#09

2.2K 315 12
                                    

Kacau. Renjun benar-benar kacau. Pakaiannya awut-awutan. Rambut gondrongnya berantakan tak terkira. Air mata banyak membekas di wajah.

Renjun hampir dilecehkan, jika saja Jaemin tidak datang tepat waktu.

Oh, astaga ... antara dia harus senang akan kehadiran sosok itu atau justru semakin takut. Yang pasti, Renjun tengah terguncang. Jika lelaki itu kembali membuatnya demikian, demi Tuhan Renjun tidak tahu apa lagi yang akan terjadi setelahnya.

Jaemin telah menyelamatkannya, semoga saja dia tidak melakukan hal-hal aneh kepadanya, setelahnya.

Dengan tangan gemetar, Renjun merapihkan pakaian. Sesekali sesegukan, karena tak kuasa dia tahan. Beruntunglah kejadian buruk tak terulang lagi, namun tetap saja hal ini sama berartinya memberikan efek pada diri Renjun.

Jika dibully, dia tidak akan sefrustasi ini. Perihal pelecehan itu lebih berat, (bahkan) sekalipun dengan orang tersayang, yang namanya pelecehan tetap saja pelecehan!

"Ayo gue anter." Jaemin bangkit, tetapi tidak menatapnya. Dia mengambil langkah, namun Renjun tak kunjung jua bangkit.

Kaki pemuda itu gemetar, mana bisa dipakai untuk jalan! Bahkan pemuda itu masih meringkuk dengan lelehan air mata yang masih membasahi pipi gembilnya.

Saat dirasa tidak ada seseorang di dekatnya, Jaemin menghela napas, lalu berbalik badan menatap teman sekolahnya—atau lebih tepatnya, orang yang sering sekali dia bully. Menghampiri tanpa beban, karena bagaimanapun Jaemin tetaplah manusia yang memiliki hati, bukanlah seorang manusia berhati iblis.

Pemuda jangkung itu mengulurkan tangan, yang tak kunjung kua mendapatkan balasan. Lagi, pemuda itu menghela napas. "Gue gak bakalan macem-macem. Ayo, gue anter pulang. Di mana rumah lo?"

Untuk pertama kalinya Renjun mendengar suara lelaki dihadapannya. Tidak, tidak, bukan berarti Jaemin tidak benar-benar pernah membuka suara, hanya saja ... ini baru pertama kali lelaki itu berbicara dihadapannya, berbicara dengannya.

Beberapa saat, Renjun mencoba menstabilkan deru napasnya. Menstabilkan emosionalnya. Hari telah larut, menolak ajakan lelaki di depannya agaknya selain tidak sopan, dirinya masih takut akan ada orang-orang jahat seperti tadi.

Tanpa dia ingat, Jaemin juga kerap kali berperilaku jahat kepadanya saat di sekolah.

"Ma-makasih ...." Uluran tangan Jaemin tidak diterima, Renjun hanya mampu menggenggam erat ujung baju yang dia pakai.

Menerima uluran tangan Jaemin sama saja mengingatkan sentuhan kasar tangan orang-orang yang telah melecehkannya, sekalipun bukan Jaemin yang melakukan.

Keduanya berjalan dalam diam. Jaemin tidak membawa kendaraan, karena memang anak itu baru pulang dari acara kumpul-kumpul bersama teman-temannya. Sebenarnya, biasanya Jaemin membawa motor, kok, hanya saja kali ini dia enggan. Tetapi, terbesit rasa bersyukur karena dengan itu dia dapat menolong Renjun.

Eh, sejak kapan Jaemin peduli dengan lelaki itu?

Oh, iya. Demi taruhan!

Eh, tapi ... saat melihat kondisi Renjun yang tidak baik-baik saja tadi, yang hampir benar-benar dilecehkan, juga saat mendengar suara minta tolongnya, Jaemin keburu kalut. Marah pada dua preman yang dengan senang hati dia buat tumbang.

Jadi ... itu murni dari hati atau teringat taruhan, ya?

Ya, namanya juga Jaemin. Malulah bro ngakuin kalo dia care sama orang modelan Renjun!

Mau bilang amit-amit, tapi dia udah nolongin. Gimana dong?

**

Renjun menghentikan langkahnya, diikuti Jaemin di belakangnya. Sebenarnya butuh melewati beberapa bangunan lagi baru sampai dikediamannya, hanya saja dia takut jikalau Jaemin tahu kediaman Renjun, lelaki itu beserta teman-temannya akan mengganggunya hingga di dalam rumah.

Lentera ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang