Chapter 8

152 23 18
                                    

*~selamat membaca*~

Pagi ini, pemandangan di meja makan terlihat berbeda dari biasanya. Ada Lisa yang sedang berkutat dengan kegiatannya di dapur, membuat Andin menautkan alisnya heran. Biasanya pagi-pagi sekali, Mama nya pasti sudah berangkat bekerja. Tapi kali ini jam sudah menunjukkan pukul 06.30, dan Lisa masih mengenakan pakaian rumahan.

Suara langkah kaki Andin yang beradu dengan lantai, membuat Lisa menoleh dan menyambut kedatangan putrinya dengan senyuman. Lisa menyuruh Andin untuk duduk dan sarapan bersama. Di meja makan sudah tersaji nasi goreng dan telur mata sapi, makanan kesukaan Andin dari kecil. Mau tidak mau, Andin tidak bisa menolak.

Lisa menyendokkan nasi goreng beserta telur mata sapi ke piring untuk Andin.

"Segini cukup?"

"Cukup."

Lisa melihat raut wajah Andin yang berubah, ketika satu sendok nasi goreng masuk kedalam mulutnya. Lisa berfikir bahwa masakannya tidak enak, dan tidak layak untuk dimakan, makanya Andin menunjukkan raut wajah yang seperti itu.

"Gak enak ya, masakan Mama?"

"Enak, Kok."

Lisa tersenyum miris, "raut wajah kamu gak meyakinkan gitu."

"Ini beneran enak, serius. Nih," Andin berusaha terlihat lahap memakan sarapan yang Lisa buat. Nyatanya memang masakan ini tidak terlalu enak, tapi masih layak untuk di makan. Andin hanya menghargai usaha Mama nya.

"Jangan di lanjutkan, Nak. Mama tau kok, Itu gak enak."

"Ini emang gak seenak masakan Bi Yani, tapi makanan ini mubazir kalau di buang. Lagipula, masih layak untuk dimakan."

Andin benar-benar menghabiskan sarapannya tanpa sisa. Senyum haru tercetak di wajah Lisa, putrinya mau melahap masakannya saja itu sudah membuatnya senang.

Setelah menghabiskan segelas susu yang dibuatkan oleh Lisa, Andin pamit berangkat ke sekolah, diantar oleh supir pribadi Mama nya. Setidaknya ini langkah yang baik untuk Lisa memperbaiki semuanya.

******

Andin baru saja sampai di sekolah, kedatangannya disambut dengan tatapan serta bisikan-bisikan dari para siswi SMA Satelit. Andin melihat penampilannya, menurutnya tidak ada yang aneh sampai mereka menatap Andin seperti itu.

"Andin anak orang kaya?"

"Seriusan?"

"Itu dia diantar siapa?"

"Gila! mobilnya mewah banget."

"Main sama Om-Om kali."

Begitulah bisikan-bisikan yang terdengar di telinga Andin. Mungkin mereka semua orang heran, penampilan Andin yang terlalu biasa saja, ternyata anak orang kaya.

Andin tidak pernah menunjukkan kekayaan orang tuanya, Andin selalu tampil dengan kesederhanaan yang dia punya. Tak heran jika tidak banyak orang yang tau latar belakang keluarga Andin. Di sekolah hanya Bagas dan Danu yang mengetahuinya, dan kedua sahabatnya itu selalu menutup mulut rapat-rapat indentitas Andin sebenarnya.

Andin melanjutkan langkahnya, melewati koridor kelas X. Masih ada beberapa siswa/i yang berlalu-lalang, karena bel masuk masih lima menit lagi. Tatapan mereka membuat Andin merasa terintimidasi. Andin mempercepat langkah kakinya agar segera sampai di kelas.

"Hari ini orang-orang pada kenapa, sih!" Gerutu Andin ketika bokongnya sudah menduduki kursi.

"Lo kenapa?" Tanya Bagas bingung.

"Lo tau? Tadi gue baru aja sampe sekolah, semua orang pada ngeliatin gue, kaya macan mau nerkam mangsanya."

"Berangkat sama siapa tadi?"

AndiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang