"Aku hanya bisa merencanakan Tuhan yang menentukan. Tapi, aku selalu berupaya agar namamu tetap bertahan."—Ms. Narsa
°
°
°Papa meminta Thalita datang ke rumahnya untuk menginap dan makan malam bersama. Tentu saja dia tidak menolak, jika ada Sakya dia mana berani. Ditambah lagi ada Tiara si bayi mungil nan menggemaskan yang membuatnya menyetujui.
Kini ia sedang membantu para pelayan menyiapkan makan malam, padahal Papa dan yang lain memintanya berdiam diri saja. Ia merasa tidak enak dan lagi hitung-hitung belajar memasak.
"Tiara lucu banget, ya. Jadi gemes," ujar Thalita menoel pipi bayi yang berada di pangkuan Ayahnya setelah selesai membantu di dapur.
Taksa tertawa pelan, ingin sekali ia menggodanya untuk segera memiliki bayi bersama Sakya tetapi ia urungkan itu hanya memperburuk suasana hati saja.
Viana memanggil mereka ke meja makan, bayi tersebut diserahkan pada babysitter. Kegiatan makan dimulai dengan khidmat, keluarga ini memang tidak terbiasa berbicara saat makan.
Setelah acara makan malam tersebut Thalita masuk ke kamar yang selalu ditempati Sakya. Ia membuka laci lemarinya menemukan beberapa novel. Thalita baru tahu kalau laki-laki itu sering membaca novel karya Tere Liye dan Raditya Dika. Manusia kaku dan super sibuk sepertinya tidak pernah ia pikirkan bisa senggang membaca buku.
Suara ketukan pintu menyentaknya, seorang pelayan memberitahunya bahwa Papa memanggilnya ke ruang kerja. Ia bergegas ke ruang kerja menemui mertuanya.
"Duduk, nak," pinta Papa.
Ia seperti akan diwawancara karena duduk berhadapan dihalangi meja kerja Papa. Wajah Papa terlihat serius ada guratan lelah di dalamnya.
"Sebentar lagi kelulusanmu, Papa hanya ingin tahu universitas mana yang ingin kamu pilih? Papa yang akan membiayainya," ucapnya pada intinya seperti Sakya jika berbicara.
Thalita terpekur ia sudah memikirkan matang untuk melanjutkan pendidikannya, hanya saja ia belum berani mengungkapkan hal tersebut pada Sakya. Ia tidak ingin menjadi beban.
"Jangan sungkan, nak. Dari awal kedatanganmu kesini Papa bertanggung jawab untuk memenuhi semuanya. Jangan pikirkan soal Sakya," ucapnya mengetahui apa yang membuat menantunya itu berpikir keras.
Thalita membuka suara mengungkapkan kemana pilihannya. Ia berencana melanjutkan ke Universitas swasta yang menerima status dirinya yang sudah menikah karena tidak memungkinkan jika dirinya ke negeri.
"Papa sudah mengetahui hubungannya dengan perempuan itu," ucap Papa dengan tenang.
Thalita mendongak, ia terkejut jika mertuanya itu mengetahui hubungan Sakya dan Gisha. Ia takut terjadi apa-apa dengan Sakya. Kedua bibirnya terkatup dengan jari-jari tangannya memilin piyama yang ia kenakan.
"Papa tau? Lalu Papa ngebiarin hal itu?" tanya Thalita tercekat.
Ia menunduk kemudian tersenyum getir, ini memang pantas terjadi karena dirinya hanyalah seorang jaminan jadi ia hanya harus menurut. Tidak ada yang bisa diharapkan.
***
Hari menuju kelulusan tinggal menghitung hari, serangkaian kegiatan yang sudah dijadwalkan oleh pihak sekolah sudah terselesaikan. Ia bersama Kiwi sedang duduk di pojok kedai milik Sakya. Para pegawai menyapanya meninggalkan banyak pertanyaan pada benak gadis berambut sebahu itu.
"Mereka kok kayak menghormati lo gitu, Tha? Lo pelanggan setia mereka?" tanya Kiwi yang sudah gatal bertanya sedari tadi.
"Apa lo kenal sama pemilik kedai ini Kak Sakya?" lanjutnya bertanya lagi.
Thalita sedang memikirkan jawabannya apa dia harus jujur pada temannya itu atau tidak?
"Ceritanya panjang, tapi gue singkatin deh. Gue udah nikah sama Kak Sakya," ucap Thalita pelan memilih jujur.
Kedua pupil mata Kiwi membulat, sudah Thalita tebak temannya itu akan terkejut.
"Seriusan?"
Thalita mengangguk dengan terpatah-patah membalasnya.
"Tapi, seantero sekolah tau kalau Kak Sakya pacar Kak Gisha bahkan mereka kuliah bareng sekarang di Prancis. Tha, lo bikin gue jadi dejavu. Kenapa cerita lo kayak di novel-novel gini?" cerocos Kiwi merasa frustasi sendiri.
Thalita menunduk dengan wajah sendu ketika mendengar nama Gisha, Kiwi paham dan langsung memeluk temannya itu dari samping sambil memberikan semangat yang ia bisa.
"Maaf Tha, semangat ya ada gue disini, jangan ngerasa sedih gini. Lo boleh cerita ke gue dari pada dipendem sendiri," ucap gadis tomboy itu.
Sedari tadi para pengunjung memerhatikan mereka banyak spekulasi dibenak mereka melihat penampilan Kiwi yang tomboy dan Thalita yang begitu syar'i saling merangkul. Hanya mereka dan Tuhan lah yang tahu.
Thalita mempersilakan Kiwi ke ruang kerja yang biasanya Sakya gunakan juga yang biasanya ia kunjungi untuk mengerjakan tugas sekolahnya di kala ia bosan di apartemen. Salah satu kepercayaan Sakya yang sering dipanggil Mas Jeje masuk ke ruangan. Dari raut wajahnya ada hal yang ingin dibicarakan yang pastinya mengenai Sakya.
"Kak Thalita, Bos Sakya nelpon saya nanyain kenapa Hapenya gak aktif sebulan lebih ini?" ujar Mas Jeje.
"Hape saya rusak jatuh pas di pasar, saya belum ke tempat service jadinya ya belum bisa pegang handphone, Mas," terangnya jujur.
"Oh baiklah, saya laporin ini ke Bos muda deh. Kalau gitu saya permisi, kak." Mas Jeje berlalu dari ruangan meninggalkan Thalita dan Kiwi.
Kiwi yang sedari tadi menyimak membuka suara. "Suami lo selalu merhatiin ternyata."
Thalita tersenyum tipis. "Dia peduli karena kewajibannya tapi perasaannya nihil, selalu Gisha." Ia memang bersikap tidak peduli tetapi nyatanya di relung hatinya ia sakit hati.
Thalita menatap ke arah Kiwi yang matanya berkaca-kaca. Yang ditatap hanya memberikan cengiran karena ketahuan kalau dirinya mudah tersentuh.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Le Mariage!
Ficción GeneralTentang Thalita dan kehidupannya. Lebih enak dibaca pas rebahan:)