5 - Ayah.

18 4 0
                                    

Aku bersama keluarga Niall sudah kembali dari Bali setelah satu minggu menghabiskan waktu di sana. Meskipun aku senang saat berada di Bali, tapi aku tetap merasa lebih senang ketika berada dirumah.

Aku langsung menuju kamarku untuk beristirahat. Mungkin tidur atau menonton film bisa menghilangkan rasa lelahku. Sebelum sampai di kamar aku melihat sekelebat bayangan dari luar rumah.

Sejak seminggu yang lalu aku sudah merasa curiga kalau aku sedang dimata-matai. Pertama, tepat saat kepergian ayah. Kedua, saat perjalanan pulang ke rumah aku sempat melihat pria tinggi berkacamata yang memperhatikan mobil Paman Bobby sampai lampu lalu lintas menunjukan menunjukan warna hijau, kemudian pria itu menaiki motornya mengikuti mobil kami. Ketiga, baru saja aku melihatnya melintas.

Sungguh cara yang ceroboh untuk memata-matai orang lain. Mungkin dia harus belajar lebih keras untuk memata-mataiku tanpa ketahuan.

Rencanaku untuk tiduran sambil menonton film harus kubatalkan. Aku lebih tertarik mengikuti orang bodoh yang mengawasiku dan mengetahui motifnya daripada bersantai dan membiarkan orang bodoh itu terus menjalankan rencananya.

Aku melihatnya di ujung jalan. Aku segera mengendap dibalik pohon pohon di pinggir jalan. Orang itu menelepon seseorang. Aku harus menajamkan indra pendengaranku untuk mendengar percakapannya dengan orang ditelepon ditengah-tengah suara kendaraan yang berlalu-lalang.

"Mereka sudah tiba."

"....."

"Apa yang harus saya lakukan?"

"....."

"Baik bos." dia memasukan ponselnya ke saku. Dia sedang lengah. Ini kesempatan bagus. Aku segera menariknya untuk berada dibalik pohon bersamaku.

Sudah kubilang dia itu bodoh. Bahkan saat ditarik oleh musuhnya pun dia tidak melakukan pertahanan.

"Katakan padaku, apa tujuanmu memata-mataiku." aku mencekiknya.

"Kau salah orang."

"Kau tidak bisa membohongiku. Cepat katakan sebelum aku meneriakan maling dan menghajarmu disini." semoga ancamanku berhasil walau sebenarnya aku tidak yakin, cuma asal ceplos saja.

Dia memukul rahangku seketika aku terpental dan cengkramanku pada lehernya terlepas. Dia berlari, aku mengkutinya. Saat aku sudah hampir meraihnya, sebuah mobil membawanya pergi.

Aku yakin motifnya bukan pencurian. Pasti akan ada hal besar yang akan terjadi setelah ini.

Aku harus tetap tenang dan berpikir jernih. Pasti akan kuungkap kejahatannya.

****

"Dari mana aja lo?"

"Beli es krim. Tapi udah gue habisin di jalan."

"Sumpah lo kayak kuda tau nggak, makan sambil jalan."

"Bodo amat, Yel. Bodo amat."

Niall bersedekap sambil menggeleng-geleng seperti seorang ayah yang sedang memarahi anaknya gara-gara ketahuan merusak barang-barangnya.

Aku tidak mengurusi Niall yang memang lebaynya sudah tingkat dewa. Aku segera menuju kamarku.

Saat aku berkaca, kulihat daguku sedikit lebam. Kurasa Niall tidak menyadarinya tadi. Aku mengompresnya dengan air es supaya nyerinya berkurang. Kuakui pukulan orang bodoh itu cukup keras.

Kuhapal fisiknya baik-baik. Tubuh tinggi tegap, mungkin tingginya sekitar 180 cm. Kulit sawo matang, hidung mancung, bibir tipis, tanpa kumis.

Sebenarnya cukup sulit mengingat seseorang tanpa melihat matanya. Terlebih baru sekali aku melihatnya dari dekat. Semoga saja orang yang mengawasiku tetap sama, si bodoh itu.

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang