14

23.4K 1.4K 70
                                    

Happy reading ❤️❤️

"Bunda, masa tadi Kiran ketemu sama bapak yang baik banget. Namanya Pak Dipta."

"Pak Dipta itu baik banget bun, beliau beliin Kiran makanan mahal terus enak," jujurnya.

"Oh iya? Udah bilang makasih belum?" tanya Arum.

Arum selalu mengajarkan kepada Kirana dan Kiara, jika diberi sesuatu, harus mengucapkan terima kasih sebagai tanda sopan.

Arum bersyukur sekali, ternyata masih banyak orang baik di dunia ini.

"Hmm, Bun. Apa bunda bener-bener ga tau kapan ayah pulang?" tanya Kiran.

Kirana sangat ingin melihat rupa sang ayah, dari ia lahir pun, sosok ayah tidak pernah dikenali olehnya.

Pertanyaan yang terlontar itu membuat Arum terdiam, Kia yang awalnya sedang mengerjakan pr pun hanya menyaksikan sambil terdiam kaku. Bingung harus menjawab apa.

"Kiran tidur ya, udah malem!" perintah Arum. Wanita itu mencoba mengalihkan perhatian anak itu.

"Bunda kenapa ga nikah aja sama Om Lukman?" Mata Kiran berkaca-kaca menatap Arum.

"Gabisa, Sayang, bunda cuma temenan sama Om Lukman, bunda gabisa menikah sama Om Lukman," jawabnya.

"Yaudah, bunda nikah aja sama Pak Dipta. Pasti bunda suka sama bapak itu." Anak itu terlalu polos dan dini untuk membicarakan hal yang seharusnya diperuntukkan bagi orang dewasa.

"Kirana." Suara Arum tertahan. Entah mengapa Arum merasa sensitif jika menyangkut seorang laki-laki.

"Tidur ya, Sayang, besok 'kan Kiran sekolah, nanti kesiangan loh." Arum kembali melembutkan suaranya.

"Kia juga tidur ya, ini udah malem." Kia mengangguk, kemudian membereskan buku-bukunya.

***

Seorang gadis berseragam SMA itu melirik ke kanan dan ke kiri, berharap ada satu angkutan umum yang akan berhenti dan dapat ia tumpangi. Tapi sudah lima belas menit ia menunggu, angkutan umum itu tidak kunjung datang juga.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti dihadapannya, seorang laki-laki membuka helmnya, lalu menampilkan senyum manis.

"Ternyata di sini 'kan bener, pantes aja aku samper ke rumah udah gada orang. Taunya kamu udah berangkat. Ayo naik!" Laki-laki itu menunjuk dengan gerakan mata ke jok belakangnya yang kosong.

Kiara menggeleng, "gausah, Fin, aku naik angkot aja, palingan bentar lagi juga nyampe angkotnya," tolak Kiara.

"Mau sampe jam berapa, hm? Sampe telat?" tanya Fino.

"Lagian kamu kenapa si ga kaya biasanya ngehindar dari aku. Biasanya kamu mau berangkat bareng aku." Fino merasa bingung, akhir-akhir ini, Kiara bersikap seolah tidak mengenalnya.

"Ak--Aku minder, Fin, temen-temen aku nganggep kalo aku tuh cewek matre yang manfaatin kamu. Mereka juga bilang kalo aku ga pantes temenan sama kamu." Kia menunduk.

Fino tersenyum tipis menyaksikan itu. "Kia, liat aku deh."

Kia mendongak menatap wajah tampan Fino, Kia tidak munafik, ia mengakui jika Fino terlihat tampan, apalagi laki-laki itu masuk ke dalam salah satu daftar deretan cowok paling populer satu di sekolahnya.

"Terus kamu pantesnya jadi siapa aku? Pacar? Atau kalo perlu istri?" goda Fino, lalu terkekeh.

Kia menepak pelan lengan Fino. "Apa sih, Fin, kamu tuh ya. Dasar!" Fino dan Kia terkekeh bersama.

"Ki, kita tuh udah temenan dari kecil, aku juga ga pernah melihat seseorang dari materinya. Tapi aku ngeliat seseorang dari hati mereka, kalo mereka kaya tapi mereka jahat, buat apa? Gada gunanya juga." Nada bicara dan tatapan Fino berubah menjadi serius.

Kia tertegun mendengar penuturan Fino, selama ini ia sangat beruntung memiliki teman seperti Fino. Fino yang selalu menemaninya dari dulu, saat dulu tidak ada yang tidak mau bermain dengannya karena kondisi kakinya, Fino lah yang berada di garda terdepan untuk menemani Kia.

"Makasih ya, Fin, aku ga tau lagi harus bales semua kebaikan kamu gimana."

"Sama-sama. Yaudah naik yuk!" Kia mengangguk, lalu menaiki motor besar Fino sambil memegang pundak lelaki itu sebagai tumpuannya.

Awalnya motor yang mereka naiki berjalan normal, tetapi tiba-tiba sesuatu membuat Fino mengeremkan motornya mendadak membuat Kia agak sedikit terhuyung ke depan.

"Kenapa, Fin?" Kia bertanya.

"Di depan aku ada mobil yang berhenti mendadak, kita turun dulu yuk, aku mau minta maaf. Ga enak soalnya."

Kia mengangguk dan turun dari motor. Fino melepas helmnya, lalu menghampiri mobil mewah tersebut. Nampak Seorang pria dengan setelan jasnya keluar dari sana, pria itu melihat ke belakang mobilnya untuk mengecek apakah ada bagian mobilnya yang tergores. Kia yang melihat pria itu merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya, kenapa ia harus bertemu pria itu? Kia sangat membenci pria itu.

"Aduh maaf Om, maaf," ujar Fino tak enak.

"It's okay, gapapa. Kamu sama temen kamu baik-baik aja 'kan?" Suara pria itu seakan menyiratkan kekhawatiran.

"Alhamdulillah, kami gapapa Om," jawab Fino sopan.

"Pak maaf, Pak, saya yang salah. Saya tadi ngelamun pas nyetir, jadi pas ada kucing yang tiba-tiba lewat depan mobil, saya langsung kaget pak," ujar Bondan sang ajudan.

"Lain kali kamu hati-hati dong, kalo seandainya mobil mahal saya rusak gimana? Kamu mau ganti pake apa, bahkan gaji kamu setahun pun juga ga akan cukup," angkuh Rama.

Kia tambah menatap Rama dengan penuh kebencian, ternyata pria itu masih sama, masih suka angkuh dan merendahkan orang kecil. Dengan memberanikan diri Kia menghampiri Fino yang berada sedikit jauh didepannya.

"Fin, ayo kita berangkat. Entar kita telat," ajak Kia tetapi matanya menatap Rama sinis. Rama mengernyit heran, kenapa gadis itu menatapnya begitu.

"Yaudah yuk! Hm, Pak, sekali lagi saya minta maaf ya. Saya hampir nabrak mobil bapak," kata Fino kepada Rama.

"Engga, seharusnya saya yang minta maaf. Karena saya kalian jadi ketunda berangkat ke sekolahnya," sergah Rama.

"Yaudah Pak, mari." Fino pamit kemudian menaiki motornya bersama Kia dan mulai melaju lagi menuju ke sekolah.

"Mari, Pak!" ajak Bondan.

Keduanya kembali memasuki mobil dan melaju ke arah tujuannya.

***

"Rejeki nomplok emang, emang ya kalo rejeki anak sholeh emang kaga pernah abis," Kata Jupri, salah satu karyawan yang bekerja di toko Lela. Jupri orang yang humoris dengan segala kekonyolannya.

"Iya Pri, Alhamdulillah," sahut Arum sambil membenahi barang-barang toko.

"Lumayan nih banyak pelanggan hari ini. Udah mana tadi ada yang ganteng. Nyesel gue ga ajak kenalan dia." Nina berbicara seraya pikirannya menerawang.

"Eh Nin, gantengan juga gue. Mending lu ama gue aja Nin." Jupri tersenyum menunjukkan deretan giginya. Bukannya terpesona, Nina malah menatap Jiji Jupri.

"Ogah!" tolaknya.

"Ya Allah Nin, sakit hati gue ditolak mulu," ujarnya nelangsa.

Arum menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat perdebatan yang terjadi antara kedua insan berbeda jenis kelamin tersebut.

Tbc

Arumi [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang