6 - Ayah(2).

29 3 0
                                    

Kini kami telah sampai di London setelah menghabiskan enam belas jam di perjalanan. Setelah meletakkan tas berisi pakaian di rumah Paman Bobby yang berada di London, aku dan Niall segera menuju ke rumah sakit tempat ayah dirawat.

Aku tidak peduli apa nama rumah sakit ini, yang terpenting disinilah tempat ayah dirawat. Aku dan Niall segera menuju kamar ayah. Sedangkan Paman Bobby dan Bibi Maura menanyakan kejadian tentang ayah pada Thomas, atasan ayah.

Saat aku hendak masuk, seorang perawat tidak memperbolehkanku masuk. Memang dia pikir aku orang gila?

"Aku anaknya. Jangan halangi aku atau kau kuhabisi disini." perawat itu terlihat takut, namun akhirnya dia memperbolehkanku menjenguk ayah. Sedangkan Niall menunggu di luar karena tidak mau mengganggu waktuku bersama ayah.

Aku tercengang saat melihat tubuh ayah yang dipenuhi alat medis. Kali ini aku tidak menangis. Aku mencoba berpikir positif, setidaknya ayah masih hidup walau dinyatakan koma.

Aku duduk di samping ayah sambil menelisik wajahnya yang dipenuhi luka. Terdapat luka jahit di dagunya, lebam di mata, luka goresan benda tajam di pipinya, serta dahinya yang diberi perban. Ayah tetap terlihat tampan dimataku meski wajahnya dipenuhi luka.

Air mataku menetes saat aku menyadari rasa sakit yang ayah dapatkan. Aku tidak tahu saat ini jiwa ayah berada dimana, tapi aku harap ayah melihatku.

"Hai, ayah. Lisa udah ada di samping ayah." aku tersenyum sambil mengusap tangannya lembut.

"Lisa harap, ayah bisa lihat Lisa. Lisa nggak tau jiwa ayah dimana tapi Lisa bisa ngrasain kehadiran ayah di dekat Lisa. Di hati Lisa" air mataku menetes lagi.

"Dua hari yang lalu Lisa mimpi ketemu ayah. Ayah kasih pesan ke Lisa buat nggak terlalu banyak menangis, Lisa berhasil. Saat perjalanan ke sini Lisa sama sekali nggak nangis, Lisa terus inget kenangan indah pas lagi sama ayah, bahkan Lisa sampai tersenyum." saat ini aku sedang tersenyum namun air mataku tak berhenti mengalir. Suaraku pun bergetar saat aku mengatakannya.

"Tapi sekarang Lisa jadi nangis, mungkin karena Lisa lihat ayah cuma diam padahal Lisa ajak bicara."

"Kenapa ayah nggak jawab ucapan Lisa, yah? Apa ayah udah nggak sayang Lisa lagi? Ayah harus tetap sayang sama Lisa, nggak boleh nggak sayang karena Lisa sayang sama ayah. Sampai kapanpun ayah bakal jadi orang yang paling Lisa sayangi. Posisi ayah akan tetap sama di hati Lisa meskipun suatu saat nanti ayah sudah berada di dunia yang berbeda dengan Lisa." aku menghapus air mataku dengan selimut yang ayah pakai.

"Ayah nggak boleh ninggalin Lisa sebelum ayah membuka mata dan memeluk Lisa. Lisa ngaku kalau Lisa anak yang cengeng pas lagi sama ayah. Lisa minta maaf kalau Lisa suka manja sama ayah. Lisa cuma pingin ngerasain waktu bareng ayah karena ayah sibuk kerja. Lisa mau kita habisin waktu bareng lagi ayah. Lisa tau ayah juga pasti kangen sama Lisa kan?" aku tersenyum kecut saat menyadari ayah sama sekali belum menjawab ucapanku.

Sampai kapan ayah? Sampai kapan?

"Waktu Lisa mimpiin ayah saat itu rasanya kayak nyata, yah. Tapi disana Lisa nggak bisa nangis, Lisa kira Lisa udah meninggal."

"Tapi kok ayah nangis waktu di mimpi Lisa, Lisa jadi ikut sedih. Tapi habis itu ayah jadi pasir terus terbang ketiup angin, tapi Lisa enggak. Jadi Lisa semakin takut kalau ayah ninggalin Lisa. Ternyata mimpi Lisa itu pertanda, ya? Makasih nasihatnya, yah. Lisa janji buat nepatin janji Lisa sama ayah." aku memejamkan mataku menahan rasa sesak yang kurasakan. Ada rasa sakit dihatiku yang tidak bisa kuungkapkan.

Sudah dua jam kuhabiskan hanya untuk memandangi wajah ayah. Sesekali aku menyentuh luka ayah. Ayah terlihat keren dengan semua luka itu. Tapi aku tahu ayah tidak menyukainya. Pasti terasa sakit.

Ayah sudah melindungi banyak orang hingga membahayakan nyawanya untuk keselamatan seluruh manusia di dunia. Kenapa aku tidak berusaha melindungi ayah?

Orang-orang itu dengan tega mencelakai banyak orang tidak bersalah. Kenapa aku tidak berusaha mencekalai mereka yang bersalah?

Mereka bahkan membunuh banyak orang yang tidak tahu apa-apa. Kenapa aku tidak berusaha membunuh mereka yang tahu banyak hal?

Pasti menyenangkan bisa menyiksa mereka orang-orang yang suka menyiksa. Impas, bukan?

Lamunanku terbuyar saat suara pintu dibuka. Ternyata Niall dari tadi sudah mengetuk pintu, namun aku tidak menyadarinya.

Aku terus menatap ke arahnya.

Niall's POV.

Kenapa Lisa lihatin aku begitu ya? Aku salah apa sih sama dia? Serem banget, anjir.

Sumpah Lisa nggak kedip sama sekali. Pandangannya juga tajam banget kayak dendam sama aku. Aku jadi khawatir sama keadaannya. Dia pasti sangat terpukul lihat keadaan ayahnya.

Matanya merah dan berkantung, wajahnya juga pucat. Jadi makin seram sambil menatap tajam ke arahku. Kuputuskan untuk menghampirinya.

"Lisa, lo yang sabar, ya. Gue bakal selalu nemenin lo, kok." aku tersenyum berusaha menenangkannya. Aku merinding sebenarnya ditatap begitu. Sama sekali tidak pernah kulihat tatapan itu dari mata indah Lisa.

"Jangan liatin gue gitu dong, jadi salting nih." aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, gugup.

"Lo bunuh ayah gue?" aku menyerngit bingung. Sumpah suaranya serem banget, coyy.

Apa dia kesurupan ya? Bukannya gue sama dia terus?

"Bukanlah, kan kita bareng terus pas bapak lo kerja. Sadar Lis, jangan terlalu larut dalam kesedihan, ayah nggak akan suka lihat lo sedih."

Aku hendak menghapus air matanya yang sudah mengering menggunakan tisu basah. Namun dia menghempaskan tanganku dengan kasar. Nggak sakit sih, cuma aku tersinggung. Aku berusaha tersenyum memakluminya. Mungkin dia sedang tidak ingin diganggu.

"Maaf kalau gue ganggu. Lo pasti lagi pingin sendiri." aku mengusap bahunya, dia tidak menolak seperti tadi.

Saat satu langkah lagi aku mencapai pintu, Lisa memanggilku. Ada sedikit serak di suaranya, mungkin dia terlalu banyak menangis.

"Sejak kapan lo masuk sini, Yel?" tanyanya dengan muka innocent.

Aku menyerngit bingung. Masa tidak ingat? Apa mungkin dia benar-benar kesurupan?

Aku menghampirinya dan tersenyum.

"Barusan aja. Tapi gue nggak mau ganggu lo jadi gue balik lagi." aku terpaksa berbohong agar dia tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku tahu dia sudah terlalu banyak pikiran sampai berhalusinasi atau mungkin emang kesurupan beneran.

Dia tersenyum sangat manis, berbeda dengan wajahnya tadi saat aku masuk.

"Lo disini aja ya temenin gue. Gue lagi butuh sandaran." dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Aku mengusap kepalanya lembut.

Lisa sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Aku tidak akan membiarkan siapapun membuatnya sedih.

"Lo mau jenguk Louis nggak? Gue tadi udah jenguk dia, dia udah sadar tadi nanyain lo." dia melotot, kurasa dia baru ingat kalau kakaknya juga ikut misi ini bersama sang ayah.

"Oh iya, gue lupa. Gue ke kamar Louis dulu ya, lo temenin ayah. Bye." dia jalan terburu-buru hingga tersandung kakinya sendiri. Sebegitu paniknya kah dia?

Aku hanya tertawa melihat tingkah konyolnya.

••••••

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung...

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang