BAB 1: POLA KALIMAT

215 10 7
                                    

Sekolah Menengah Atas, latar belakang dari setiap cerita cinta yang dibalut seragam putih kelabu, topi, dasi dan bahkan sabuk hitam yang selalu hilang dua jam sebelum upacara bendera. Tapi sayangnya, riuh merah jambu itu hanyalah bualan dongeng pengantar tidur. Sekolah sebenarnya tak lebih dari tempat berkumpulnya jiwa-jiwa murung yang terkungkung dibalik buku-buku tebal, rantaian peringkat ujian, dan harapan gemilang masa depan.

Pagi ini, diantara beriak cahaya mentari yang berpadu dengan riuh tawa sebelum pelajaran pertama dimulai, seorang lelaki dengan hoodie abu-abunya berjalan gontai. Sesekali, kakinya dengan sengaja menyapa dedauan kering yang luput dari runcing sapu lidi. Ia selalu membenci hal-hal yang rapuh, entah itu daun menguning atau lukanya yang tak kunjung kering.

Seiring dengan nafasnya yang kian memberat, lelaki itu menghentikan langkah dipersimpangan koridor. Matanya bergulir kesembarang arah mencari sesuatu –yang sebenarnya ia sendiri masih ragu. Setelah sekian detik pencarian kosong, manik matanya menangkap seorang gadis berambut panjang yang sedang menatap hampa papan majalah dinding. Wajah gadis itu nampak lebih bersahabat daripada keramaian asing disekelilingnya.

"Permisi." Ucapnya lirih.

Gadis berambut panjang itu menoleh sedikit terkejut, "Iya?" jawabnya sembari mengibarkan senyum.

"Ruang guru dimana ya?"

Mendengar pertanyaan itu, mata cokelat sang gadis menjamah ragu ke tiap badge yang dijahit serampangan pada seragam lelaki dihadapannya. Anak baru, begitu pikirnya. "Lurus aja habis itu belok kiri." Ujarnya sambil menunjuk koridor paling muram disekolah ini, "Mau aku antar, dek?"

Lelaki itu tersenyum tipis saat mendengar panggilan yang dihaturkan untuknya, "Nggak usah, terimakasih." tolaknya halus.

Berkawan dengan berpasang-pasang mata penasaran dan bisik-bisik lirih, ia kembali melangkahkan kaki keujung telunjuk sang gadis. Koridor ini benar-benar semuram yang dilihat. Dindingnya penuh dengan nilai-nilai semester, pengumuman remidi, selebaran perguruan tinggi dan hal-hal memuakkan lainnya.

Lelaki yang terus berjalan gontai itu akhirnya memaku tubuh diambang pintu ruang guru. Ruangan yang dihiasi seragam batik PGRI ini ramai riuh. Disudut ruang, dipangkuan sofa cokelat tua yang bagian tengahnya mengangga, sekelompok guru dengan kening berkerut-kerut melingkar berdiskusi. Disampingnya, dua orang berbalut almamater kampus ternama terlihat sedang susah payah menuangkan teh racikan ke gelas-gelas kaca. Diujung lain, beberapa guru berjajar menatap papan putih yang bertuliskan 'jadwal bimbel kelas 12' dan mengeluh panjang. Sedang sisanya, sedang duduk menyebar dengan kepala menunduk dalam dan berkacamata tebal diantara tumpukan-tumpukan buku tugas, lembar ulangan hingga mekanisme pengembangan silabus.

Lelaki itu berjalan mendekati seorang guru yang nampak sibuk memeriksa tumpukan bola dibawah mejanya. "Selamat pagi, permisi pak." sapanya, "Saya siswa pindahan-"

Guru itu menatapnya sejurus, "Pindahan?" potongnya cepat.

"Dari Kuda Putih."

Seketika guru itu melonjak sumringah, "Loh, Alan? Alan Kuda Putih?"

Mata Alan sekilas jatuh pada sepasang kakinya, "Iya, pak." Jawabnya singkat.

"Loh, kok sudah masuk? Coachmu bilangnya baru masuk minggu depan."

"Sudah baikan, Pak."

Guru itu mengangguk-angguk paham, "Syukur kalau begitu. Ya sudah, sekarang kamu ke Pak Nur sana!" Perintahnya sembari menunjuk seseorang berbalut jaket kulit hitam dengan dagu. "Pak Nur, muridmu!" ujarnya setengah berteriak.

Ketika Semesta Sedang BercandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang