Runtuh

18 2 0
                                    

Pagi ini terlalu indah untuk diabaikan. Embunnya yang mampir lewat jendela kamar Raya. Rayuan indah burung gereja yang menidurkannya lebih lelap lagi.

"Ray, bangun Ray." Teriak Mas Ian sambil mengguncang guncang kaki Raya.

Kedua mata Raya belum beranjak tersiap, tetapi jauh di dalam kepalanya sudah sibuk. Pikirannya masih mengenai novel belenggu yang tidak sengaja ia lihat di barisan rak fiksi romantis saat pergi ke toko buku hari itu dan diingatkan kembali dalam mimpinya semalaman. Yang membuatnya tidak bisa serta-merta abai terhadap buku itu adalah, ayahnya memberikan buku itu untuk ibunya.

"lima menit lagi."

"lima empat tiga dua satu. Dah ayok bangun cepetan," Lirih Mas Ian yang juga belum membelalakan matanya 100%.

Raya yang masih sangat nyaman di ranjangnya itu harus memaksakan diri untuk membuka matanya dan membenarkan posisi bersiap untuk misuh misuh ke kakanya.

"Ah pea. Itu 5 detik! Gue kan bilangnya 5 menit."

"Ah bodo amat, cepetan bangun!"

"Ada apansi Mas? Tumben banget lu bangun pagi. Ini juga hari minggu kan."

"Mama mau pulang," jawab Mas Ian singkat dan tak bernada.

"HAH? SERIUSAN? KAPAN MAMA BILANGNYA? RAYA GAK TAHU LOH!?"

"Ya ini makanya gue kasih tau."

"Eh tunggu deh, Mama kok tumben ngabarinnya ke lu sih Mas?"

"Ya gak tau gue."

"Mama bilang apa lagi?"

"Gak ada, cuma itu doang. Mandi sono cepetan, abis itu bikinin gue kopi ya, good day mocachino," Tutup Brian, dan membiarkan Raya untuk mengumpulkan nyawanya.

Raya masih benar - benar dipenuhi oleh bunga tidurnya. Sebenarnya itu bukan sepenuhnya bunga tidur, itu kejadian nyata yang di putar kembali dalam bunga tidurnya.

"Kenapa sih gue drama banget kayak di sinetron - sinetron," Raya bermonolog dalam kamarnya yang masih berembun.

Usai mandi dan berias, Raya segera ke dapur membuatkan good day mocachino untuk Mas Ian.

"Hari ini Mama pulang, tapi perasaan gua biasa aja? Seneng si, tapi ngambang. Apa karena mimpi itu? Novel belenggu? Ayah?" Ucap Raya dalam hati sembari mengaduk gelas berisi kopi.

"Ray, lama banget. Cepetan!" dari ruang lain suara Mas Ian membungkus lamunan Raya.

"Iya sabar. Dicobain dulu, nanti keasinan," Raya membalas meneriaki Mas Ian dari dapur.

"Ray, Mama pulang hari ini. Negasin aja, kali - kali tadi lo belum sadar pas gua kasih tau."

"Iya Raya denger dan sadar, tapi kok tumben ya Mama mau pulang gak ngabarin Raya?"

"Gak tau," jawaban Mas Ian menutup dialog mereka karena Mas Ian telanjur asik menyeruput kopi setelahnya.

Mamanya Raya adalah pribadi yang feminis, dari dulu mamanya ga terikat sebagai istri yang terkesan hanya untuk berdiam di rumah. Mamanya adalah seorang pekerja keras, seperti halnya seorang ayah.

Setidaknya itu gambaran ibunya di mata Raya. Raya kecil adalah sosok yang paling bahagia. Ia mendapati mamanya dan ayahnya dalam tubuh mamanya. Mamanya selalu membacakan dongeng sebelum Raya tidur, mengajaknya bersepeda ria di ujung pekan, berkebun bunga matahari di musim semi, dan hal-hal manis lainnya, dulu. Karena sekarang, bahkan untuk mengahabiskan waktu di sofa kesayangan saja sudah entah masih bernyawa atau tidak ritual itu.

Ya, ayah Raya jarang ada di rumah. Bisa dibilang, ayah Raya terlalu sibuk untuk sekadar diajak berdiskusi tentang kehidupan seorang gadis kecil. Hingga Raya akhirnya canggung untuk menganggap ayahnya sebagai ayah.

SMA6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang