BAGIAN 1

448 9 0
                                    

Matahari pagi sudah menampakan dirinya di sebelah timur, kicauan para burung terdengar bersahutan mengusik kesunyian di sebuah ruangan. Ya ruangan, lebih tepatnya sebuah kamar tidur dengan nuansa merah muda ciri khas seorang perempuan.

Kamar tidur itu dihuni oleh seorang gadis yang sedang tertidur pulas, alarm bahkan sudah berbunyi sejak tadi namun gadis itu tak kunjung bangun dari buaian bunga tidurnya. Hingga suara ketukan pintu dan suara teriakan membangunkan terdengar jelas.

"Thalita bangun! Kamu hari ini sekolah tidak? Nanti kesiangan lho," panggilnya.

Sumber suara itu dari seorang wanita paruh baya, lebih tepatnya Ibu dari gadis yang bernama Thalita Putri Anggara atau sering dipanggil Thalita. Thalita menggeliat dan menyahut panggilan Ibunya kemudian beranjak ke kamar mandi.

Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi, suara langkahan kaki terdengar menuruni tangga menuju ruang makan. Thalita duduk dengan sigap menghabiskan sarapannya.

"Thalita, nanti sepulang ayah dari kantor kamu temui ayah di ruang kerja," ucap Ayahnya tanpa menatap sang lawan bicara.

Dia hanya mengangguk, mungkin hanya minta bantuan seperti biasanya pikirnya jadi Thalita tidak bertanya lebih jauh.

"Bu, Kak Indira kemana? Kok dia gak sarapan bareng kita?" Tanya Thalita.

"Indira sudah berangkat duluan, katanya ada urusan di sekolah pagi-pagi sekali. Tapi, ibu sudah siapkan bekal untuk dia," jawab Ibunya.

Thalita ber-oh ria saja membalasnya. Kakak tirinya itu memang sangat sibuk di sekolah dengan organisasi yang diikutinya, ya kakak tiri-anak dari Ibu yang ada di hadapannya sekarang.

Thalita seorang anak korban broken home orang tuanya bercerai dan hak asuh diberikan kepada Ayahnya karena Bundanya tak ingin membawanya. Jangan tanyakan bagaimana perasaanya saat itu pasti jawabannya sangat kacau. Tetapi, setelah itu Ayahnya datang membawa seorang Ibu baru yang memiliki dua orang anak, yaitu Kak Esta yang sedang berkuliah di luar kota dan Kak Indira kakak kelasnya di sekolah.

"Thalita kamu sudah selesai sarapannya? Ayo kita berangkat!" Ucap Ayahnya yang sedari tadi hanya fokus pada laptopnya. Thalita tahu bahwa ayahnya seorang yang gila kerja pantas saja bundanya dulu sering kali berdebat karena hal ini.

"Sudah,Yah." Ia bangun dari posisi duduknya dan beranjak ke luar rumah mengikuti langkah ayahnya dari belakang.

Setelah berpamitan dengan Ibu tirinya tersebut, Thalita masuk ke dalam mobil yang dikendarai Ayahnya itu. Kendaraan itu pun mulai berjalan meninggalkan rumah tersebut.

Seperti biasa dalam perjalanan tidak ada satu pun yang membuka suara. Thalita sibuk memerhatikan jalanan yang tampak lenggang dan Ayahnya fokus menyetir.

"Thalita," panggil ayah mulai yang membuka suara dan sang empu pun menoleh padanya,"Bagaimana sekolahmu? Maksud Ayah, apa ada masalah di kelas 11 yang sekarang?"

Thalita terdiam sesaat,"Sekolahku sangat baik Ayah. Teman-teman, para guru dan lain-lain semua terlihat baik dan sangat berjalan lancar."

Ayahnya terdiam dan berdehem. Thalita bisa melihat jika ada yang Ayahnya sembunyikan karena tidak seperti biasanya.

Dia berjalan menuju kelas, pikirannya melayang entah kemana. Thalita berada di kelasnya yang lumayan sepi. Ia duduk menulungkupkan kepala pada lipatan lengannya di atas meja dengan rasa kantuk yang masih menggodanya, semalam insomnianya kumat lagi bahkan setiap malam yang ia lalu.

Brak!

Suara gebrakan keras pada mejanya secara tiba-tiba sontak ia berjengkit terkejut dan bangun dari posisinya itu.

"Pagi-pagi tidur terus, Neng!" Suara itu, ia kenal dengan suara jahil dan nyaring tersebut. Riki, teman sekelasnya.

"Apaan sih Rik? Gue itu ngantuk tau, ganggu aja!" Ucap Thalita dengan nada kesal.

Riki tersenyum lebar, "Ya, maaf deh. Bye the way any way busway, nanti mau ke base camp gak?" Tanya Riki.

Thalita terdiam sejenak hari ini ada pembicaraan dengan Ayahnya jadi dia harus pulang lebih awal.

"Gue hari ini gak bisa kumpul dulu,"balasnya.

Suara bel masuk berbunyi, para siswa berhamburan memasuki ruang kelasnya masing-masing.

***

"Thalita!" Panggil seorang laki-laki menghampirinya. Sang pemilik nama membalikan tubuhnya menghadap ke arah suara itu.

"Neon ... " Gumam Thalita.

"Thalita ada yang ingin aku bicarain sama kamu," ucap Neon yang kini berhadapan dengannya.

Neon adalah laki-laki pertama yang ia sukai sekaligus teman sekelasnya juga.

"Aku minta maaf mengenai gosip yang sekarang terjadi. Iya, aku dan Meta berpacaran sebenarnya," ungkapnya.

Thalita tersenyum tipis menanggapi itu, ia menghela nafas karena sebenarnya Neon tidak perlu memberitaunya. Rasa sukanya bukan lah rasa suka pada konteks cinta, ia menyukainya karena Neon laki-laki yang lembut kepadanya.

"Neon, kamu tidak perlu minta maaf karena sepertinya kamu salah paham atas ucapan rasa suka itu. Aku menyukaimu karena kamu temanku yang baik, bukan sebagai seorang kekasih," jelasnya.

Neon mematung mendengarnya entah kenapa ada sebersit rasa sakit, tak bisa dipungkiri jika ia memang memiliki rasa suka lebih dari sekedar teman. Neon hanya tersenyum sebagai balasannya lagipula dia sudah bahagia bersama Meta.

"Kalau gitu, aku duluan ya. Sampai jumpa!" Pamit Thalita bergegas ke halte tempat ia menunggu bus pulang.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, mobil Ayah sudah terparkir di halaman. Setelah Thalita membersihkan diri, dia langsung menemui Ayahnya di ruang kerja. Tampak sang Ayah menatapnya serius, mereka duduk saling berhadapan.

"Thalita, ayah akan berbicara serius padamu,"ucap Ayah membuat Thalita sedikit berdebar karena ia jarang sekali berbicara berdua seperti ini," Ayah akan memindahkan mu ke luar kota dan bersekolah disana."

Raut muka terkejut nampak pada Thalita, ia masih tidak mengerti.

"Perusahaan sedang mengalami penurunan dan diambang kebangkrutan, maafkan ayah Thalita, satu-satunya cara yang bisa menolong ayah adalah kamu dengan cara melakukan pernikahan bisnis," lanjutnya.

"Ma-maksud ayah? Thalita gak ngerti, apa hubungannya aku dengan pernikahan bisnis itu? A-ayah bercanda 'kan?" Tanya Thalita dengan suara bergetar.

Ayah Thalita menatap dalam putrinya yang sudah berkaca-kaca, ia sangat mengerti apa yang dirasakan putrinya tersebut sekarang.

"Kenapa harus aku? Kenapa gak Kak Indira? Aku punya cita-cita, aku masih ingin nikmatin masa remajaku. Ayah sudah gak sayang sama aku 'kan?" Tanya Thalita menuntut.

Kedua bahunya bergetar dengan isak tangis, menundukkan kepala seraya menyapu pipinya yang terus mengeluarkan air mata. Kata demi kata menandakan rasa kecewa pada Ayahnya terucap disela isakannya.

"Semenjak ayah membawa keluarga baru ayah, aku dilupakan. Ayah berubah, ayah gak selalu perhatikan aku lagi padahal aku putri kandung ayah. A-aku rindu bunda ... Aku kecewa sama ayah,"ucap Thalita beranjak keluar ruangan dengan tergesa menuju kamarnya.

Ia mengunci pintu kamar dan menangis sepuasnya, melontarkan rasa kecewa dan terkejutnya. Ia akan menikah di usia muda dengan seseorang yang tak ia kenal dan cintai? Masa depannya sudah berantakan.

***

Hi, Le Mariage!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang