"Jangan terlalu percaya dunia maya, terkadang itu hanya manipulasi. Kamu percaya? Kamu akan terpengaruhi." —Ms. NarSa
♪
♪
♪Thalita telah siap dengan gamis berwarna peachnya serta kerudung pashmina berwarna senada. Di sampingnya Riki dengan wajah serius menyetir mobil namun sesekali melirik gadis yang menurutnya berubah.
"Jadi, kita akan kemana?" tanya Thalita.
Riki berdehem, ia sebenarnya amat canggung dengan Thalita. Thalita tampak lebih dewasa dan cantik luar dalam.
"Gimana kalau ke Taman Mini?" usulnya.
"Ide bagus, kita kesana sekalian foto-foto," setuju Thalita tersenyum lebar.
Suasana hening kembali, sungguh rasanya canggung ketika bertemu teman yang selalu mengobrol banyak dulu.
"Abis lulus lo lanjut kemana?" tanya Thalita membuka suara.
Riki tampak berpikir, "Gue lanjut kuliah dan ngelanjutin perusahaan Ayah, kalau wisuda nanti gue pengen punya perusahaan ya kecil-kecilan dulu dan nikah sama lo, Tha," jawabnya tanpa sadar.
"Eh? Apa Rik?" tanya Thalita memastikan apa yang dia dengar barusan.
Riki salah tingkah karena keceplosan, Thalita yang melihat itu tertawa geli.
"Keadaan udah berubah, Rik. Gue milik orang lain, walaupun gak pernah dianggap. Gue ingin lo dapat yang terbaik selain gue," ucap Thalita kalem.
Riki terlihat murung setelahnya, "Ya, gue tau." Ia mengetuk-ngetuk stir dengan jarinya ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Sampai ke tempat tujuan tidak ada pembicaraan lagi, walaupun sesekali Thalita mengajak bicara Riki. Mereka agak menjaga jarak satu sama lain.
Ada satu spot foto di kapal dengan pemandangan danau yang cukup besar. Mereka berfoto disana bagai sepasang kekasih tapi nyatanya tidak.
Riki memotret candid Thalita tanpa sang empunya ketahui, dia iseng mengupload foto tersebut dengan tags juga. Dalam foto itu Thalita sedang menatap hamparan air, dia terlihat cantik dengan apa yang dia punya.
"Rik, abis ini kita sewa sepeda yuk!" ajak Thalita bersemangat.
"Okay, tapi sehabis sholat dzuhur dan makan siang," balas Riki memeriksa jam tangannya yang sudah menunjukan sebelas siang.
Thalita mengangguk setuju perutnya keroncongan tadi pagi dia hanya sarapan selembar roti dengan segelas susu. Mereka pergi ke parkiran untuk mencari tempat makan siang.
Thalita memberhentikan mobil ketika melihat sebuah angkringan menjual makanan tradisional.
"Lo yakin mau makan disini?" tanya Riki melihat sekeliling yang ramai pembeli dan penjualnya pun hanya di gerobak.
"Kenapa? Lo gak pernah makan di tempat kayak gini?" tanya Thalita kembali bertanya.
Seingatnya Riki memang golongan yang tidak pernah makan di tempat seperti ini. Riki hanya menggeleng tetapi tetap menurut ketika Thalita memesan dua porsi ketoprak.
"Gimana kabar pernikahan lo?" Riki menoleh pada Thalita seketika menunduk tersenyum tipis.
"Baik." Hanya itu yang bisa Thalita ucapkan mengenai pernikahannya.
Ketoprak pesanan mereka pun datang, Thalita melirik Riki kemudian terkekeh saat laki-laki itu lahap memakannya. Thalita memang dari keluarga berada juga tetapi ia tidak pilih-pilih soal makanan, asalkan makanan itu halal dan bersih ia akan memakannya tidak peduli dengan harganya yang murah.
Setelah menghabiskan makanan mereka beranjak ke mushola terdekat lalu melanjutkan kembali perjalanan membeli souvenir untuk kenang-kenangan. Thalita membeli sepasang gelang bambu dengan tulisan di masing-masing gelang namanya dan nama Sakya juga tanggal pernikahan mereka.
Jam lima sore mereka pulang dari Taman mini, Riki mengantarkannya sampai apartemen.
"Besok gue pulang ke Bogor, kalau ada apa-apa hubungi gue secepatnya. Jangan nyembunyiin sesuatu dari gue," ucap Riki menatap serius Thalita mereka saling berhadapan di lobby.
Thalita lagi-lagi tersenyum,"Siap bang Riki!" Dengan memeragakan posisi hormat membuat Riki tertawa geli, ia ingin sekali memeluk gadis depannya tetapi semacam tembok besar nan kokoh menghalangi pikirannya itu.
Riki melajukan kendaraannya meninggalkan lobby gedung apartemen itu, hatinya tidak menentu ada rasa kecewa di dalamnya. Mungkin ini pertanda kalau ia harus benar-benar mundur.
***
Waktu menunjukan pukul sembilan malam, setelah membersihkan badan dan lainnya. Ia mengambil handphonenya di nakas, sejak jalan-jalannya tadi ia tidak memainkan sama sekali benda itu. Baterainya masih penuh, ia mengaktifkan data dan bar di penuhi notifikasi salah satunya panggilan dari Sakya.
Thalita memanggil video balik pada Sakya, mungkin ada hal penting yang ingin laki-laki itu bicarakan. Panggilan langsung dijawab menampilkan wajah datar laki-laki itu, walaupun jauh tatapan matanya yang tajam menghunusnya.
"Apa bagus seorang istri berpergian dengan laki-laki lain dalam rangka jalan-jalan tanpa izin suami?" Tanpa mengucap salam Sakya langsung mengatakan itu dengan nada sinis.
"Aku lihat semuanya, bersama Riki hari ini dia memposting kamu di akunnya. Apa ada pembelaan?" ungkap Sakya, mungkin jika dirinya berada disana ia akan melipat kedua lengannya meminta penjelasan.
Thalita tidak terima, ia merasa tidak adil dan tersinggung dengan perkataan laki-laki itu.
"Apa bagus juga seorang suami hidup dengan wanita lain? Memiliki kekasih yang bukan halalnya? Bisa berkencan kesana kemari?" ucap balik Thalita membuat Sakya terdiam dengan wajah yang memerah menahan marah kontras dengan kulitnya yang putih.
"Ini hidupku, aku selalu bilang lepasin aku atau lepasin dia. Pilih itu, aku juga punya impian bukan kamu saja." Thalita mengungkit kembali hal itu.
Sakya yang sudah diambang emosi, mematikan panggilannya. Thalita mendengus sebal pada Sakya, walaupun orang itu tidak mengetahuinya. Perlakuan laki-laki itu membuatnya heran, kenapa sekarang dia seolah-olah berperan seperti memiliki perasaan padanya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Le Mariage!
Ficção GeralTentang Thalita dan kehidupannya. Lebih enak dibaca pas rebahan:)