I'm a mess

16 2 0
                                    

Selamat ulang tahun Ray.

Untuk pertama kalinya lagi, gue show up air mata gue di depan papa dan mama. Satu dua tetes mungkin gak akan keliatan, tapi ini kerasa banget buat gue. Entah gimana perasaan Raya.

Pagi tadi denger mama telpon dan ngabarin kalau dia mau pulang bareng papa, gue udah punya firasat kalau ini bukan kabar baik untuk gue, maupun Raya.

Gue pikir mama dan papa akan bener bener pulang, pulang dan gak pernah gue temuin lagi, ya pulang kepangkungan Tuhan. Tapi nyatanya, ini lebih sulit untuk gue terima.

Gue emang terlalu cuek untuk Rumah, gimana keadaan rumah dan penghuni penghuninya, maksud gue Mama, Papa dan Raya.

Tahun pertama untuk gue ada di dunia, itu rasanya seperti punya segalanya, kecil dulu gue gak tahu apa itu surga, dewasa ini gue mulai paham apa itu surga. Ternyata dulu, gue sempat punya surga. Rumah yang sangat hangat untuk tiga orang didalamnya berbagi kasih.

Sampai akhirnya papa bilang "Brian, sebentar lagi kamu mau jadi kakak."
Dulu papa adalah sosok yang sangat gue idolakan. Gue lupa cerita lengkap nya kayak gimana, tapi yang gue inget dulu pas gue TK papa itu selalu antar dan jemput gue, setelahnya papa balik lagi ke kantor untuk kerja, pulang dari kantor papa pasti langsung siapin makan malam, entah itu dia masak sendiri atau makanan yang dia beli dijalan.

Dulu papa itu super hero buat gue, waktu gue dorong temen gue dari ayunan sampai jatuh dan berdarah, papa yang ada di depan gue, papa yang minta maaf dan papa yang kena omel. Cerita gue tentang papa itu indah banget, dulu.

Ohiya, kenapa papa banyak berperan waktu gue TK, karena waktu gue TK sekitar umur 3 atau 4 tahun, Raya masih terlalu kecil untuk ditinggal mama. Dan satu yang yang terlewat, Raya lahir prematur.
Entah perjanjian apa yang dibuat Papa dan Mama dibelakang gue dan Raya, tapi gue merasa kalau dulu gue selalu punya Papa dan Raya selalu punya mama.

Semakin gue dewasa, gue melihat semua perubahan yang terjadi. Saat gue udah masuk SD papa udah mulai ngelepas gue, gue udah mulai mandiri untuk semua hal yang dilakukan bocah ingusan. Hari dimana pertama dan terakhir kalinya gue diantar jemput papa pakai baju dan sepatu putih, celana dasi dan topi merah. Setelah hari itu selesai papa kasih gue satu kalimat yang sampai sekarang gue masih inget banget "Mas, kamu gak selalu punya papa dan mama. Tapi, kamu selalu punya Raya. Bisakan kalau papa tinggal? Mulai belajar jadi Mas yang baik ya."

Dari hari itu, gue mulai melihat Raya sebagai Adik, sebagai perempuan yang harus terus gue jaga, dan sebagai satu satunya keluarga yang nantinya gue punya.
Untuk anak 6 tahun, dengan pemikiran seperti itu, gue gak nyangka sampai sekarang kalau itu bener bener terjadi.

Malam itu, setelah semuanya hancur. Raya yang terus mengisak - isak tangisnya, Mama yang sampai tidak lagi terdengar raungannya, Papa yang terus memijat dahinya dan gue yang hanya duduk pasrah di pinggir ranjang yang pernah jadi kisah sangat indah untuk pria kecil ini.
Dan gue udah terlalu muak sama kejadian ini,

"Mau sampe kapan kayak gini? Mau terus terusan nangis kayak gini ma? Ray? Pa! Yaudah kalo gitu Ian yang pergi."

"Tunggu Mas," suara Papa melemah.

"Papa yang salah, Papa yang pergi. Kamu jaga Raya sama mama ya," Lanjut Papa.

Setelah itu Papa bener - bener pergi.
Dan gue, nggak bisa tahan emosi untuk itu semua. Gue gak bisa tahan liat Raya sama Mama yang terus - terusan terisak. Gue memutuskan untuk pergi buat nenangin diri gue.
Naik motor sendiri malam malam dengan emosi yang gak bisa di kontrol memang bukan ide bagus.

Duduk di meja bar ini jadi satu satu nya tujuan gue.

"Wine satu mas."

Tempat yang sangat kerlap ini dengan musik yang luar biasa kerasnya, gue masih ngerasa gelisah. Ini udah jam 3 pagi dan satu - satu nya tempat yang gue tahu masih ramai dan bisa gue kunjungi ya ini, tempat gue, Bang Jazlin dan para gengnya menghabiskan waktu.

"ADUH."

"Eh sorry sorry."

"Baju saya jadi basah loh mas," Katanya.

"Iya mba maaf saya gak sengaja, saya gak lihat kalau ada mba."

Bego emang gue, kenapa bisa nggak sadar kalau ada cewek secantik ini di belakang gue dan gue malah numpahin wine ke dress putih nya.

"Rinata," dengan sodoran tangannya yang - - - arghh, sempurna.

"Jangan panggil mba," Sambungnya menyadarkan gue untuk melepas jabat tangannya.

"Oh eh hm iya ok ok."

"Eung kita gak mau tukeran nama?"

Tanpa aba - aba gue pun langsung menyodorkan tangan gue, "oh iya iya."

"Emm tadi udah kan jabat tangannya? Mau lagi?" Katanya dengan alis yang terangkat satu.

Mampus tolol banget kan gue anjing malu - maluin banget kayak gini nih, "eh, iya sorry. Tadi belum puas ehehe."

Aduh makin tolol Brian ngapa lu bilang belom puas si anjir nih mulut gak bisa dikontrol banget.

Eh kenapasi dia ketawa mesem - mesem gitu manis banget ya Tuhannnn.

"Emm Kenzo Brian Soesanto."

"Oh okay, panjang ya."

"EH?" buset ni cewek oke juga first impression ke gue nya.

"Kenapa?"

"Tau darimana kalo itu gue panjang?" Ucap gue sedikit teriak untuk menutupi musik yang keras.

"HA? APANYA YANG PANJANG?"

"Aduh anjir musik nya kenceng banget."

"HA? APANYA YANG KENCENG?"

Okeh, kalau kayak gini gak ada pilihan lagi selain bisikin di kuping dia, gue berdiri untuk membuat posisi berhadapan dengan dia dan mendekatkan wajah gue kearah telinga nya "musik nya kenceng." Ucap gue melemah untuk menyelaraskan degup jantung gue yang kencang.

Dia memutarkan wajahnya dan wajah kita benar benar saling berhadapan mungkin jarak ujung hidung kita hanya sepanjang jari kelingking "apa?" Sahutnya lembut.

Posisi kita yang saling berhadapan sedekat ini benar - benar ngebuat wine gue bereaksi sangat cepat.

Matanya yang sempurna indahnya, Tuhan mungkin benar benar sedang suka cita saat menciptakan Rinata.

Alunan musik yang begitu kencang seolah berhasil menutup mata Rinata dan menenggelamkan gue untuk merasakan manis stroberi dari bibir cantiknya.
-
-
-

Paginya,

"Ah shit, kenapa gue ditinggal sendiri sih. Padahal gue belum sempet minta nomor whatsapp nya." Gumam gue sambil mengumpulkan nyawa pagi pagi buta.

Holly shit.

Gue sempat tersentak setelah membalikkan badan dan membuka selimut yang semalaman menggulung gue dan Rinata. Bukan karena gue tidak mendapati Rinata di ranjang sampai pagi ini, tapi bercak darah yang gue sangat tahu itu darimana.

Gue emang gak sepenuhnya sadar malam itu, tapi gue tahu pasti, empat jam sebelumnya gue benar benar menikmati itu bersama Rinata, wanita dengan dress putih diatas lutut, rambut yang terjuntai begitu indah, dengan tumpuan heels merahnya.

Ini bukan pertama kalinya gue having sex, tapi kali ini gue merasa sangat bersalah. Gue orang pertama yang menjajaki lajangnya? Selama ini, mereka yang menggulung selimutnya bersama gue melakukan kesepakatan dua pihak.

Apa sebenarnya malam tadi Rinata hanya ingin menggunakan waktunya untuk minum dan bersantai?

Apa semua kejadian ini hanya kesepakatan gue?

Apa semua ini karena gue yang terlalu emosi?

Rinata adalah satu dari banyak wanita yang gue temui disini, tapi ini lekat, membekas.

Gue, jatuh cinta lagi? Dengan orang yang baru gue kenal selama empat jam?

Bahkan gue gatau alamat Instagramnya.

Gilak.

...

Hai hai!! Gimana? Kepo gak sama lanjutannya? HEHEHE

SELAMAT MENUNGGU 1 MINGGU LAGI, LOVE YOU ALL❤😬

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SMA6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang