9 - Comeback.

11 2 0
                                    

Sudah seminggu ayah belum sadar dari komanya. Sudah seminggu pula kuhabiskan waktuku untuk melamun sia-sia. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah berdoa semampuku, namun ayah tak kunjung sadar.

Aku dan Louis sedang duduk sambil menatap wajah ayah yang terlihat semakin kurus dan pucat. Bukan hanya ayah, Louis juga terlihat pucat dan kantung matanya menghitam. Aku tahu dia kurang tidur, aku sering mendengarnya berbicara sendiri di kamarnya.

Louis selalu menyalahkan dirinya sendiri dalam peristiwa ini. Sampai saat ini aku belum berani bertanya padanya mengapa ayah bisa tertimpa reruntuhan bangunan. Aku takut akan menyakitinya meski aku sangat ingin tahu.

Setiap tengah malam kudengar Louis berkali-kali berkata bahwa dia menyesal. Mengapa aku bisa tahu? Karena aku sama sepertinya, tidak pernah bisa tidur nyenyak sebelum ada berita sadarnya ayah.

Aku menyentuh tangan ayah. Tangan ini yang selalu menyalurkan kasih sayang dengan sentuhan lembut dikepalaku. Tangan ini pula yang telah bekerja keras untuk membahagiakan putrinya yang manja.

Ya! Ku akui aku manja saat bersama ayah.

"Ayah, makasih udah lindungin Louis. Kalau nggak ada ayah mungkin Louis yang ada di posisi ini." aku menyerngit. Apa maksud Louis?

"Maksud kakak?" Louis menggeleng pelan. Dia nampak sangat frustasi.

"Ayah lindungi kakak dari reruntuhan. Harusnya biar kakak aja yang kena, bukan ayah." suaranya bergetar.

"Semuanya udah terjadi, kak. Kita cuma bisa berdoa buat ayah biar cepat sadar." Louis diam, aku juga diam.

Di ruangan ini sangat sunyi. Hanya ada bunyi alat pendeteksi detak jantung serta isakan kecil dari mulutku maupun Louis. Kurasakan sesuatu bergerak dalam genggamanku. Jari siapa ini? Oh, ayah.

Ayah?

"Tangan ayah gerak, kak!" aku berteriak. Louis segera menekan tombol emergensi dan berlari keluar memanggil dokter.

Aku memejamkan mataku. Tak henti-hentinya kurapalkan doa sambil menggenggam tangan ayah. Ya Tuhan, kumohon sadarkan ayah.

Tak lama dokter datang dengan tergesa dan memintaku keluar dari ruangan. Diluar ada Louis yang sedang memejamkan mata sambil berdoa, Niall yang sedang duduk tak tenang dengan seorang pria disebelahnya yang tidak kukenal.

Aku duduk disamping Niall.

Niall yang menyadari kehadiranku langsung membawaku kedekapannya tanpa diminta. Ini yang kubutuhkan, pelukan. Pelukan Niall hampir sama nyamannya dengan pelukan ayah.

Saat dokter keluar dari ruangan ayah, sontak kami semua langsung berdiri kecuali pria yang tidak kukenali itu. Dokter mempersilahkan kami masuk karena ayah sudah sadar dengan syarat kami tidak boleh berisik.

Kulihat ayah sedang memandang langit-langit kamar. Aku tersenyum saat ayah menoleh kearahku.

"Akhirnya ayah sadar. Ayah mau minum?" ayah mengedipkan mata, kuanggap artinya mau.

Aku segera membantunya minum dengan sedotan. Ayah minum dengan cepat. Pasti tenggorokan ayah kering, dan aku tahu itu rasanya menyiksa.

Aku mengusap tangannya lembut.

"Lisa, sejak kapan kamu disini?" suaranya sangat lirih. Tidak ada lagi ketegasan yang kudengar dalam suaranya, itu membuatku ingin menangis.

"Udah dari seminggu yang lalu. Lisa senang akhirnya ayah sadar." Louis menghampiri ayah dan mencium punggung tangannya. Ah, ya! aku melakukan hal yang sama.

Louis memandang ayah dengan mata yang berkaca-kaca. Terlihat keharuan yang teramat dalam dari sorot matanya. Kurasa disini Louis lah yang paling terpuruk. Selama ini dia tenggelam dalam penyesalan, namun dia terlihat lebih kuat dariku. Louis memang orang yang hebat.

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang