12

23.9K 1.4K 81
                                    

Happy reading ❤️❤️

Rama menutup laptop, kemudian merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Karena terlalu lelah bekerja di kantor akhirnya Rama memutuskan untuk membawa pekerjaan tersebut ke rumah dan mengerjakannya di ruang tamu, bukan di ruang kerjanya. Rama mengambil ponselnya di atas meja untuk melihat waktu. Ternyata sudah jam sebelas lewat dua puluh. Tapi dari tadi adik tunggalnya itu belum kembali dari sesi pemotretannya. Tepat saat itu, bel rumahnya berbunyi, Rama segera berdiri dan membuka pintu. Rama sangat terkejut kala mendapati Susan yang pulang dalam keadaan mabuk. Rama segera memapah tubuh adiknya itu agar tidak jatuh.

"Astaga Susan, kamu mabuk?" tanya Rama. "Ya ampun Susan, dimana si pikiran kamu, kamu itu perempuan. Ga pantes kalo kamu kaya gini," omel Rama.

"Ihh! Mas bawel banget sih! Ini 'kan hidup Susan, Susan bebas dong ngelakuin apapun," racau Susan setengah sadar.

"Udah deh Mas lepas-lepas, Susan capek, mau istirahat." Susan melepaskan tangan Rama yang memapah tubuhnya.

Dengan langkah limbungnya Susan berjalan sendiri dan naik menuju kamarnya.

Rama menyenderkan dirinya di pintu sambil mengurut keningnya, "Arum, tolong aku," gumamnya lirih.

***

Suara adzan Subuh mengalun merdu di telinga Arum, perempuan itu membuka matanya dan segera bangun untuk menjalankan kewajibannya. Tak lupa juga Arum membangunkan Kirana dan Kiara.

Arum telah rapi dengan balutan mukena putih ditubuhnya. Menunggu Kirana dan Kiara yang tengah mengenakan mukena, Arum tersenyum geli saat melihat Kia yang menjahili Kirana.

Setelah semuanya siap, Arum langsung menempatkan posisinya di depan sebagai imam. Akhirnya beberapa menit kemudian, dua rakaat itu berjalan dengan lancar.

Setelah selesai solat, Arum pergi ke dapur untuk membuat sarapan, meskipun hanya telur goreng, setidaknya anak-anaknya itu tidak kelaparan saat akan berangkat ke sekolah.

"Ayo sarapan dulu yuk! Udah bunda buatin telur spesial nih." Arum berbicara kepada Kirana.

Dari arah luar, terdengar suara ketukan pintu.

"Kia aja yang buka, Bun." Gadis yang sudah terbalut dengan seragam putih abu-abunya itu berdiri menuju ke arah pintu.

"Om Lukman," pekiknya saat melihat siapa yang datang. Kia langsung mencium punggung tangan pria itu.

"Assalamualaikum," ucapnya sopan.

"Waalaikumsalam, Om."

"Yang lain pada kemana nih?" tanya Lukman.

"Bunda sama Kiran ada di dalem kok, Om. Bentar ya, Kia panggilin bunda dulu."

Sambil menunggu, Lukman duduk di kursi reot di teras Arum. Tak lama kemudian muncullah Arum yang saat ini tengah menunduk.

"Assalamualaikum, Rum," salam Lukman.

"Waalaikumsalam, Mas."

Melihat reaksi Arum membuat Lukman tersenyum kecil, wanita itu sama saja, masih malu-malu saat bertemu dengannya. Padahal sudah tujuh tahun ini mereka saling mengenal.

"Oh iya, Rum, aku bawain makanan buat anak-anak," ujar Lukman sambil menunjukkan bungkusan yang ia bawa. "Ini ada ayam sama sayur, aku masak sendiri tadi."

"Gausah Mas, makasih, Mas udah banyak banget bantu keluarga Arum, Mas. Arum merasa berhutang sama Mas Lukman. Tapi nanti kalau ada uangnya, Arum janji Arum akan ganti uangnya Mas," ujarnya tak enak.

Lukman tertawa kecil menanggapi itu, "Ya Allah, Rum, aku ikhlas kok bantuin kamu sama anak-anak. Aku udah anggap Kirana dan Kia itu seperti anak aku sendiri. Kamu gausah ngerasa ga enakan gitu, Rum."

"Makasih banyak ya, Mas," ucap Arum tulus.

"Sip, sama-sama." Lukman mengusung senyum manis.

Lukman Abdillah, seorang pria yang usianya sama dengan Rama. Seorang pria yang selama ini telah membantunya selama tujuh tahun, pria itu selalu mendukung Arum, melindungi Arum dari orang-orang yang menghinanya. Satu lagi, Lukman adalah adiknya Lela. Orang yang selama ini juga membantu Arum.

Tidak ada yang tahu jika selama ini Lukman menyimpan perasaan untuk Arum, namun melihat sikap Arum yang kaku padanya membuatnya mengurungkan niat untuk mengatakan semua isi hatinya itu.

"Yaudah nih makanannya," Lukman menyerahkan makanan yang ia bawa.

"Om Lukman!" Suara nyaring itu membuat Lukman menoleh lalu tersenyum melihat Kirana yang berlari ke arahnya. Lukman Segera menangkap tubuh Kirana dan menggendongnya.

"Ehh Princess Om udah cantik banget nih."

"Om Lukman kok lama banget sih ga kesini, Kiran 'kan kangen main bareng sama om." Anak itu merajuk kepada Lukman.

Lukman menjawil pelan hidung Kirana. "Om sibuk, Sayang, jadi Om gabisa main dulu."

"Yaudah, Om makan bareng sama Kiran ya disini," pinta Kirana.

Lukman menggeleng, "maaf, Sayang, Om juga masih ada kerjaan hari ini, jadi gabisa ikut sarapan bareng." Melihat perubahan ekspresi di wajah Kirana, membuat Lukman mengalihkan pikiran sedih anak itu.

"Yaudah, gimana sebagai tanda maaf Om, nanti Om akan ajak Kiran jalan-jalan. Mau?"

"Mau, Om!" Kirana menjawabnya antusias.

Lukman tersenyum dan menurunkan Kirana dari gendongannya. Lukman mengelus puncak kepala Kirana dan Kiara.

"Om pergi dulu ya, nanti kapan-kapan, kalo om ga sibuk. Om akan main lagi sama kalian. Oke?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh kedua anak itu.

Lukman beralih menatap Arum, "aku pergi kerja dulu ya, Rum. Nanti habisin makanannya supaya kamu sama anak-anak ga kelaperan," pesannya seperti seorang suami. "Yaudah, assalamualaikum," pamitnya sambil meninggalkan rumah Arum.

"Waalaikumsalam." Arum tersenyum memandang punggung Lukman, bukan senyum dalam artian suka, tapi senyum bersyukur, karena kehadiran Lukman dapat menjadi sosok figur pengganti Ayah untuk anak-anaknya.

***

Tok... Tok... Tok

"Masuk!" perintah Rama yang masih setia menatap layar laptopnya.

"Maaf Pak Rama, saya hanya ingin memberitahukan jadwal bapak besok." Ternyata itu adalah Elin, sekretarisnya.

"Ada apa?" Rama menatap Elin.

"Ada sebuah perusahaan di Bogor yang ingin bekerja sama dengan perusahaan kita. Perusahaan itu mengundang kita untuk datang ke kantornya besok, Pak."

"Harus banget besok?" Rama berdecak malas.

"Iya, Pak."

"Yasudah, kamu boleh keluar!" Rama mengusir Elin.

Elin mengangguk lalu keluar dari sana.

Rama menyenderkan tubuhnya ke kursi. Pria itu menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya di atas meja.

Tbc

Arumi [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang