Happy reading!
***
"Terkadang orang tua egois. Pengen dimengerti. Tapi ketika kita meminta pengertian orang tua, mereka tidak pernah menghargainya." -Bian KarelWAKTU terus berjalan. Hingga saatnya malam, Bian pulang kerumah. Dilihatnya seorang lelaki berparuh baya yang sedang duduk di sofa sambil menatapnya dengan tatapan tajam. Bian hanya meliriknya saja. Setelah itu, ia kembali berjalan menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti ketika seorang memanggilnya membuat ia langsung menoleh.
"Dari mana saja kamu?!" hardik Bernad, ayah Bian.
Bian hanya diam sambil menatap tajam Bernad.
"Kenapa kamu baru pulang, ha?!"
Bernard menatap Bian dengan tajam. Bian yang ditatap oleh ayahnya hanya tersenyum kecut. Bian tau ayahnya sebentar lagi akan marah, namun ia tidak peduli.
"Bukan urusan anda!" kata Bian sambil menatap Bernad, ayahnya.
"Apa kamu bilang?! Bukan urusan saya? Saya ini papa kamu, jadi wajar saja mencampuri urusan kamu!" kata Bernad yang sudah berdiri dari sofa dan langsung mendekat ke arah Bian yang sedari tadi berdiri didekat meja.
Bian yang mendengar kata papa langsung berdecih. Ia paling benci kalau nama itu disebut didepannya. Termasuk melihat wajahnya saja ia sudah muak.
"Papa? Sejak kapan?" tanya Bian sambil menaikkan satu alisnya," Sejak kapan juga anda peduli dengan urusan saya?" kata Bian.
Bernad yang mendengar ucapan tidak sopan dari Bian langsung menamparnya. Tamparan yang terasa kebas di kulit pipi Bian hingga menimbulkan bekas merah yang pasti tidak akan hilang cepat. Suasana di ruangan tersebut berubah menjadi panas.
"Dasar kamu anak gak punya sopan santun! Disekolahin bukan menjadi baik, malah menjadi kurang ajar! Saya ini orang tua kamu tapi kamu tidak menganggap saya?! Apa maksud kamu sekarang, ha?!" tanya Bernad yang sudah tersulut emosi.
"Kalau memang saya tidak menganggap anda gimana? Emang masalah buat anda?" tanya Bian sambil menatap sinis Bernad,ayahnya.
Bernad langsung mendorong Bian dengan kedua tangannya membuat Bian langsung terjatuh tersungkur. Namun itu tidak membuat Bian ketakutan. Malah ia kembali berdiri dan langsung menantang Bernad,ayahnya.
"Segitu aja kemampuan anda?" Bian berdecih," Mana lagi? Dorong lagi!" kata Bian sambil meyenggol bahu Bernard,ayahnya.
"Dasar anak sialan!" hardik Bernad
"Kalau saya anak sialan, lalu sebutan untuk kedua orang tua saya bagaimana? Apakah mereka berdua sialan juga?"
"KAMU!"
"Kenapa? Mau menampar saya lagi? Nah tampar lagi! tantang Bian sambil memberi pilihan kanannya. "Tampar!" pekik Bian.
Bernad hanya diam sambil menatap Bian.
"Kenapa diam?" tanya Bian sambil melipat kedua tangannya didadanya.
"Kurang ajar kamu! Kamu nantangin saya?" tanya Bernad yang tidak habis pikir melihat Bian, anaknya menantangin dia.
"Kenapa emangnya? Jangan anda kira karena anda papa saya, saya tidak berani nantangin anda. Satu lagi, jangan salahkan anak selalu melawan orang tua. Tapi salahkan diri anda sebagai orang tua yang tidak becus membimbing anaknya." kata Bian membuat Bernad terdiam.
"Setidaknya kamu menghargai saya sebagai orang tua mu!"
"Menghargai? Anda aja sebagai orang tua tidak pernah menghargai anak anda. Lantas, untuk apa saya menghargai anda?" tanya Bian sambil menaikan sebelah alisnya. Ia sudah tidak peduli lagi Bernad,ayahnya akan memarahinya atau membunuhnya sekarang akibat dari perkataannya.
Bernad sudah tersulut emosi. Baginya Bian anaknya yang tidak tau sopan santun dan harus diberi pelajaran. Ia pun langsung menampar kedua pipi Bian menggunakan kedua tangannya secara terus menerus membuat bekas merah dikulit pipi Bian makin memerah dan biru. Bian hanya bisa meringis sambil menatap Bernad, ayahnya.
"Saya menyesal punya anak seperti kamu! Kamu memang anak yang tidak berguna dan tidak pantas diperjuangkan!"
Jlebb.
Sakit? Tentu. Bian sangat sakit mendengar perkataan Bernad,ayahnya. Anak mana yang tidak sakit ketika orang tuanya berkata seperti itu? Munafik kalau dibilang tidak sakit. Bian hanya bisa menahan rasa sakitnya. Setelah semuanya diperlakukan seperti ini dan ditambah lagi perkataan ini membuat rasa yang tidak pernah berubah ini menjadi dalam.
"Saya juga tidak ingin punya orang tua seperti anda! Kalau saya bisa memilih orang tua ketika saya lahir ke dunia, saya tidak akan memilih anda. Dan kalau saya diberi kesempatan bereinkarnasi, saya memohon kepada Tuhan untuk memberikan saya orang tua yang selalu menghargai anaknya. Bukan orang tua yang tidak pernah menghargai anaknya!" kata Bian yang sudah tersulut emosi. Kata-kata yang hanya bisa terpendam selama ini, akhirnya terungkap. Ia sudah sangat sakit hati melihat kedua orang tuanya.
"Apa maksud kamu tidak pernah menghargai?" tanya Bernad sambil menatap Bian.
"Jangan tanyakan sama saya. Tapi tanyakan sama diri anda. Dan satu lagi, enggak ada api kalau enggak ada asap. Enggak akan ada masalah kek gini kalau orang tersebut tidak berbuat sesuatu." kata Bian sambil beranjak meninggalkan Bernad,ayahnya yang masih berdiri.
***
Hello guys!
Apa kabar? Semoga semuanya baik-baik saja ya:) Tetap jaga kesehatan!
Btw gimana untuk part ini? Menarik gak? Penasaran gak? Kalau penasaran, selalu pantau ADELBIAN ya. Masukan ADELBIAN kedalam reading list mu agar ketika ADELBIAN update, kamu tidak ketinggalan.Jangan lupa vote and comenntnnya guys!
Thankyou!❤🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
ADELBIAN (REVISI)
Tienerfictie[On Going ] Bercerita tentang seorang murid laki-laki bernama Bian Karel yang suka membully di sekolah SMA Prima. Dan seorang murid perempuan cupu bernama Adel Fidellia S. yang selalu berjuang untuk membela siapapun yang dibully. Awalnya Bian sang...