#05

2.8K 358 8
                                    

"Yong, itu bocah gimana latihannya tadi?"

Taeyong yang lagi ngunyah kentang langsung menoleh. Orang di depannya ini ... gak punya sopan santun sekali, ya, asal Yang Yong Yang Yong saja! Belum saja itu mulutnya ditarik biar monyong, hufhhh ....

"Ya, sesuai dugaan gue. Kebanyakan ngeluh." Ryan mengangguk. Gak heran, sih. Sebenarnya Renjun itu tipe orang yang suka ngeluh melulu, gak jarang langsung jadi pemalas banget pas apa yang dia harapkan gak sesuai kenyataan.

"Tapi lucu juga sih dia. Meskipun penampilannya ... ya, lo tau deh, dia jadi ngingetin sama adek gue."

Lucu, ya ...

Renjun itu emang lucu sebenarnya. Gemesin banget, kalau saja itu anak memperhatikan penampilannya. 'kan sudah dikata, cuma karena penampilan yang kelewat kuno, juga berat badan serta kulitnya yang gak kerawat itulah yang ngebikin Renjun jadi buluk banget, kayak tarzan baru keluar dari hutan.

Untungnya Ryan enggak kayak orang di film-film, yang gak mau ngakuin Renjun sebagai saudaranya. Meskipun dia sudah diangkat oleh orang tua baru, dan Renjun tidak, nyatanya dia masih dan akan tetap sayang sama Renjun, kok.

Kembarannya, yang nasibnya cukup malang, tidak dengannya yang sudah diangkat oleh anak orang kaya.

Ryan masih inget banget waktu itu umurnya baru sepuluh tahun, harus berpisah dengan adiknya. Mereka yang biasanya selalu bareng-bareng, pas dipisahin, ya, pada nangis kejerlah. Bahkan si Renjun sampai mogok makan dua hari gara-gara Ryan pergi.

Ryan kasihan, namun dia juga senang bisa memiliki orang tua baru. Tetapi, dia juga sempat mogok makan (ngambek), namun dengan segala macam bujuk rayuan, akhirnya dia bisa menerima, begitu pula halnya dengan Renjun. Setiap akhir pekan Ryan selalu ke panti untuk nemuin Renjun. Meskipun itu enggak terlalu mengobati rasa rindunya, setidaknya dia masih bisa bertemu dengan adiknya.

Sampai di mana ketika dia akan memasuki sekolah pertama, papa angkatnya ada pekerjaan di luar negeri, di italia, yang mana membuat mereka sekeluarga harus pindah rumah. Renjun enggak sempat dihubungi, karena itu memang sangat buru-buru. Setelah sekolah menengah atas barulah mereka kembali ke Korea—sekedar menemui Renjun dan berlibur bersama.

Iya, setelah bertahun-tahun enggak ketemu, tahun kemarinlah Ryan baru menyandangi panti dan ternyata Renjun sudah tidak tinggal di sana. Anak itu sempat diangkat orang tua baru, namun ternyata terlalu tragis jika diceritakan. Lain kali akan kuceritakan.

Orang tua angkat Ryan baik banget. Dia mau-mau saja kok ngajak Renjun liburan bareng, cuma saja mereka memang enggak bisa ngambil Renjun juga. Enggak bisa ngasuh Renjun juga.

Alasannya ... ya, tanya sama merekalah. Emangnya gue emak-emak yang demen ngegosip sampe tau urusan mereka!

**

"Ini. Pertama kamu pake ini, terus ini, abis itu olesin ini, nah kalo udah kelar kasih ini."

Ini, ini, ini! Pusing Renjun jadinya. Lagian ngapain, sih, produk perawatan kulit banyak banget modelannya. Mendingan dia minum kulit mangis yang ada ekstraknya, dah, ah!

Renjun bengong sambil ngelihatin Ryan, sedang yang dilihatin jadi kepengin ngegaplok adiknya. "Gak ngerti, Ryan!" kesel Renjun, tuh. Ryan kalau datangin dia pasti ada saja kelakuannya. Yang nyuruh Renjun ginilah, gitulah, hadeh ... ga habis pikir dengan orang itu.

Ryan menghembuskan napasnya dengan kasar. "Oke! Gini aja dah." Ini mah sampe mulutnya berbusa juga Renjun tetap saja gak bakalan ngerti. Mendingan dia susun sesuai urutan pemakaian, jadinya lebih gampang.

'kan bener. Renjun langsung senyum sumringah ngeliatnya. Kalau kayak begitu susunannya Renjun baru paham. Kenapa gak dari tadi, sih, lagian Ryan ini!

Ck, pake nyalahin orang. Bilang saja lonya yang terlalu norak!

"Oke."

Setelah berkutat dengan produk-produk itu—produk dari dokter—Renjun dan Ryan duduk di depan televisi. Rada risih sebenarnya dengan kondisi ruangan yang kayak kapal pecah, juga sempitnya bikin geleng-geleng kepala. Bahkan, kamar mandi Ryan saja lebih besar ukurannya daripada tempat tinggal adiknya ini.

Halah, sombong amat!

Melihat kondisi Renjun yang jauh dari kata ... ah, apa, ya, nyebutnya. Intinya, Ryan bakalan rajin nabung buat beliin Renjun rumah. Iya, pokoknya dia harus. Enggak mungkinkan dia minta ke orang tuanya? Ya, kaleeee! Gak tahu diri banget dia minta beliin rumah buat adiknya. Masih mending emak bapaknya baek suka nitip makanan dan uang jajan buat Renjun, ya, masa mereka juga harus ngebeliin rumah.

Lagi pula, Renjun mana mau. Dia orangnya gak enakan. Ditawarin makanan lima ribuan saja maju mundur tangannya, bimbang mau terima apa kagak.

"Tadi di sekolah gimana?"

"Baik. Cuma ada beberapa orang aneh aja."

Renjun duduk bersandar di bahu Ryan. Sedang kakaknya itu tengah mengusap sayang kepala adiknya.

"Kamu kalo di macem-macemin sama orang, lawan. Jangan diem aja, nanti dianya kebiasaan gituin kamu terus." Mendengarnya, Renjun hanya mengangguk. Sudah kepalang biasa saja dengan omongan itu. Sejak satu tahun yang lalu, Ryan selalu mewanti-wanti, takutnya ternyata Renjun suka dibully di sekolah.

Ya, bapak Ryan gak tau aja adeknya dibully setiap hari.

"Ya, sudah, kamu tidur duluan sana. Aku masih mau nonton tv."

Alesan. Padahal dia mau teleponan sama seseorang yang bakalan ngeubah Renjun menjadi lebih baik lagi. Anjay, kan!

"Gak mau! Ryan juga tidur sama, Njun!" tuman dah. Sikap manjanya kembali, untungnya Ryan sabar dan sayang adik. Kalau dia gak sayang sudah dijual Renjun ke tukang loak.

"Iya, iya. Yaudah ayo pindah." Renjun senyum semangat, bukan smash.

Pindah ke kasur, yang letaknya gak jauh dari televisi. Tinggal guling badan ke belakang juga nyampe ke itu kasur. 'kan dikata, rumah Renjun kecil banget.

**

"Kalo kayak gitu mah gue gas dah."

"Ettss, inget, jangan sampe baper. Hahaha!" Hwi ketawa, Jeno natap sinis.

"Tapi ... masa iya abis gue gaplokin doang itu anak cepet banget berubahnya?"

"Hm ... jadi pengen tau cara nurunin berat badan dalam waktu semalem kayak gimana."

Yaudah, terserah Soobin aja.

"Tapi ... ada yang aneh."

*TO BE CONTINUED*

Lentera ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang