BAGIAN 10

116 6 0
                                        

Kangen—Ms.NarSa



Ternyata melelahkan menjalani kehidupan rumah tangga di usia muda. Thalita harus menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan pakaian dan membersihkan tempat tinggalnya selain itu kegiatan sekolahnya.

Thalita keluar kamar mandi menggunakan bathrobe ia mencari pembalut di lemarinya namun tak menemukannya di sana. Ia tidak tahu akan kedatangan tamu bulanan. Ia menimang untuk meminta bantuan Sakya yang sedang berkutat dengan laptopnya di ruang televisi atau kita menyebutnya ruang keluarga. Ia juga tidak memiliki uang untuk membelinya, beberapa hari ini ia tidak ke kantin karena tidak punya uang saku.

Thalita membulatkan tekadnya untuk menemui Sakya dan meminta membelikan pembalut di daerah sini.

"Sakya, minta tolong beliin pembalut dong," pinta Thalita di depan Sakya.

Sakya mendongak melihat Thalita, "Pembalut?" beonya tidak tahu.

"Iya, aku lagi datang bulan, cepetan. Terserah merk apa aja, buruan nanti tembus," rengek Thalita.

Sakya menggaruk lehernya bingung, namun tak urung ia bangun menyimpan laptopnya kemudian dengan tergesa mengambil dompetnya pergi ke salah satu toko dekat apartemennya.

Dalam toko, ia mencari di Google apa itu pembalut setelah diketahuinya ia mengelilingi tempat para wanita membeli benda tersebut. Ia mendatangi kasir membawa dua pack pembalut untuk membayarnya, si mbak kasir tersebut tersenyum menahan geli melihat seorang laki-laki blasteran dengan wajah datar namun ketampanannya tak berkurang membawa benda tersebut.

Seumur hidup Sakya baru pertama kali membeli benda yang sering dipakai perempuan. Ia merasa malu dan geli bersamaan.

Di hadapannya Thalita dengan muka ditekuknya bersungut-sungut mengambil dua pack pembalut yang Sakya bawa, tanpa mengucapkan terima kasih Thalita terburu ke kamar mandi. Sakya mengerjapkan matanya, mood perempuan saat datang bulan memang luar biasa. Thalita lebih luar biasa dari pada Gisha.

Ia melanjutkan pekerjaannya berkutat kembali pada laptopnya di ruang keluarga. Akhir-akhir ini Sakya selalu memperhatikan Thalita yang tidak ke kantin seperti biasanya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu, deadline memburunya. Bekerja sampingan sebagai freelancer design graphic memang menguntungkan di tambah usaha kedai dekat sekolahnya juga semakin berkembang, dia sudah merekrut pegawai di sana.

Suatu saat nanti dia akan membuka beberapa cabang baru agar bisa membeli rumah untuk dirinya, Thalita dan anak-anaknya kelak. Anak-anak? Dia terkekeh geli memikirkan hal itu, pernikahannya baru seumur jagung dan keterpaksaan diantaranya. Dia belum memiliki perasaan pada Thalita sepenuhnya. Dulu ia merencanakan akan mengikuti Gisha kuliah di luar negeri tetapi mengingat sekarang ada Thalita dia harus memikirkan dengan matang.

Thalita sudah berpakaian lengkap membawa camilan dan duduk di samping Sakya.

"Ah-ya ampun, aku baru inget kalau lagi diet. Tapi moodku, ini masih kurang pengen cokelat," gumam Thalita terus mengunyah camilan itu.

Sakya melirik perempuan yang berstatus istrinya itu. Dia mendengar kata diet dan cokelat? Untuk apa gadis itu diet? Cokelat? Makanan yang selalu Gisha inginkan.

"Desainnya bagus," puji Thalita bergeser mendekati Sakya hingga badan mereka bersentuhan.

"Kamu harum banget, gak sia-sia aku nyuci sama setrika baju." Thalita mendusel ke lengan baju Sakya.

Sakya kehilangan konsentrasinya ketika Thalita terus menciumi pakaiannya. Gadis ini makin aneh saat datang bulan.

"Tha, kirim nomor rekening kamu. Aku tau, kamu gak pernah ke kantin lagi atau saat pulang kamu selalu bersama Keyno," ucap Sakya membuat Thalita menggeser jauh badannya.

"Uang untuk keperluan rumah dan pribadi kamu akan aku transfer tiap bulan, itu kewajibanku bukan?"

Thalita tersenyum mengangguk untuk itu ia harus berhemat.

"Untuk masalah cucian lebih baik di laundry aja," usul Sakya.

"Aku bisa se–"

"Gak, sebentar lagi kamu ulangan kenaikan kelas dan ujian nasional untukku. Aku sangat sibuk, juga aku gak ingin nilai kamu rendah terus kecapekan," sela Sakya tidak setuju.

"Ya udah, aku setuju Tuan Lewis."

Moodnya berantakan seketika kemudian melangkah ke kamar meninggalkan Sakya yang merasa serba salah.

***

Sebulan kemudian...

Thalita membangunkan Sakya untuk melaksanakan kewajibannya dan lagi hari ini adalah hari Ujian Nasional untuk Sakya.

"Unghh...," lenguh Sakya menggeliat merubah posisinya menjadi duduk mengumpulkan kesadaran.

"Sak, ayo! Aku belum masak soalnya." Suara Thalita menyadarkan Sakya, dia terburu ke kamar mandi.

Sudah menjadi rutinitas biasa bagi mereka di pagi hari untuk berjama'ah bersama, kemudian Thalita memasak sarapan pagi seperti nasi goreng. Dia mulai belajar masakan yang lain walaupun rasanya masih kurang pas di lidah.

"Hari ini kamu bisa pulang cepat gak?" pinta Thalita.

Dia tahu Sakya sering pulang larut malam entah kemana dan apa yang ia lakukan di luar sana, ketika ia bertanya pasti laki-laki itu akan menjawab bukan urusannya. Laki-laki itu tidak terbuka padanya, ia sedikit jengkel juga kerap kali melihat Sakya bersama mantan pacarnya itu. Dia dan Sakya di sekolah bagai orang asing yang tidak saling mengenal.

"Kenapa?" Sakya menghentikan aktifitas makannya.

"Kita diundang Kak Taksa karena istrinya ngadain acara tujuh bulanan kehamilannya," jelas Thalita.

Taksa menelponnya kemarin sore mengundang mereka untuk datang, dia juga sempat kaget karena usia kehamilan istrinya sudah lumayan setua itu berarti saat dia dengan dirinya dijodohkan. Thalita merasa dipermainkan tapi itu sudah berlalu sekarang dirinya sudah bersama Sakya.

"Aku sibuk," ujarnya.

"Kamu sibuk apa sih? Selalu pulang larut malam? Saat di rumah Papa, kamu bahkan jarang pulang ke rumah. Kamu tu gak pernah mau terbuka sama aku, pasti isi kepalamu hanya Gisha. Aku capek tau gak!"

"Jangan bawa-bawa Gisha!" bentak Sakya.

Sakya pergi meninggalkannya tanpa kehangatan seperti biasanya, Thalita terdiam untuk pertama kalinya Sakya membentaknya karena perempuan itu. 

Kelas 10 dan 11 memang libur saat kelas 12 Ujian Nasional jadi Thalita sedikit bersantai selama seminggu, Ulangan kenaikan kelasnya sudah dilaksanakan sebelum Ujian Nasional dilaksanakan.

Perasaan Thalita terasa sesak, ia mencoba mem-video call Riki karena ia yakin Riki juga libur. Panggilan dijawab dengan cepat oleh Riki, wajah bangun tidurnya terpampang jelas di layar handphone.

"Tha? Ada apa?"

Suara serak khas bangun tidur Riki terdengar. Thalita tidak dapat menahan tangisnya, ia memang cengeng sebenarnya. Riki semakin panik di sana.

"Kenapa? Lo kenapa, Tha?"

"Rik... Gue capek, Rik."

"Nangis dulu sepuasnya, Tha. Keluarin semuanya."

Thalita semakin jadi menangisnya hingga sejam tanpa mematikan panggilan Riki masih setia menunggunya, dia sedikit kesal dan emosi. Thalita pasti mengalami hal berat.

"Sekarang cerita lo kenapa?"

Tangis Thalita mereda, ia mencoba menenangkan dirinya.

"Gue baik-baik aja, cuma kecapekan kayaknya," balas Thalita tertawa hambar.

"Dasar pembohong, selalu nyembunyiin."

"Rik, gue tutup dulu ya panggilannya. Makasih udah dengerin nangis gue yang absurd ini."

Thalita menutup panggilannya, ia akan membereskan rumah dulu sebelum pergi ke acara tujuh bulanan. Bagaimana pun hubungan keluarga tidak boleh putus.

***

Hi, Le Mariage!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang