1. Lompatan Kuda

64 8 33
                                    

Pukul 20:30 ...

Raihan sekelebat terpana. Rampai cahaya membingkai sebagian gedung yang terpantulkan oleh sungai di tengah kota. Sinarnya membias saling mengait seperti orang-orang saling berpegang tangan. Terdapat cahaya lain yang tampak seperti kerumunan kunang-kunang . Mereka timbul dan tenggelam seiring waktu, menambah ingar bingar kota, kontras dengan latar belakang langit yang warnanya sepekat terowongan tak berujung. Jalan-jalan dipadati oleh ratusan bahkan ribuan kendaraan saling berkompetisi, saling beradu mendahului satu sama lain, diikuti klakson-klakson yang memekik bergiliran, seakan sengaja membuat gendang telinga pecah alih-alih untuk lebih dulu melintasi lampu lalu lintas yang sekarang berubah warna menjadi hijau.

"Butuh berapa lama lagi kita sampai, Pak?" tanya Mirshal, kaki kirinya tak berhenti menghentak dan tangannya melakukan gerakan maju mundur, mengusap kedua pahanya.

"Wah saya kurang tahu Pak, kalau lagi macet begini apalagi pas tahun baru Cina begini." Pak sopir yang tengah fokus memerhatikan lalu lintas berharap ada celah yang bisa dia ambil untuk berjalan mendahului mobil di depannya menjawab pertanyaan Mirshal tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun.

"Shal, tenanglah." Renata menoleh ke arah Mirshal dengan menyunggingkan sedikit senyum dan intonasi suara yang kian merendah, menenangkan. "Perkiraan, mereka akan datang jam sepuluh dan puncak acara adalah pukul dua belas malam, kita masih bisa leha-leha." Sekarang Renata berbicara dengan intonasi yang datar dan cepat sembari melihat jam saku yang tergantung di rantai berwarna emas yang biasa ia kenakan sebagai kalung.

Duduk di sisi kiri Mirshal. Raihan yang sedang asyik menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil dengan siku yang menekuk dan punggung tangannya menumpu wajahnya. Ia terlalu tenggelam dalam pemikirannya yang entah berada di mana, ia tak acuh pada pembicaraan apa yang tengah terjadi di dalam mobil. Walaupun begitu Raihan mengetahui hawa dari orang-orang yang berada di sekelilingnya, hawanya saling merangkul, saling mengadu seperti asap-asap yang kian lama meraih udara tertinggi kemudian menghilang.

Sedikit demi sedikit mobil yang mereka naiki mulai menebas jarak dengan lokasi yang menjadi target misi pertama mereka. Mirshal masih dilanda rasa panik. Mungkin perasaan gereget yang tidak tertahankan karena mendapat misi, atau tak ingin dikeluarkan pada hari pertama bekerja.

./—././.—./ ——./..

Masih di salah satu pusat kota. Lampion-lampion berwarna merah seperti buah labu tersebut menggantung secara rapi seperti gorden. Menggantung dengan indah di kanan dan kiri jembatan, di atas lalulintas jalan, juga di toko-toko pinggir jalan. Jajaran pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan beragam barang, ada yang berjualan cendera mata, minuman, bahkan makanan yang asapnya mengudara, menyeruak kemudian diterima oleh indra penciuman orang yang berlalu lalang. Renata tersenyum simpul, Mirshal kegirangan, sementara Raihan hanya memandangi dengan tatapan kosong dari balik kaca jendela mobil.

Mirshal, Renata, dan Raihan secara bergantian keluar dari mobil dan berjalan beriringan, membelah kerumunan. Mirshal yang sudah tidak kuat menahan rasa lapar yang merajalela di perutnya menjalar ke hidung, mulut, dan matanya; ia serta-merta membelok, menuju tempat yang dia lirik sedari awal. Renata yang melihat aksi Mirshal mengejarnya sembari menarik salah satu sayap dari jaket kulit berwarna hitam Raihan yang tidak diritsleting.

"Shal, oi!" seru Renata berlari mengejar Mirshal yang sudah melewati beberapa pengunjung. Hampir hilang di balik kerumunan. Raihan yang dari detik sebelumnya terkejut dan menyadari tingkah Renata, berdecak. Kemudian di detik selanjutnya mengekor Renata dengan membuat langkah malas.

"Hei kau!" Renata memukul kepala Mirshal yang membuat dia terkejut dan mengusap kepalanya.

"Uh, sakit tahu," kata Mirshal masih mengusap belakang kepalanya.

"Tahu ini banyak manusia-manusia, jangan nyelonong gitu aja." Renata menatap Mirshal tajam, intonasi suaranya kian naik hingga penghujung kata.

"Iya, maaf, mau? enak lho, sostang, sosis daging balutan kentang." Mirshal terkekeh.

"Simpan nanti, sekarang kita tinggal tunggu pertunjukannya, kayaknya sepuluh sampai lima belas menit lagi," ucap Renata yang tengah menilik jam sakunya.

"JAMBREEET!" Suara pekikan terdengar dari ujung keramaian.

Raihan yang dari tadi tengah menyisiri lokasi dengan pandangannya seketika terperanjat. Dia melirik ke arah depan, matanya nyalang tertuju pada dinding jembatan yang disinggahi oleh rantai lampion di atasnya yang dekat dengan posisinya berdiri saat itu. Raihan berpikir sekian detik, di depan dinding jembatan terdapat jajaran motor yang terparkir. Secepat kilat Raihan mengambil langkah panjang, menghentakkan kaki mengambil ancang-ancang, melompat setinggi mungkin, lebih tinggi dari kuda hingga kakinya dengan mantap memijak tepat di atas dinding setinggi perut orang dewasa, di detik yang sama lengannya memeluk lampu jalan di tengah pagar.

Sepersekian detik mata Raihan menangkap gambaran orang yang sedang histeris, meminta tolong sambil mengulurkan tangan, menunjuk ke arah lain: kepada seseorang yang tengah berlari ke arah orang yang sedang duduk di atas kendaraan sambil terus menoleh ke arah belakangnya.

./—././.—./ ——./..

Pukul 08:30 ...

Beberapa jam sebelumnya

Renata tengah berdiri di bawah gedung yang berdiri menjulang di hadapannya, menghalangi sinar matahari yang membuat matanya silau. Renata menatap lamat-lamat gedung tersebut. Gedung itu tidak seindah yang terlintas di benaknya kala pertama dia diterima sebagai anggota baru di Badan Reserse Kriminal atau biasa disebut Bareskrim. Namun, gedung itu masih dibilang megah dengan ketinggian lima lantai, cat berwarna krem, ciri khas kantor milik pemerintah di negara ini pada beberapa dekade. Gedung itu memiliki bentang yang cukup panjang, terdapat dua gedung yang memiliki setengah dari panjang gedung utama di sayap kiri dan kanan.

Terdapat beberapa mesin AC yang bertengger di setiap dinding selasar luar, sementara di lantai teratas terdapat beberapa wadah penyimpan air berbentuk tabung berwarna jingga, menyembunyikan diri di balik bayang-bayang panel surya di depannya. Gedung tersebut memiliki kanopi sebagai ruang sambutan, hal lain juga sebagai perlindungan dari cuaca dan kondisi alam.

Mata Renata mengerjap seiring perjalanan menyapu pandang keseluruhan muka gedung yang masih berdiri kokoh di depannya. Renata kini mengambil langkah pertamanya sejak posisi terakhir dia berdiri, tetapi langkahnya seketika terhenti, sedikit terpana dengan pemandangan yang ia lihat dengan serta-merta. Seorang lelaki yang memakai jaket kulit berwarna hitam, salah satu sayap jaket tersebut mengepak, berayun, bergesekan dengan angin yang mengikuti arah jalannya, ia telah berjalan mendahului posisi Renata, mengambil langkah panjang menuju gedung dan menghilang dari pandangan.

Siapa dia? Renata mengikuti arah khayal jejak lelaki tersebut dan masuk ke dalam gedung yang sekian lama telah ia pandangi.

.

.

.

.

.

.

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apa bila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian peristiwa. Mohon maaf.

Diiikutsertakan dalam challenge Prakita.

Hai ...

Salam,

Mohon maaf untuk ini aku kabarkan ; ini adalah akun baruku, karena yang lama terkendala tak bisa log in lagi, alhasil aku harus membuat akun yang baru. Bagi pembaca E.N.E.R.G.Y yang masih Stay menunggu aku ucapkan terima kasih dan maaf karena terlalu lama tidak mengabari :"( semoga masih ingin membaca karyaku.

Terima kasih yang mau menyempatkan untuk membaca karyaku.

Mohon masukan dan saran untuk pengembangan tulisanku.

Hope you enjoy it.

Salam,

:)

E.N.E.R.G.Y [Action-Mystery]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang