Ayah sakit

40 6 4
                                    

Sekitar jam 2 siang, gue dan Alvin pulang, menaiki motor ninjanya lagi sambil membawa segelas plastik kopi mochaccino, favorit gue. Gue suka kopi dari umur 10 tahun, bukan dikenalkan tapi sengaja mencoba karena banyak orang yang bilang bahwa kopi itu pahit, sepahit apa sih sampai banyak orang yang nggak doyan? Akhirnya dengan menghilangkan rasa penasaran gue mencicipi sedikit kopi milik ayah.

Manis, tidak pahit sama sekali, aneh, apa lidah gue yang keturunan ayah?
Enak rasanya, membuat gue ketagihan saat itu, tapi bunda melarang gue meminum banyak-banyak karena masih kecil.

"Vin, lo tadi kenal sama temen gue?" Tanya Alvin ditengah perjalanan.

"Kenal Vin, dulu dia ketos di SMA gue." Jawab gue santai.

Walaupun gue ingin menjawab, "Kenal lah orang dia halu gue dulunya." Tapi tidak jadi karena itu terlalu terbuka. Bisa-bisa nanti dibilangin beneran ke Arkan. Bisa mampus gue nanti.

"Jangan panggil gue Vin Vin, nanti nyamain nama lo, Al aja, khusus lo manggil gue Al."

"Ya in dah, oh iya tadi kok Arkan manggil lo 'gip'?"

Oh iya! Fawwas Alvin Al Ghifari. Temannya, Arkan, memanggilnya Ghifari karena mungkin Alvin adalah teman akrabnya? Atau memang dulunya dipanggil Ghifari? Kalau gue coba tebak, mereka memang sudah berteman lama dan dulunya Alvin dipanggil Ghifari.

"Oh iya deh, nama lo kan ada Ghifari nya, baru inget gue,"

"Lo tau nama lengkap gue darimana?"

"Darimana aja."

"Darimana ga?"

"Kepo! Brisik!"

Ya, gue tau nama lengkapnya dari Facebook Alvin yang sudah lama tidak aktif. Disana terdapat biodata Alvin. Sedikit lengkap, termasuk nama lengkap Alvin pun tertera disana.

Gue menggesekkan tangan ke layar ponsel keatas, gue scroll kebawah dan menemukan postingan Alvin yang masih memakai seragam putih biru dan terlihat sangat ceria, ada yang sendiri, bergaya dengan tangan membentuk ceklis lalu ditaruh di bawah dagunya, seperti gaya sok ganteng dan ada juga foto bersama teman-temannya.

Ia berdiri sedikit bungkuk dengan tangan yang menopang dilutut sebelah kiri. Tangan sebelah kanan membentuk huruf V. Raut wajahnya terlihat seperti songong, ya mungkin memang songong dari dulu sampai sekarang, ups.

Gue melihat fotonya sambil bergidik geli waktu itu, nyatanya dulu Alvin pernah alay juga. Di postingan paling bawah terdapat foto selfienya yang memakai 4 grid. Memang manusia itu tak pernah sadar jika dulunya pernah alay juga.

Tiba-tiba motor yang gue tumpangi berhenti, melihat ke sekitar nampaknya ramai kendaraan yang berhenti juga, dan didepan terlihat dua orang laki-laki sedang berkelahi ditengah jalan dan 3 bapak-bapak yang berusaha melerai keduanya.

"Al, itu berantem kenapa?"

Alvin hanya menaikkan kedua bahunya pertanda dia tidak tau akan kejadian tersebut. Entah mungkin ada salah satu yang tersenggol? Atau bisa jadi yang lain? Tapi terlihat seorang ibu dengan anaknya yang berdiri didepan sebuah warung, anaknya masih kecil dan menangis memeluk ibunya. Ibunya juga menangis melihat suaminya berkelahi.

"Bisa jadi ketabrak," Jawabnya lagi.

"Udah, ayo jalan lagi, ga usah diliatin. Orang gelud kok diliatin."

"Mau jalan gimana? Dia aja berantemnya tengah jalan, kalo dia ketakbrak ntar masalah lagi."

"Ya pelan-pelan lah jalannya, sambil diklakson."

"Bentar ih, susah tau!"

"Buruan ih dia mah, panas nih! Pusing pala gue!"

Alvin berdecih, "Iya-iya! Bawel banget!"

Gue tidak meresponnya, sudah keburu badmood gue nya. Gue nggak suka panas, dari dulu. Entah kenapa gue nggak tau, tapi kata bunda, dulu gue sering pusing lalu mimisan setiap kena panas. Lalu bunda melarang gue panas-panasan, harus ditempat yang teduh, kalau main nggak boleh sampai siang dan itu terbiasa sampai sekarang. Mungkin itu sebabnya gue nggak suka panas.

Tak lama, kami berdua sampai dirumah, gue turun dengan hati-hati dari motor, biasa takut kopinya tumpah. Helm gue lepas lalu membuka pintu pagar dan menaruh helmnya di atas kursi teras lalu kembali ke depan rumah untuk menutup pintu.

"Makasih Al,"

Ia hanya membalas anggukan kecil. Ia mengeluarkan ponselnya, banyak notif mungkin, daritadi geter-geter soalnya.

"Lo udah tau informasi belom?"

"Emang ada?"

"Lah, padahal kelas sendiri juga mau jalan-jalan,"

"Hah? Jalan-jalan? Emang kelasan gue ada jalan-jalan? Kemana Al? Kok gue ga dikasih tau sama dosen gue?"

"Bawel lo! Gue aja dikasih tau sama dosen gue,"

"Dosen gue ga update kali ya? Ga tau deh gue, lo ada field trip juga?"

"Ada, tahun ini katanya fakultas akutansi sama kedokteran. Beda bus kayanya,"

"Ya iyalah! Masa satu bus kan beda fakultas kita! Aneh aja. Dah ah gue mau masuk, pusing kepala gue,"

"Ya udah, Assalamualaikum ukhti,"

"Hmm wa'alaikumussalam akhi,"

Gue masuk kedalam rumah dan mengucapkan salam, terlihat ada sesosok wanita paruh baya yang sedang berbenah didapur. Gue berniat untuk mengagetkan bunda, sesekali membuatnya kaget hehe.

Gue jalan mengendap-endap, mengintip dibalik dinding, melihat kanan kiri depan belakang agar tidak ketahuan. Gerak-gerik gue seperti maling yang akan mencuri barang.

Gue memasuki dapur perlahan dan menghampiri wanita paruh baya itu. Terlihat warna rambut yang berbeda, rambut bunda berwarna merah tapi kenapa kali ini berubah menjadi hitam? Apa bunda menghapus cat rambutnya tadi? Ah biar!

Gue berdiri persis dibelakangnya, jantung berdetak sangat cepat seperti sedang marathon. Jari gue refleks menghitung mundur secara pelan-pelan dan berbisik, "Tiga.. Dua.. Satu.."

"DDAAAA!!!!!"

"WAAAAA!!!!"

Loh kok suaranya beda?!

Gue terkejut bukan main, ternyata bukan bunda yang sedang berbenah dapur. Gue takut kalau wanita paruh baya itu marah ke gue karena gue jahil. Jantung gue berdetak semakin cepat serasa mau copot. Lalu wanita itu membalikkan tubuhnya cepat,

"BERANI-BERANINYA YA KAM—"

"Loh? Bi Atik? KOK ADA BIBI DISINI?!"

"Loh? Ini non Vina? Wah, kamu udah sebesar ini ya!"

"BI ATIIIKKK!!!! VINA KANGEN!" Gue sigap memeluk Bi Atik, ia pun membalas pelukan gue.

Ya, Bi Atik adalah seorang pengurus rumah ketika gue berumur sekitar 4 tahun. Bi Atik diamanahkan untuk menjaga rumah dan menjaga gue saat itu, karena ayah bunda kerja. Mereka tak tega meninggalkan gue sendirian dirumah, apalagi gue masih kecil, jadi Bi Atik lah yang menggantikan.

Bi Atik meninggalkan rumah ini sekitar 7 tahun yang lalu saat gue pertama kali masuk SMP. Gue dilatih mandiri saat itu, lalu saat kelas 9 bunda berhenti kerja karena gue mau ujian, fokus sama anaknya katanya.

"Bi, bunda mana?" Tanya gue sambil melepas pelukannya itu.

"Loh nggak dikabarin sama bunda?"

Gue hanya menggeleng dan memasang wajah kebingungan, "Emang bunda kenapa bi?"

"Ayah kecelakaan,"

"..."





























Voment jangan lupa😭🙏🏿
Maapkeun ini sibuk authornya ehehe, semangat bacanya<3

AVIN [[Slow Update]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang