12: Kembali Pulang dan Pemberian

55 4 0
                                    

Hardi

Setelah tiga hari berada di kota, aku merasa sangat ingin cepat-cepat pulang. Aku merindukan suasana yang tenang dan damai di daerahku. Meskipun kota ini indah dengan penuh semarak di setiap sudutnya, tetapi keindahan alam daerahku tak bisa diungguli. Di sana, satu-satunya rumah dipenuhi oleh rumput hijau dan pohon-pohon rindang yang cantik. Itu adalah keindahan yang tak bisa kamu temukan di kota.

Sementara aku sendirian di kamar hotel, aku hanya ingin bersantai dan beristirahat. Aku berharap hari-hari bisa cepat berganti sehingga aku bisa kembali ke rumahku dengan segera. Namun, ketika aku sedang menikmati ketenangan itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang pada jam-jam begini? Aku merasa penasaran dan memutuskan untuk membuka pintu dan melihat siapa yang datang.

Aku melihat keluar melalui lubang intip pada pintu kamar untuk memastikan siapa yang ada di luar. Dan ternyata, yang ada di luar adalah Dwi. Aku bertanya-tanya, apa yang membawanya ke sini? Akhirnya, aku membukakan pintu dan mempersilahkan Dwi masuk ke dalam.

"Silakan masuk, Dwi," ucapku.

"Jangan terlalu formal begitu, bro," balas Dwi.

"Maaf, aku sudah terbiasa begini," kataku.

"Oke, santai saja," kata Dwi.

Dia segera duduk di atas ranjang dan mengambil sebatang rokok. Awalnya aku hendak melarangnya, tapi dia sudah terlanjur mengisapnya.

"Hei, Dwi. Kamu tahu kan kalau kamar ini bebas asap rokok? Bagaimana jika petugas hotel melihatnya?" tanyaku.

"Eh, benar juga!" sahut Dwi.

Dia kemudian mematikan rokoknya dan membuka jendela agar asap rokok bisa keluar.

"Untung saja kamu bilang, bro," ucap Dwi.

"Iya, iya," jawabku.

Dia kembali duduk di ranjang. Aku duduk di sampingnya dan menyalakan TV mencari siaran yang bagus. Sayangnya, tidak ada siaran yang menarik.

"Besok sudah pulang ya, bro?" tanya Dwi melihatku yang sedang mematikan TV.

"Iya, sudah waktunya pulang," jawabku mantap.

"Aku kira kamu mau jalan-jalan dulu sebelum pulang," keluh Dwi.

"Memangnya kamu mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran.

"Kamu beneran tidak tahu?" timpal Dwi.

"Tidak. Apa?"

"Kita mau pesta semalam suntuk, bro. Kamu tidak mau ikutan?" ajaknya.

"Tidak, terima kasih. Lebih baik aku di sini dan istirahat," tolakku tegas.

"Aduh, kamu tuh memang tidak asyik banget, bro. Lagi pula masih siang," timpal Dwi.

"Apa sih yang kamu maksud siang? Ini sudah sore," balasku sambil memandang jam di tanganku.

Dwi terdiam sejenak, kebingungan mau bilang apa lagi. Aku memang tidak mau keluar dari hotel hanya untuk berhura-hura di malam hari. Sebut saja aku kurang gaul, tapi lebih baik daripada kurang akhlak.

"Ya sudah kalau begitu. Aku tinggal dan tidur di sini dengan kamu," kata Dwi santai sambil menarik selimutku.

"Eh, Dwi! Kamu punya kamar sendiri! Kalau mau keluar, tidak perlu sudah-susah untuk mengganggu aku di sini," protesku sambil menggelengkan kepala.

"Jahat sekali kamu, bro," merajuk Dwi.

"Jahat apaan? Kamu yang aneh," balasku.

"Iya, iya. Aku maafkan," kata Dwi cepat-cepat.

Rumah di Balik PohonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang