BAGIAN 15

124 7 3
                                    

See you! Jangan kangen! —Ms. NarSa

(Play Mulmed–Pergilah Kasih:)


Berkali-kali Thalita menghembuskan nafas agar bisa tenang. Semenjak keluar dari rumah sakit hubungan dirinya dan suaminya—Sakya semakin memburuk. Kembali di awal pertemuan itu sikap yang Sakya berikan padanya, wajah datar, dingin dan tidak banyak bicara.

Sakya selalu pulang larut malam bahkan kebersamaan yang sebentar pun sudah tidak ada. Sakya disibukkan mengurus berkas-berkas untuk keberangkatannya ke negara Prancis.

Kini di dalam kamarnya, Sakya sibuk mengemas pakaiannya ke dalam koper juga barang-barangnya yang lain. Ia hanya memperhatikan gerak-gerik lelaki itu, karena lelaki itu melarang untuk membantunya.

Dalam lubuk hatinya, ia merasa akan merindukan Sakya. Sebersit perasaan cinta menggenang di dalam hatinya namun hanya bisa disembunyikan. Sakya tidak mencintainya. Thalita menatap punggung tempat ia menempelkan pipinya ketika tertidur.

Sakya pahatan yang sempurna baginya. Pantas saja Gisha tidak ingin melepaskannya. Sakya meregangkan badannya ketika semua perlengkapannya sudah selesai, ia ingin merebahkan dirinya di ranjang.

Ketika ia berdiri untuk menuju ke ranjang, matanya bersibobrok dengan mata hitam perempuan muda yang berstatus istrinya itu. Ia mengalihkan pandangannya karena jika melihat Thalita selalu ada rasa tidak ingin pergi.

Karena sudah larut malam, Thalita merebahkan dirinya di samping Sakya. Mereka saling memunggungi. Thalita tidak tahan untuk tidak memeluk laki-laki itu, Sakya adalah rumahnya ia tidak punya siapapun untuk membuatnya merasa hidup.

Sekali lagi Thalita mengalahkan egonya, ia menyusup memeluk Sakya yang ternyata belum terlelap sempurna. Tidak apa-apa jika Sakya tidak mencintainya, ia hanya ingin memeluk untuk memastikan bahwa Sakya ada. Pelukan terakhir untuknya tidak akan disia-siakan.

"Jaga diri kamu disana, jangan deketin pergaulan yang buruk, selalu beribadah tepat waktu," ucap pelan Thalita di belakang Sakya. Aku pasti kangen, tambahnya dalam hati.

Sakya bergeming. Ia tetap setia membelakangi Thalita yang memeluknya dari belakang. Ingin rasanya membawa Thalita ke pelukannya tetapi wajah Gisha yang bersedih membayanginya. Jadilah dia hanya berpura-pura tidur dan membiarkan Thalita memeluknya.

Keesokan harinya, Sakya berada di dapur untuk memasak sarapan sedangkan Thalita menyiapkan di meja makan. Sakya meletakan masakan terakhirnya kemudian duduk di samping Thalita yang melayaninya seperti biasa.

"Setiap sebulan sekali aku akan mentransfer uang bulanan. Sebaiknya kamu tinggal bersama Papa dan Taksa," ucap Sakya.

Thalita menatapnya dengan seksama, "Aku tinggal di apartemen aja. Aku bisa sendirian."

Melihat wajah Thalita membuatnya tidak bisa protes, dia hanya khawatir? Ya, khawatir.

"Baiklah, jangan pernah memasukan laki-laki ke sini kecuali teman perempuanmu. Itupun jika kamu punya," ucap Sakya.

"Dan hati-hati selama aku tidak ada, jika terjadi apa-apa hubungi Papa. Jaga dirimu baik-baik," lanjutnya.

Thalita membalas sekedarnya, ia mencuri pandang pada Sakya yang melanjutkan makannya.

"Keberangkatanmu nanti malam?" tanya Thalita.

"Sore bersama Gisha," balas Sakya tanpa melihat sang penanya.

Thalita mengangguk pelan, bolehkah ia merasa sakit hati? Pertemuan dan pernikahannya memang tidak pernah terpikirkan namun perasaannya muncul secara tiba-tiba.

***

Di bandara internasional, Sakya dengan tas ransel juga koper menghampiri Gisha yang sama bawaannya. Beberapa teman Sakya juga berada di sana untuk berpamitan begitupun Thalita yang terasa berat melangkahkan kakinya. Empat tahun itu lama, ditambah dia tidak ada artinya di hati Sakya.

"Stay safe!" ucap Thalita tercekat menahan untuk tidak menangis.

Sakya tersenyum tipis mengusap puncak kepala Thalita. Dia merengkuhnya dalam pelukan tidak peduli jika Gisha melihatnya. Thalita menghirup dalam aroma khas lelaki itu, dia pasti akan merindukannya walaupun ia tidak tahu apakah lelaki itu akan merindukannya juga. Mungkin, tidak.

"See you! Jangan kangen!" bisik Sakya yang ia pun merutuki ucapannya, mana mungkin gadis itu akan merindukannya dia yang merelakan kepergiannya bersama gadis lain.

Sakya menyesali kenapa saat di rumah dia bersikap dingin padahal dirinya ingin sekali mengecup bibir mungil itu. Segera ia menepis pikirannya tersebut kemudian melepaskan pelukannya.

"Sak, udah pamitannya?" tanya Gisha tanpa curiga pada mereka berdua.

Sakya mengangguk, kemudian mereka berdua berjalan menjauh dari tempat Thalita berdiri. Sakya berulang kali menghela nafas untuk memantapkan hatinya hanya untuk Gisha.

Thalita menatap kepergian Sakya dengan pacarnya itu dengan sendu. Laki-laki itu bahkan tidak menengok sekalipun ke belakang. Sebuah tangan menepuk bahunya dan Leiyu adalah pemiliknya.

"Sudah lo gak perlu pikirin anak itu, biar dia nyesel. Sekarang, lo harus fokus belajar. Anggap aja bonus karena lo menjadi diri lo yang tanpa ada suami, ya lo pasti tau maksud gue," ucap Leiyu.

Ucapan Leiyu seketika membuat Thalita tersadar. Ada benarnya juga, Thalita harus fokus pada pendidikannya agar ia bisa terlepas dari ikatan ini.

Thalita dan teman-teman Sakya meninggalkan bandara, senyum mantap terbit di bibirnya. Ini bukan waktunya untuk sedih.

'Aku harap kamu baik-baik saja disana karena aku juga akan baik-baik saja disini.' batin Thalita.

***

Hi, Le Mariage!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang