4 - Balinesia.

25 4 0
                                    

Seperti kata ayah tiga hari yang lalu. Aku bersama keluarga Niall berlibur ke Bali.

Meskipun aku sudah pernah kemari, namun aku tetap tidak bosan mendatanginya. Sedangkan keluarga Niall belum pernah kemari, namun justru aku yang terlihat paling senang.

Bagaimana tidak? Liburan ini bisa mengalihkan kekhawatiranku pada ayah sejenak. Setidaknya ada satu perkataan ayah yang dapat membuatku tenang. Ayah berjanji akan pulang, aku tahu ayah tidak pernah mengingkari janjinya.

Seperti sekarang ini. Aku sedang duduk sambil menikmati indahnya pantai di salah satu tempat di Bali.

"Lis, tempat ini bagus, ya. Airnya jernih, lautnya tenang, pasirnya putih, dan ada kamu." katanya terkagum. Aku langsung menoleh saat dia menyebutku.

"Tempat apapun pasti bakal kerasa indah kalau ada gue. Lo baru nyadar, Yel?" dia tergelak.

"Lo kok nanggepinnya serius sih, gue kan cuma mau gombal."

"Gombalan lo receh, nggak mempan sama gue. Terus apa tadi lo bilang? Omongan lo nggak serius? Berarti lo ngibulin gue dong kalau gue indah?" aku pura-pura marah.

"Mukanya biasa aja keles. Lo mana mungkin bisa marah beneran sama gue." yah, ketahuan deh "Lagian gue nggak bohong kok, kan gue cuma bilang lo kok nanggepinnya serius amat."

"Hehe, Yel kok Bahasa Indonesia gaul lo masih lancar sih? Kan lo udah tujuh tahun di Irlandia? Gue kira bahasa gaul lo bakal ilang." bukan berniat mengalihkan pembicaraan, tapi memang aku mengherankan hal ini.

"Jadi tuh ya, di sana gue punya temen yang sejak umur tiga tahun sampai lulus SMP nya tuh di Indonesia, tapi dia bukan orang Indonesia asli, dia orang inggris yang pernah menetap di Indonesia. Bapaknya juga agen kayak bapak lo. Temen gue sama emaknya tuh dititipin sama saudaranya di Jakarta soalnya bapaknya dapet misi berbahaya." aku terus menyimak cerita Niall yang sangat menarik. "Karena bapaknya nggak mau istri sama anaknya kenapa-kenapa, jadinya terpaksa diumpetin deh. Eh, kok malah pas temen gue umur empat tahun bapaknya udah nggak ada, tapi dia nggak kembali ke Inggris soalnya nyaman di Indonesia dan udah punya temen disana. Sedangkan emaknya dia pulang dulu dong buat ke pemakaman suaminya. Gue cuma tau segitu doang, dia nggak cerita lagi." sedih juga denger cerita temennya Niall. Aku jadi ingat ayah. Beruntungnya nasibku lebih baik dari dia.

"Maka dari itu bahasa gaul lo masih awet karena temenan sama dia?"

"Yap, benar sekali. Dia juga kalau sama gue bilangnya lo gue-an."

"Bagus dong, percakapan kalian nggak bakal dipahamin sama orang sana." aku tergelak.

"Iya, waktu itu gue sama dia kan pertama kali ketemu di Dublin. Nggak sengaja gue denger dia telponan pakai Bahasa Indonesia. Pas dia udah nutup telpon, gue samperin deh, dan akhirnya kita temenan."

"Dia cewek apa cowok?"

"Cowok. Kenapa sih, lo naksir ya?" katanya sambil menyipitkan mata.

"Tau orangnya aja enggak main naksir naksir aja." aku mencibir, nggak terima sebenarnya dibilang begitu. Memangnya aku cewek apaan sekali dengar hal bagus tentang orang lain langsung suka.

"Lis, kapan-kapan lo harus main ke Irlandia buat kenalan sama dia. Siapa tau dia jodoh lo." di sengaja menggodaku.

Tanpa banyak basa-basi lagi aku bangun dan masuk ke warung buat beli es kelapa muda. Kurasakan Niall mengikutiku.

Sebenarnya aku senang kalau bisa ketemu dengan dia. Sekedar tahu wajahnya pun tak apa. Tapi setelah Niall menggodaku seperti itu, membuatku merasa rendah.

"Lo kok beli es nya dua, Yel?"

"Serah gue dong. Haus." katanya sambil bergaya seperti mempromosikan minuman obat panas dalam.

Wrong WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang