"Aku gak suka, ya, kamu ungkit-ungkit masa lalu!" Renjun menatap Ryan dengan bengis. Namun tak memungkiri genangan air mata siap tumpah dalam sekali kejap.
Renjun yang orang lain tahu itu ialah seorang yang pendiam. Sangat berbanding terbalik dengan sosok aslinya yang begitu banyak bicara dan bertingkah.
Ryan menghela napas. Dia kelepasan, sampai-sampai luka lama dibukannya kembali. "Seterah, deh." Setelahnya, cowok itu melenggang—meninggalkan Renjun yang cemberut.
Abangnya itu kelewat tidak peka. Adiknya mau nangis (sedang sedih) malah ditinggalin. Jadi pengin mencabik-cabik wajah tampan itu saja rasanya!
"Jahat!" isaknya.
Di lain sisi, Ryan mengusak kasar surai hitamnya. Dia tahu perkataannya salah, namun dia hanya ingin Renjun tidak kembali berulah. Dia tak ingin kejadian itu terulang, kejadian yang memukul telak dirinya juga karena tak mampu menjaga adiknya dengan baik.
"Arghh!" stir mobil dipukul dengan kencang. Deru napasnya tak beraturan—naik-turun, dan terasa berat. Setelah dirasa cukup tenang, Ryan menyalahkan mobilnya. Melajukan mobil tersebut dengan kecepatan standar menuju tempat yang biasa dia sandangi.
"Bodoh, dasar bodoh!" gumam cowok itu tiada henti sembari memukul kepalanya sendiri.
**
"Ryan benar-benar meninggalkanku?" Renjun mencibik. Tega sekali saudaranya itu pergi tanpa berkata. Renjun kesal, pokoknya kesal!
Cowok itu berjalan dengan tak bersemangat menelusuri jalan yang masih dikenalnya. Dia tak tahu ingin ke mana langkahnya tertuju, tapi yang pasti dia ingin menjernihkan pikirannya terlebih dahulu dari bayang-bayang saudara sialanya itu.
Masa bodoh dengan waktu yang telah menunjukkan pukul sembilan malam, yang penting dia dapat menetralisirkan perasaan nyeri yang kembali teringat. Fragmen memori kembali terputar seperti kaset rusak.
"Hei, manis, boleh berkenalan?"
Renjun tersentak. Matanya berkejap dua kali. Keningnya mengeryit saat mendapatkan sosok asing menghalang jalan. Lebih tepatnya, dua sosok asing berbadan cukup besar.
Sial! Pasti mereka preman atau yang lebih parahnya pria mesum. Jika melawan Jisung yang sama kerempeng dengannya saja tidak bisa, apalagi melawan dua raksasa bermuka iblis di depannya ini?!
Oh, bagus. Setelah fragmen memori buruk terputar, ternyata kepingan itu akan kembali terulang di depan matanya sekarang.
Sialan, sialan, sialan! Renjun benci tubuh gempalnya, yang menyulitkannya untuk bergerak. Dia rindu tubuh kurusnya, yang dapat bergerak dengan lincah!
"Mengapa terdiam, eiy?" salah satu di antara kedua pria berbadan besar mengangat wajahnya dengan cara mencengkeram rahangnya. Tatapn pria di depannya itu sangatlah menjijikkan. Renjun benci melihatnya!
"Hm, ternyata kau memang manis. Hanya tertutup oleh penampilan lusuhmu, eh?" pria yang lainnya menyahuti. Mengusap surai Renjun dengan gerakan lambat.
Renjun menggelengkan kepala berupaya menyingkirkan tangan-tangan kotor itu, namun upayanya sia-sia. Amarah kedua pria itulah yang ditimbulkan akibat ulahnya.
"Hei, kami tidak akan menyakitimu." Si pria berkepala plontos berucap.
"Ya ... mungkin hanya sedikit. Kau tahu tidak, tubuh gempalmu ini mampu membuat hasratku naik untuk segera menyetubuhimu." Kali ini, si pria dengan surai tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera ☑️
RandomTidak ada yang lebih menyenangkan daripada mengganggu Nakamoto Renjun. 3 Agustus sampai 12 September 2020 ©Njunchanie