lanjut gue.

"Avin.. innallaha maa assobirin.." Zahira menghampiri gue berniat untuk menenangkan hati gue yang daritadi bergejolak seperti gejolakan api.

"Gue tuntut ya lo ke polisi. Ayo Ra, kita pulang."

Gue langsung pergi dari kost Karin dengan raut wajah kesal. Wajah gue seperti lipatan kertas yang hendak dibuang ke tempat sampah, ya kurang lebih seperti itu lipatannya.

"EH, VIN! TUNGGU!" Teriak Zahira sambil berlari mengikuti gue.

Gue pergi menuju mobil Zahira. Tak lama menunggu, Zahira membuka mobilnya itu. Gue dan Zahira langsung masuk ke dalam mobil agar tidak kepanasan juga.

Gue mengambil botol air mineral di jok bagian tengah mobil Zahira dan makanan ringan chiki, "Vin, lo yakin mau laporin mereka berdua ke polisi?"

"Yakin lah masa iya ngga," Jawab gue sambil membuka tutup botol air mineral. Gue menaruh botolnya di pintu mobil, tepatnya di tempat botol yang sudah seharusnya digunakan sesuai fungsinya.

"Emang lo mau ngelapor kemana?"

"Kantor polisi lah masa ke pom bensin."

"Ya tau gue, tapi kan kantor polisi banyak, Vin."

"Ngga tau, liat nanti."

"Vin,"

"Apalagi?"

"Pak Revan kan polisi,"

























.
.
Hai gais, berjumpa lagi dengan sayeu, author terakhlak.asik
.
.
Thanks voment-nya readers-! (~ ̄³ ̄)~

AVIN [[Slow Update]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang