Happy reading!
♪
♪
♪Aku mematut diriku di depan cermin dalam kamar, memakai seragam sekolah baru. Ini mengingatkanku pada teman-teman di sekolah lama. Aku sangat merindukan mereka, sampai sekarang aku tidak tahu kabar mereka karena aku mengganti nomor handphone dan tidak aktif di media sosial. Menghilang begitu saja.
Setelah diberikan buku panduan sekolah itu, beberapa hari yang lalu aku mulai menyiapkan segala keperluan untuk sekolah. Jangan lupa kalau buku tabunganku terisi penuh itu karena Papa alias calon mertuaku yang memberikannya.
Aku mengambil tas ranselku kemudian menuruni tangga untuk sarapan, kamarku ada di lantai atas berdekatan dengan kamar Sakya yang berada di ujung.
Seperti biasa di meja makan tidak ada Papa atau Sakya yang ada hanya aku dan Kak Taksa yang sedang memainkan Iphone miliknya itu begitu serius.
"Pagi Kak Taksa!" Sapaku.
Dia terkesiap karena terkejut mungkin langsung mematikan Iphone-nya dan beralih padaku.
"Pagi juga Thalita!" Sapanya kembali.
Kegiatan sarapan berlangsung dengan hening, entah kenapa Kak Taksa terlihat berbeda dengan sebelumnya mungkin itu hanya perasaanku saja.
Dalam perjalanan Kak Taksa tidak banyak bicara, ia hanya tersenyum menanggapi setiap ucapanku. Kak Taksa mengantarku sampai ke ruang kepala sekolah, bangunan sekolah disini sangat megah dan luas.
Berdasarkan buku panduan yang kubaca sekolah ini memiliki dua jenis kelas yaitu unggulan dan reguler. Kelas tersebut berbeda bangunan, bangunan A yaitu unggulan disana memiliki lapangan, bangunan olahraga dan bangunan praktik serta kantin. Bangunan B juga sama, namun jika kuteliti kualitasnya lebih baik bangunan A. Sedangkan Perpustakaan itu hanya ada satu bangunan berada di tengah sebagai penghubung antar bangunan A dan B.
Dan soal biaya masuk, tentu saja untuk kalangan sepertiku tidak akan mampu membayarnya. Hanya orang-orang kalangan atas saja, sekolah ini juga menyediakan beasiswa dengan persaingan yang sangat ketat.
Di setiap sudut terdapat CCTV untuk memantau segala aktifitas. Dan untuk bangunan dekat perpustakaan itu adalah ruang kerja Para staff pengajar, Kepala sekolah dan Tata usaha.
Kelas unggulan hanya untuk murid yang cerdas dan ber-uang, tentu saja. Banyak prestasi yang mereka torehkan untuk sekolah ini.
Kak Taksa bilang Papa adalah salah satu pemegang saham dan donatur terbesar di sekolah ini. Untuk Sakya, dia berada di kelas unggulan itu karena kekuasaan Papa.
Setelah berbicara dengan Kepala sekolah, aku akan dimasukkan di kelas unggulan. Biaya kelas unggulan tidak main-main lebih baik aku di kelas reguler saja. Tapi, ya ini karena kekuasaan Papa di sekolah ini.
"Tha, kakak tinggal disini ya? Nanti ada supir yang akan jemput kamu. Semangat belajarnya!"
Kak Taksa mengepalkan tangannya tanda menyemangati, aku mengangguk kemudian ia meninggalkanku. Salah satu guru yang menjadi wali kelasku menghampiriku dan mengantarku ke kelas. Kelas 11 Bahasa satu, aku meneruskan jurusanku di sekolah lama.
Ketika aku memasuki ruangan, keadaan menjadi semakin hening semua mata tertuju ke arahku. Aku sedikit gugup di tatap dengan tatapan menelisik seperti itu.
"Baik, semuanya. Kita kedatangan murid baru, silakan nak kenalkan dirimu," ucap guru berjenis kelamin perempuan itu—Mrs. Lara namanya.
Aku sedikit berdehem untuk mengusir sedikit kegugupan ini.
"Hai teman-teman! Namaku Thalita Putri Anggara, panggil saja Thalita. Semoga kita dapat berteman baik."
Respon penghuni kelas masih hening, tidak ada yang menyapaku balik seperti di sekolah lamaku. Aku semakin tidak enak hati dan berpikir negatif tentang mereka.
Aku duduk di bangku yang sudah disediakan, jadi di kelas ini tiap murid hanya duduk per orang bukan berdua. Kegiatan belajar pun dimulai, jika kebanyakan di sekolah biasa hanya menggunakan papan tulis di sekolah ini menggunakan layar seperti hologram dan papan tulis juga. Sungguh elite.
Cara mengajar guru di depan sangat mudah kupahami. Mungkin inikah keuntungan kelas unggulan?
***
Sepulang dari sekolah dengan di jemput supir pribadi. Aku langsung merebahkan diri di ranjang setelah berganti pakaian. Keadaan rumah masih sama, sepi yang kurasakan. Terkadang pada malam hari, aku berjalan menuju kamar Sakya. Ya, hanya penasaran karena dia sangat jarang di rumah.
Pelayan memberitahuku bahwa Papa akan pulang dan makan malam bersama oleh karena itu Kak Taksa pulang cepat. Mungkin akan ada yang ingin dibicarakan mengenai pernikahan kami. Aku tidak tahu kabar keluargaku, mereka membuatku terbuang disini layaknya barang yang pantas dijual.
Karena bosan aku keluar dari kamar dan tak sengaja berpapasan dengan Sakya yang terlihat akan pergi.
"Sakya!" Panggilku yang entah dari mana keberanian untuk memanggilnya.
Dia melihat ke arahku dengan tatapan yang bisa diartikan kenapa aku memanggilnya. Aku pun tidak tahu untuk apa aku memanggilnya.
"Kamu mau pergi kemana? Gak makan malem bareng?" Tanyaku.
Dia menghela nafas, segitu malasnya kah berbicara denganku?
"Gue pergi kemana itu bukan urusan lo dan gue udah makan," jawabnya melenggang pergi.
Aku berdecak sebal baru kali ini berinteraksi dengan manusia semacam dia. Aku bersyukur karena calon suamiku adalah Kak Taksa bukan dirinya.
Waktu makan malam pun berlangsung, Papa terlihat senang melihat aku dan Kak Taksa ternyata bisa berinteraksi dengan baik.
Papa meletakkan alat makannya di meja setelah meneguk air mineralnya.
"Langsung saja, pernikahan kalian akan dilaksanakan seminggu lagi tanpa ada acara lamaran atau tunangan. Mengingat Thalita masih sekolah, acara akan digelar dengan tertutup," jelas Papa menatap kami bergantian.
Aku merasa sedikit tidak percaya diri, aku melirik Kak Taksa yang entah kenapa terlihat terkejut tapi dia tersenyum seakan baik-baik saja.
Lagi-lagi aku meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja lagipula aku sudah menerima Kak Taksa untuk masuk ke dalam hidupku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Le Mariage!
Ficción GeneralTentang Thalita dan kehidupannya. Lebih enak dibaca pas rebahan:)