Aku berkunjung di sebuah kota yang amat terlihat besar, padahal kecil seperti biji Ketapang.
Kata orang-orang kota itu terang seperti terong.
Namun, yang aku lihat hanya jiwa-jiwa yang sedang melayang tanpa cakap, seperti ikan Kakap.
Tak heran kota ini disebut kota mati.
Terpaksa aku harus menyampaikan aspirasi lewat angin,
“Halo, apakah ada orang di kota ini?”Jiwa-jiwa di sekitar tidak menjawab, entah tidak mau atau memang tidak dengar.
Apa aku harus meniup sebuah
terompet di atas bukit agar terdengar
menggelegar?Saya pun menunggu rembulan datang
menjemput, tak lama kemudian
rembulan muncul dari rumput.
Ternyata saya salah, kota ini tidak
benar-benar mati, melainkan hidup di malam hari dengan lampu-lampu yang hingar bingar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semut-Semut Besar
PoesíaDitujukkan kepada mereka yang berandil besar terhadap hidup saya.