19

19K 1.2K 54
                                    

Happy reading ❤️❤️

Suasana canggung menerpa mereka saat ini. Setelah selesai membereskan piring-piring, Kirana langsung pergi bermain dengan teman di sekitar lingkungannya. Menyisakan Arum, Kiara, dan Rama dalam keheningan.

Tak ada suara, kenapa saat ini Rama seperti orang bodoh. Lidahnya kelu, tak sepatah kata pun ia keluarkan. Belum lagi tatapan menghunus yang Kia berikan padanya.

"Mas Rama bisa pulang aja," ujar Kia datar. Hal itu membuat Arum dan Rama sama-sama menoleh.

"Kia," tegur Arum. Bagaimanapun Kia harus sopan kepada orang yang lebih tua, apalagi Rama yang notabenenya adalah ayah kandungnya.

"Buat apa kita nampung orang brengsek," bengis Kia. "Orang yang ga pernah mengharapkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya dan dia dengan tega menyuruh seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya," lanjutnya menyindir.

Oke! Arum merasakan jika situasi ini semakin memanas. Tak baik jika menyatukan Rama dan Kia dalam situasi seperti ini.

"Kia," panggil Arum lagi. Kia menoleh, pandangannya bertemu dengan Arum. Arum mengisyaratkan melalui gerakan matanya bahwa Kia harus mengontrol dirinya.

Arum berdehem. "Mas Rama mendingan sekarang pulang aja. Ga enak sama tetangga kalo aku bawa pria lain ke dalam rumah," usir Arum halus.

Bahu Rama sedikit merosot, padahal ia ingin berlama-lama disini, ia ingin menatap lama wajah Arum yang sedari dulu menghantui pikirannya. Bukannya bucin, tetapi memang itulah kenyataannya dan hati Rama sedikit mencelos saat Arum menyebut dirinya sebagai 'pria lain', seakan dirinya itu bukanlah orang spesial di hidup Arum.

Dengan berat hati Rama mengangguk. Sebelum ia bersuara, benda pipih di dalam saku celananya bergetar. Ia mengambilnya dan mengerutkan kening saat melihat nomor telepon rumahnya-lah yang menghubungi. Ia menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

Terdengar suara seorang wanita yang sedang panik disana.

"Ada apa bi? Kenapa panik gitu?"

Arum dan Kia terdiam menyaksikan itu. Timbul rasa ingin tahu dalam benak mereka. Hal apa yang membuat Rama sampai sepanik itu.

Rama meremas kuat ponselnya, kepanikan mulai melanda dalam diri pria itu. Kabar yang didapatnya dari rumah, membuat Rama kalang kabut. Pikiran pria itu seakan blank.

"Iya iya saya pulang sekarang." Rama memutuskan panggilan tersebut dengan nada suara panik.

"Ada apa, Mas?" tanya Arum penasaran.

"Susan." Nama yang Rama ucapkan membuat tanda tanya yang semakin besar di pikiran Arum.

"Susan? Susan kenapa?" tanya Arum mendesak.

"Susan pingsan dan sekarang dia lagi di rumah sakit. Aku harus pulang ke Jakarta sekarang juga."

Kia menatap wajah Rama dengan tatapan kesal. Sebenarnya ia ingin mengatakan 'pergi aja sono, gausah balik-balik', namun karena Arum menyuruhnya untuk diam, ya sudah Kia menelan saja ucapannya.

Arum mengangguk. "Iya, Mas. Sampein salam aku untuk Susan. Semoga dia cepet pulih," harap Arum benar-benar tulus.

"Kamu ga mau ikut?" tanya Rama hati-hati.

Belum sempat menjawab, Kia sudah menyela pembicaraan. Gadis itu menunjukkan raut emosi dari wajahnya.

"Engga! Bunda ga boleh balik ke tempat itu lagi!" pungkas Kia.

Arum menatap sedikit tajam ke Kia, bukan apa-apa, hal yang dilakukan Kia tadi sangat tidak sopan. Memotong pembicaraan orang lain.

Arum tersenyum kecil, "engga, Mas. Maaf. Aku ga mau ninggalin anak-anak. Mas pergi aja."

Arumi [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang