BAGIAN 2

187 9 0
                                    

Keesokan harinya, di kantin sekolah Thalita bersama teman-temannya seperti biasa menikmati jam istirahatnya. Namun ada yang berbeda dengan sikap Thalita yang murung itu bisa terlihat oleh teman-temannya.

"Tha, kamu kenapa?" Tanya Maria yang sedari tadi memperhatikan sikapnya yang berbeda.

Semua perhatian di meja itu langsung tertuju pada Thalita. Bahkan Neon yang sedang asyik dengan Meta pun mengalihkan pandangannya pada Thalita. Thalita tersenyum tipis bimbang apakah ia harus mengatakan pada mereka, kemudian ia menghela nafas.

"Aku baik-baik aja, gak usah khawatir gitu," ucapnya.

"Lo gak bisa bohong dari kita, Tha. Kita temenan dari masa putih biru sampe sekarang, cerita sama kita," ucap Hendrik.

"Hendrik bener," timpal Revan menyetujui ucapan Hendrik.

Nisya merangkul pundak Thalita, "Cerita sama kita kalau udah siap ya?" Ucapnya pelan.

Sekali lagi Thalita menghela nafas kasar, semalaman dia menangis setelah berbicara dengan Ayahnya. Wajahnya juga sedikit berantakan mata bengkak namun bisa ia sembunyikan. Ia tidak bisa bercerita pada teman-temannya bahwa ia akan menikah dengan laki-laki asing.

"Aku baik-baik aja. Ada hal yang aku pengen beritahu, kalau hari ini terakhir aku ketemu kalian. Ayah memindahkan ku ke kota lain dan aku akan sekolah disana," jelasnya.

Semua terdiam, Riki menggebrak meja merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan Thalita kemudian dia pergi dari kantin begitu saja meninggalkan cash bon seperti biasa.

"Kenapa mendadak kayak gitu?" Tanya Neon.

"Itu udah keputusan Ayah, aku gak bisa bantah," Thalita menundukkan kepala, "Maafin aku kalau ada salah sama kalian, aku pasti bakalan rindu sama kalian," lanjutnya sendu.

Semuanya menatap sendu dan memeluk Thalita dengan sedih.

Sepulang sekolah di taman belakang sekolah, Riki menemuinya dengan wajah datar.

"Rik–"

"Tha, cukup! Gue tau apa yang terjadi di keluarga lo, gue tau apa yang lo sembunyiin. Gue tau permasalahan Ayah lo," potong Riki.

Thalita terdiam, keluarga Riki sangat dekat dengan Ayahnya. Ia memilih bungkam saat Riki menatap datar padanya. Ia tau Riki sedang marah padanya, ia juga tak bisa berbuat apapun.

"Tha, gue tau kepindahan lo ke luar kota karena lo bakal nikah sama orang asing 'kan?"

Thalita mengangguk.

"Sialan! Sialan! Gue gak berguna! Gue gak bisa ngejaga lo!" Umpat Riki pada dirinya sendiri.

Ia kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa mencegah hal itu, ia tidak punya kekuasaan. Thalita termenung melihat Riki.

"Rik, terima kasih. Gue mohon sama lo jangan kasih tau siapapun soal ini."

Riki menatap lurus pada Thalita, ia mulai melunak. Thalita segalanya bagi Riki sejak dulu. Ia pernah berjanji pada Bunda perempuan itu akan selalu menjaganya.

"Tentu. Maafin gue gak bisa apa-apa, hubungi gue kalau lo mau minta bantuan. Gue disini bakalan sedia buat lo."

Dan sebuah pelukan perpisahan yang mengakhiri pertemuan mereka. Riki meyakinkan dirinya untuk belajar dari sekarang memegang perusahaan yang Ayahnya tawarkan. Ia menyukai Thalita namun hanya bisa ia pendam.

***

Setelah mengepak semua barangnya dibantu oleh Indira—Kakak tirinya. Pak Harjo supir Ayahnya membantu memasukan semua barang itu pada mobil.

"Aku harap kamu bahagia, Thalita. Ah ya, mungkin saja yang dijodohkan ayah adalah pria tua berperut buncit, mungkin saja ya kan," ejek Indira diselingi tawa sarkas.

Thalita mengepalkan tangannya menahan emosi, ia harus bisa mengontrol emosinya. Sifat gadis itu mulai muncul jiwa sok berkuasanya membuat ia muak.

"Semuanya sudah selesai? Ayo kita berangkat!" Ajak Ayahnya.

Indira melambaikan tangannya saat kendaraan beroda empat itu meninggalkan pekarangan rumah. Thalita diantar oleh Ayah dan Ibunya menuju Kota Jakarta—tempat dimana calon suaminya itu berada.

Ucapan Indira mengganggu pikirannya, ia merasa cemas bagaimana jika yang dikatakan Indira benar. Ayahnya tidak memberitahu bagaimana calon suaminya tersebut. Ia hanya berharap semoga baik-baik saja.

Perjalanan menempuh waktu selama tiga jam, selama di perjalan Thalita lebih banyak diam, melamun lalu tertidur. Hingga ia dibangunkan oleh Ibunya ketika mobil terparkir pada sebuah halaman luas dan beberapa penjaga yang menjaganya.

"Thalita rapihkan pakaianmu yang berantakan itu," tegur Ayahnya ketika mereka turun dari mobil.

Thalita merapikan pakaiannya dan seorang pria paruh baya dengan senyum mengembang keluar dari pintu dari rumah bak istana ini menyambut kedatangan mereka.

"Akhirnya kau datang, Toni."

Pria itu kemudian memeluk Ayah Thalita dengan senang. Mereka saling menepuk bahu lalu menyudahi saling melepas rindu tersebut. Pria itu mempersilakan Thalita dan Ibunya masuk, diiringi beberapa pelayan yang membawakan barang-barang Thalita ke dalam rumah.

Thalita terperangah melihat isi rumah yang sangat jauh berbeda dengan rumahnya, namun perkataan Indira membuatnya cemas dia menatap pria paruh baya itu. Pria itu sudah berumur walaupun terlihat bugar, ia merasa takut sekarang.

Semuanya duduk pada sofa empuk di sebuah ruangan luas dengan pernak pernik mewah.

"Oya Januar, kenalkan ini putriku Thalita yang pernah kuceritakan sebelumnya," ucap Ayah.

Pria paruh baya yang bernama Januar itu menatap Thalita seakan menilai.

"Mirip Noira, dia jiplakan Ibunya ya," gumamnya kemudian tersenyum ramah pada Thalita yang sejak tadi hanya diam.

"Senang bertemu denganmu, Thalita. Mulai sekarang kamu panggil saya Papa karena kamu akan jadi bagian keluarga kami," sapa Papa Januar yang hanya diangguki dan diberikan senyuman oleh Thalita, ia memaklumi sikap Thalita yang seperti.

"Sepertinya Thalita harus istirahat, pelayan antarkan Nona Thalita ke kamarnya," lanjutnya.

Thalita mengikuti pelayan tersebut, benar ia butuh istirahat karena tak terbiasa melakukan perjalanan jauh. Kini di ruangan hanya menyisakan tiga manusia paruh baya menampakan wajah serius.

"Apa kau serius menjadikan putrimu sebagai jaminan, Ton? Apa Noira sudah mengetahuinya?" tanya Papa.

"Kita hanya bisa melakukan ini, demi menyelamatkan perusahaan. Terima kasih sudah mau membantu kita," jawab Agisti—Ibu tiri Thalita.

Ayah hanya terdiam sebentar. "Yang dikatakan istriku benar, lagi pula Noira sudah tidak memiliki hak apapun mengenai Thalita. Aku mohon padamu, tolong jaga Thalita," ucapnya dengan ragu.

"Baiklah jika itu yang kalian inginkan. Untuk saat ini Thalita akan kumasukan ke sekolah dan bisa berdaptasi dengan calon suaminya. Kita akan membahas rencana pernikahan setelah urusan perusahaanmu bisa diselesaikan," ucap Papa dengan tegas.

***

Hi, Le Mariage!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang