16 - Louis...

4 1 0
                                    

Lisa's POV.

"Lisa, bangun dik."

Itu suara Louis. Ngapain sih kakakku itu membangunkanku pagi-pagi begini. Masih gelap juga.

Mataku terasa sangat berat untuk dibuka. Badanku juga sakit semua, padahal aku tidak ingat kalau aku latihan bela diri kemarin. Ah, rasanya aku tidak ingin bangun dari kasurku yang nyaman ini.

Tanganku menggapai-gapai mencari boneka dinosaurus T-rex pemberian ayah. Kemana boneka itu, biasanya boneka itu selalu berada didekatku saat tidur. Apa mungkin terjatuh, ya?

Terpaksa aku membuka mataku. Astaga rasanya mataku sangat berat, padahal aku merasa tidak kurang tidur. Apakah tidur terlalu lama membuat mata berat? Ah, masa bodoh. Aku mencari desekeliling kasur. Loh, bonekaku kok tidak ada, ya?

Tanpa kusadari ternyata Louis sedang duduk di meja belajarku sambil menatapku.

Eh, tunggu.

Itu bukan meja belajarku.

Lantai kamar ini juga tidak ada karpetnya.

Cat kamar yang semula hijau muda kini berubah menjadi warna krem.

Ruangan ini juga lebih sempit.

Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya aku tak mengingat apapun. Mana mungkin aku tertidur semalam dan ruangan ini bisa berubah begitu cepat dan mudahnya. Aku yakin ini mimpi. Aku menatap Louis yang sedang menatapku aneh. Mungkin rambutku aneh karena baru bangun tidur. Mungkin juga ekspresiku yang aneh.

Aku membaringkan tubuhku lagi, memejamkan mata.

"Kak?"

"Napa?"

"Tolong cubit lenganku." kurasakan Louis menghampiriku.

"Awww. Gilak! Sakit, sat!!" sialan. Louis bukan cuma mencubit lenganku, dia juga menjambak rambutku yang sangat indah ini.

Eh, tapi kalau sakit.. itu artinya ini..

BUKAN MIMPI!

"Aaaaaaa." aku berteriak sekuat tenaga.

"Kenapa lo?" Louis masih dengan santainya menanyaiku. Aku malah dibuat bingung sama muka polosnya itu. "Bangun, ini hari pertama lo kuliah!" masa sih?

"Kak, ini gue dimana? Kok kamarnya jadi lebih kecil? Siapa yang ngecat dinding jadi warna krem? Padahal kan gue udah bilang jangan pernah cat dinding kamar gue selain warna hijau muda! Kemana perginya T-rex?!!" arghh, aku menjambak rambutku. Aw, jadi makin sakit setelah dijambak kakak jahanamku ini!

"Eh, nglindur ni bocah! Ini di apartemen lah, nggak usah drama amnesia, deh. Kejadian beneran gue sukurin!" seperti biasa, kakakku itu memutar bola matanya sampai rasanya aku ingin mencabut dan menjadikannya bola pingpong.

Daripada berdebat dengannya yang pasti tidak akan selesai sampai hari esok, aku lebih baik turun dari kasur dan keluar kamar. Apa-apaan, nih? Kenapa semua berubah?

Aaaa, kalau kalian jadi aku pasti bingung setengah mati. Aku mencoba tenang dan mencari letak kamar mandi. Aku takut kalau aku amnesia seperti yang dikatakan Louis tadi.

Setelah menemukan kamar mandi, aku masuk dan memang semuanya berubah. Kalau benar ini apartemen, ini apartemen siapa? Lagipula aku tidak ingat kalau Louis atau ayah punya apartemen. Lagipula ngapain sih di apartemen kalau punya rumah gede yang kamarnya muat buat empat orang?

Eh, tunggu.

Ayah..

Ah, aku sedih mengingat ayah sudah tiada. Rasanya aku belum benar-benar bisa membahagiakannya, namun ayah sudah pergi terlebih dahulu. Beruntungnya aku sempat memeluk tubuh dingin ayah, mencium pipinya, dan mengucapkan salam terakhir sebelum tubuh kaku itu dikebumikan. Sebelum aku tak bisa melihatnya lagi untuk selamanya.

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang