Sudah seminggu aku masuk kuliah dan hari ini akan menjadi pertama kalinya aku belajar menggunakan pistol dan beberapa ilmu bela diri. Sejujurnya aku sangat merindukan ayah dan temanku di Jakarta meski yang mau berteman denganku tidak lebih banyak dari jumlah jari tanganku.
Oh ayolah! Apa kalian lupa siapa aku? Ayahku adalah seorang agen. Louis adalah kakak paling protektif dan menyebalkan serta jangan lupakan sifat blak-blakan Louis yang menular padaku. Semua itu menciptakan banyak kepalsuan dalam pertemananku.
Aku punya dua orang sahabat, Kirana dan Arlan. Mereka sangat baik dan tulus padaku. Terkadang aku berpikir mengapa mereka mau jadi temanku, tapi aku tidak berani menanyakannya. Aku takut setelah aku menanyakan hal itu justru mereka meninggalkanku.
Rasa bersalah tak pernah hilang dari benakku, aku pergi tanpa pamit. Ponselku ganti karena Louis bilang yang lama rusak karena kubenturkan ketembok berkali-kali sambil terus tertawa. Yang membuatku ngeri sendiri karena aku sama sekali tak mengingat hal itu. Segeralah aku menangis saat itu juga. Aku kehilangan nomor dua teman terbaikku. Aku kehilangan mereka.
Oke, aku harus fokus.
Ini adalah kali pertamanya aku memegang sebuah pistol. Oh, ini membuatku gugup, apalagi yang melatihku adalah pria yang melihatku menangis seperti anak kecil seminggu lalu. Sedangkan Louis? Dia hanya duduk sambil meneriakkiku.
Sekali lagi aku menatap target yang akan kutembak. Astaga, mengapa aku sangat gugup.
"Tenang, Lis. Tanganmu sampai bergetar seperti itu." Liam berusaha menenangkanku. Karena aku tak kunjung tenang kemudian dia memintaku untuk duduk dan menenangkan diri sementara dia mencontohkan padaku cara menembak target dengan benar.
Dia hebat. Aku semakin gugup, aku butuh air.
Deru suara motor mengalihkan perhatianku. Apa dia pelatih sebenarnya? Apa dia galak?
Pria itu turun tanpa melepas helmnya. Kaca helm itu gelap sekali sehingga aku tidak bisa melihat wajahya. Pria itu berjalan kearahku dan duduk tepat disebelahku. Demi tuhan aku ingin geser sedikit menjauh, tapi kalau dia sadar nanti aku takut dimarahi.
Entah mengapa, biasanya aku bukan orang yang penakut seperti ini. Tapi setelah melihat kelihaian Liam dan Louis yang sempat 'bermain-main' dengan benda itu membuatku merasa terancam.
Pria itu melepas helmnya dan merapikan rambutnya dengan tanggannya sendiri, dia menoleh. Wow, dia bukan orang galak. Aku mengenalnya, syukurlah. Aku menghembuskan nafas merasa lega.
"Kenapa lihatin gue begitu? Melotot, serem." mulutnya tidak berbeda jauh dengan Niall.
"Kaget aja." setidaknya yang duduk disebelahku ini bukan pelatih yang kejam seperti yang kulihat di TV.
"Kok nggak kesana?"
"Kata Liam gue disuruh duduk dulu." Harry menyerngit, kemudian tersenyum dan kembali kemotornya mengambil dua tas berukuran sedang.
"Nih minum, lo pasti gugup." katanya sambil memberikan sebotol air yang cukup dingin.
"Ini air putih, kan?"
"Itu air mata." katanya sambil tertawa, aku ikut tertawa. Kukira Harry orangnya dingin karena matanya itu terkadang sangat mengintimidasi, ternyata dia suka melawak.
Dia berjalan menghampiri Liam kemudian berbicara padanya sambil menunjukku. Perasaanku jadi tidak enak, bagaimana kalau Harry sebenarnya galak?
Liam berjalan menghampiriku. Sebelum dia sampai aku berdiri dan membuang botol air yang sudah habis kuminum.
"Maaf ya. Aku tidak biasa membawa air saat latihan karena aku yakin Harry akan membawakan untukku saat kita berlatih bersama. Aku tidak ingat kalau kau ini anak baru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wrong Way
Fiksi PenggemarKematian orang yang yang kusayang menjadikanku makhluk yang dikuasai dendam. Bahkan kini muncul kepribadian lain dalam diriku. Kepribadian yang sangat bertolak belakang. Ketika melenyapkan nyawa bukan menjadi hal yang sulit bagi para pembunuh. Begi...