Part 4: Tenang

256 31 0
                                    

Part 4: Tenang

"Just be calm, if you want to solve the problem"


×××××

Pagi yang cerah menyapa Aksa dengan riang, hembusan semilir angin yang sejuk membuat suasana semakin damai dan nyaman. Aksa yang masih memejakan matanya menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya yang besar mengerjap, menyesuaikan bias cahaya yang masuk melalui celah tirai jendelannya.


"Selamat pagi," bisik Aksa datar sambil beringsut duduk di tempat tidurnya. Matanya menjelajah isi kamarnya yang berantakan, ia menghirup udara di sekitarnya rakus, lalu menghembuskannya dengan kesal. Pikirannya bingung, bagaimana cara membereskan semua alat lukisnya, ini sangat kotor. Aksa berangsur turun dari ranjangnya dan mulai membersihkan kamarnya yang terlihat suram dan tidak bernyawa.

Entah kenapa hari ini rasannya sangat ringan bagi Aksa, jiwanya tentram tanpa ada gangguan sedikitpun, bahkan mimpinnya pun terasa indah. Kali ini Aksa menyibak tirai jendela, dan membuka jendelanya serta membersihkan area balkon yang berdebu. Kali ini kamar Aksa begitu terang dan hangat, tidak dingin seperti hari-hari yang lalu.

"Kemana aja gue, sampai nggak tau kalau pemandangan balkon rumah gue, epik banget," ujar Aksa sambil terkekeh pelan. Yah, hari ini Aksa memang masih di rumah, walaupun dirinya merasa tenang, tapi jiwanya masih sedikit paranoid. Niken memaklumi itu, ia berpikir. Mungkin itu hanya hormon remaja yang sedang masa pubertas nya.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aksa sudah menyelesaikan acara bersih-bersih kamarnya, kakinya menyeretnya untuk duduk di balkon kamar. Menikmati udara pagi serta semilir angin yang sejuk. Bau tanah masih terasa menyengat di indera penciuman Aksa, mungkin karena semalam hujan deras, jadi bau tanah bercampur air hujan sangat terasa kental.

"Widih, dah asik banget duduk-duduk santuy," celetuk Niken di depan pintu kamar Aksa. Aksa menoleh, sambil menyunggingkan senyum lebar andalannya. Niken yang disambut hangat pun, ikut tersenyum lega dan senang. "Sini kak," titah Aksa, dan Niken mengangguk mantap sambil berjalan menuju ke bangku yang ada di balkon.

"Nih," ujar Niken sambil menyodorkan segelas susu hangat. Aksa tersenyum hangat sambil berucap terima kasih dan diangguki oleh Niken. "Tumben banget nih kamu bersihin kamar, kesambet apa?" celetuk Niken lembut seraya menatap sekelilingnya.

"Nggak tau juga kak, lagi pengen aja. Hari ini bawaannya nyaman," ujar Aksa ringan, seraya menghirup udara dengan tenang. Niken mengangguk paham lalu matannya menerawang ke atas. "Sa, jujur ya kakak kadang capek sama hidup kakak." Aksa menoleh ke arah Niken, sambil mengangkat sebelah alisnya sebagai kode bertanya 'kenapa?' Niken menghela napasnya lelah tapi tak urung ia tetap tersenyum, "semua kehidupan kakak terasa sangat ditekan sama Ayah Ibu, Sa. Kakak nggak bisa gini terus, semua fasilitas bahkan pergerakan Kakak dibatasi," terang Niken, dia sendiri sadar, seharusnya ia tak mengeluh pada adiknya yang kehidupannya lebih berantakan darinya. Namun Niken juga tidak bisa memendam rasa mengganjal ini sendirian, ia hanya punya Aksa—Sang adik istimewanya— andai Ibu dan Ayahnya dapat memperlakukan anaknya dengan adil, andai saja Aksa mendapat perhatian orang tuanya, Andai saja orang tuanya tidak maniak kerja, dan banyak kata andai yang hanya bisa Niken pendam sendiri.

Aksa menatap sang kakak seraya mengangguk paham, batinnya berbicara sendiri kakak belum tahu hidup Aksa, semua pergerakan, pikiran dan semuannya sudah lama di tekan oleh diri Aksa sendiri. Tapi yang justru keluar dari bibir Aksa hanya, "Everything happens for a reason." Aksa tersenyum lembut. "Mereka pasti punya alasan kenapa nekan Kakak dengan kemauan mereka," ujar Aksa. Yah, setidaknya Aksa bisa sedikit memberi motivasi kepada Kakaknya, dari pada tidak sama sekali. Dirinya tersenyum lega, ternyata ia tidak se-sampah yang orang tua nya kira. Dirinya bisa, harus!

Jiwa Aksa [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang