8 - Berbeda.

17 2 0
                                    

Aku mengusap wajahku kasar, mataku terasa berat. Ini adalah tidur paling tidak nyaman yang pernah kurasakan. Kasur rumah sakit sungguh tidak nyaman. Seharusnya mereka memberi kasur yang bagus, bukanya kasur yang bisa membuat badan pegal seperti ini.

Tunggu, aku ada di kasur?

Loh, ini bukan ruangan kak Louis.

Aku celingak-celinguk mencari seseorang di ruang ini, namun tidak ada siapapun. Aku melihat tanganku yang terpasang infus. Apa ini, aku tidak sakit. Mereka pikir aku kuda yang harus diikat supaya tidak bisa pergi?

Saat aku hendak membuka pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Terlihat Louis yang sedang melotot menatapku dengan Niall dibelakangnya yang sedang memakan keripik.

Dimanapun dia selalu makan. Tidak bisakah mulutnya beristirahat? Mungkin giginya merengek jika tak diberi makan, atau lidahnya meronta-ronta hingga hampir terlepas. Pemikiran itu membuatku tertawa sendiri.

"Lisa, balik ke kasurmu, kamu harus istirahat. Astaga, apa lo harus dibawa ke rumah sakit jiwa juga karena suka tertawa sendiri." kata Louis sambil memapahku kembali ke kasur. Kurasa cuma Louis seorang kakak yang memanggil adiknya dengan lo-gue.

"Kak, kok aku bisa diginiin sih? Memangnya apa yang mereka pikirin sampai orang tidur aja dipakein diinfus segala, lagian aku nggak bakal kabur pas tidur juga. Lebay banget tau nggak!" aku merengut.

Giliran Louis yang tertawa, bahkan tawanya lebih keras dari tawaku sebelumnya. Tawa Louis membuatku dan Niall ikut tertawa, sungguh tawanya bisa menjadi daya tarik tersendiri.

"Lo tuh udah tidur selama dua hari." kata Niall santai sambil memasukan keripik ke mulutnya. Sedangkan tawa Louis semakin keras.

"Kok bisa, sih?" mereka berdua menertawakan muka bodohku.

Apa-apan sih, mereka adalah orang paling aneh yang hobi ketawa dan mengganggu. Bagaimana bisa selama ini aku tahan hidup bersama mereka.

"Heh, ditanyain juga! Berhenti ketawa atau gue mau tidur lagi, nih?" mereka akhirnya berhenti tertawa.

"Dokter bilang lo dehidrasi, dek. Kecapean juga makanya pingsan lama banget. Dokter kira paling nggak ada sehari, eh kok lebih jadinya lo diinfus. Lo ngrepotin gue tau nggak? Dasar bocah!"

Aku kembali ke kasur menyedihkan itu. Terpaksa aku menidurkan diri karena lebih baik tidur daripada mendengarkan Louis yang sangat menyebalkan. Kadang aku berpikir, bagaimana bisa mulutnya tidak berbusa saat mengatakan 30 kata dengan cepat tanpa berhenti untuk mengambil napas.

Aku menatap Niall yang masih asik memakan keripiknya. Dia bisa tidak sih lebih memperhatikan aku daripada keripik sialan itu. Aku merasa dikalahkan oleh keripik yang tidak seberapa.

Aku memejamkan mataku. Baru terasa kalau tubuhku sangat pegal dan lemas.

"Louis, gue laper." Louis mengangguk dan mengambil makanan hingga dia tersentak seperti mengingat sesuatu.

"Apa tadi lo bilang?" budek banget sih Louis.

"Aku laper kakakku tercinta. Bisa kasih gue makan kagak?" aku menekan kalimat terakhir.

"Permintaan lo yang pertama lo nggak manggil gue kakak atau abang. Dasar durhaka! Terus yang kedua kamu ngomong nggak sopan ke abang. Kamu adik nakal." oh, ternyata dia nggak budek.

"Lah, baru nyadar nih om om." gumamku.

Aku merasakan dahiku disentil. Nggak sakit, cuma kaget aja.

"Apaan lo bilang abang om om?" dia mendelik. Ngeri banget, sih.

"Kak, aku laper." aku merengek sambil menggoyangkan tangannya. Louis terkesiap. Oh, Louis lebih pantas dipanggil kakek rese, karena sifat jahil dan pikunnya sudah mendarah daging.

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang