27

16.8K 1.1K 72
                                    

Happy reading ❤️❤️

Fino manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan Rama. Yang dapat ia simpulkan yakni, pamannya, Lukman mengorbankan perasaannya dan menyerahkan cintanya yaitu Arum kepada Rama. Sungguh mulia.

"Sekali lagi, Om mau berterima kasih sama Lukman. Om gatau harus bagaimana membalas kebaikan dan pengorbanannya." Rama tersenyum bahagia.

"Iya Om, nanti Fino sampaikan." Fino tersenyum canggung.

"Ayah, Kiran mau beli sepeda Yah," pinta Kirana sambil duduk di pangkuan Rama. Kini rumah kecil itu dipenuhi oleh kehadiran Rama dan Fino.

"Kiran ga boleh gitu ah. Kiran ga boleh manja gitu. Ga baik," pesan Arum. Wanita itu membawa ayam bakar yang dibeli Rama tadi.

"Gapapa kok Rum. Iya 'kan sayang?" Rama mencium kepala Kirana.

Kirana mengangguk polos. Melihat teman-teman sebayanya memiliki sepeda, membuat Kirana juga menginginkan hal itu. Tetapi pada saat itu kondisi ekonomi Arum tidak memungkinkan baginya untuk meminta barang-barang yang tidak bisa mereka beli pada saat itu.

Arum menghela napas. "Tetep aja, Mas. Kalo kamu manjain Kiran, itu ga akan baik untuk dia nya nanti."

Kepala Kirana mendongak menatap Rama. "Ga usah deh Yah, bunda nanti marah."

Rama tersenyum dan mencium kepala Kiran lagi.

"Gapapa, nanti kita beli diem-diem. Jangan sampe bunda tau," bisik Rama tetapi masih bisa didengar oleh Arum.

Arum hanya menggeleng. Sulit sekali memang jika Kirana dan Rama sudah disatukan seperti ini.

"Kia, kamu butuh handphone 'kan? Nanti Ayah beliin ya. Kamu mau yang seperti apa?" tanya Rama.

Seketika suasana hening. Kia tersenyum dan berdehem canggung.

"Hmm. Kia si terserah bunda aja." Kia melirik Arum dari ekor matanya.

"Kok bunda? Kan ini untuk kamu. Kamu yang harus memutuskan," kata Arum.

"Iya Ki, kalo ada handphone, kita 'kan jadi lebih enak komunikasinya," timpal Fino.

Pipi Kia langsung merona dan Fino langsung merutuki mulutnya. Fino tidak sadar mengatakan hal itu. Benar-benar memalukan.

"Ekhem," Arum berdehem menggoda.

"Dasar anak muda." Rama menggeleng.

"Iya udah nanti Ayah beliin," lanjut pria itu.

Kia tersenyum kecil. "Makasih, Yah."

"Eh ayo kita makan. Bunda udah siapin nih. Fino juga ikut makan ya?" tawar Arum

"Iya, Bun." Laki-laki itu mengangguk. Tak enak juga apabila menolak.

Setelah menghabiskan waktu cukup lama, akhirnya kegiatan makan itu pun selesai. Tiba-tiba, Rama merasakan sesuatu bergetar di saku celananya. Rama mengambil benda pipih itu dan mengernyitkan dahi saat melihat nomor rumah yang menghubunginya.

"Halo," ucap Rama kala ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo Den Rama. Ini Bi Jumi. Den, pulang sekarang ya. Non Susan ngamuk dikamarnya, dia histeris Den."

"Apa? Terus gimana keadaannya sekarang?" tanya Rama khawatir.

Setelah cukup lama berbincang dengan Bi Jumi mengenai keadaan Susan. Pria itu menutup telponnya. Kepala pria itu mendongak, helaan napas berat keluar dari mulutnya. Ia kembali memasukkan handphonenya di saku celana kemudian menatap Arum.

Arumi [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang