Terakhir Kali 2 (Ending)

822 76 4
                                    

Setelah mengambil darah 4 kantong milik Ali. Sam dan Galih segera melakukan operasi, mengingat keadaan Prilly yang semakin memburuk.

Gerald, Dava, Zeze, dan Jesa menunggu di depan ruang operasi dengan sabar dan cemas luar biasa, mulut mereka merapalkan doa sebisa mereka. Tanpa Ali, mereka menunggu tanpa Ali. Ia masih di ruang pengambilan darah, karena kondisinya yang sangat lemah dan tidak memungkinkan berjalan, jangankan berjalan, berdiri saja bisa membuat tubuhnya ambruk tanpa bisa dicegah.

"Dav, aku takut," cemas Zeze menatap Dava dengan raut khawatirnya. Dava mengusap pelan pundak Zeze.

"Gak akan terjadi apa-apa," ucap Dava sambil tersenyum kearah Zeze, walau di lubuk hatinya juga tidak merasa yakin dengan ucapannya.

Hampir dua jam mereka menunggu, namun sepertinya tidak ada tanda-tanda keluar. Mereka terus saja merapalkan doa-doa.

Tak!
Tak!
Tak!

Suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di seluruh penjuru ruangan rumah sakit yang hening ini. Semua pasang mata kini terfokus pada pemilik sepatu itu. Dengan pandangan tajam bak elang yang siap menerkam, wanita itu melangkah mendekati Dava.

"Kenapa?" tanya wanita itu dingin, dengan pandangan menusuk. Dava meneguk air liurnya dengan susah payah, sedangkan lainnya sedikit menjauh dari Dava dan wanita itu, mereka memberikan privasi pada keduanya.

"Maaf, Dava gak bisa jagain Lily. Untuk kedua kalinya," ucap Dava menundukkan kepalanya.

"Tatap mata Bunda, Dava!" perintah wanita itu menekankan setiap katanya. Perlahan Dava mendongak, sesuai perintah Bundanya itu.

"Maaf,Bun, Dava, minta maaf," sesal Dava menatap Bundanya dengan sorot penyesalan.

"Lihat! Bukankah kamu sudah berjanji? Kamu akan melin..."

"Bunda! Sudahlah, jangan begitu, Dava juga anak kita," potong seorang pria paruh baya datang dari arah yang sama seperti Mira.

Mira memalingkan wajahnya dari Dava.

Frans menghela nafasnya sejenak, kemudian mendekati mereka berdua.

"Sudah, gak papa," ucap Frans menenangkan Dava sambil menepuk pelan pundaknya.

"Makasih, Ayah," ucap Dava pelan, dijawab anggukan oleh Frans.

Satu jam telah berlalu, dua orang dokter keluar dari ruang operasi bersamaan dengan Ali yang datang dengan wajah pucatnya dan jalannya agak terhuyung. Mereka semua, termasuk Ali mendekati Sam dan Galih scara bersamaan.

"Gimana keadaan anak saya?" tanya Melisa dengan gurat khawatir diwajahnya.

"Maaf, anak anda tidak tertolong, denyut jantungnya sudah berhenti total." Melisa membelalkkan matanya dan seketika ambruk tak sadarkan diri.

"Bunda!"

"Melisa!"

"Tante!"

Teriak Dava, Frans dan Gerald secara bersamaan, dan segera mendekati Melisa. Sedangkan Ali, tubuhnya sudah tumbang kelantai, tak kuat menahan tubuhnya, dia menatap kosong didepannya. Zeze  terduduk dilantai sambil menangis meraung raung, Jesa yang menatap depannya dengan pandangan kosong, dan air yang mengalir dari pelupuk matanya.

"Ini semua pasti salah gue," guman Ali tersenyum hambar.

"Dasar bodoh! Brengsek! Gak becus!" umpat Ali pada dirinya sendiri sambil menyeka kasar air  yang keluar dari matanya.

"Gak! Gak! Prilly masih ada," guman Ali dengan suara kecil. Ali pun bangkit dan menerobos masuk ke dalam ruangan. Ia mengambil tangan dingin Prilly dengan erat, ia meletakkan telapak tangan itu di pipinya.

"Hey! Kamu tampar aku, cepetan!, kamu boleh balas dendam ke aku, tapi gak kek gini caranya. Bangun, kamu harus bangun, setelah itu kamu boleh ngapain aja ke aku, kamu boleh tampar aku sepuas kamu, kamu boleh pukul aku sepuas kamu, atau bahkan kamu boleh bunuh aku, atau kamu mau mutilasi aku hidup-hidup, kamu boleh. Tapi satu, kamu jangan ninggalin aku, aku gak akan bisa. Hey? Bangun, sayang, bangun," racau Ali sesekali menciuk telapak tangan Prilly.

"Please, untuk kali ini, kamu mau kan?"

"Li, udah,Prilly itu udah gak ada, biarin dia tenang," ucap Dava mencoba menarik pundak Ali, namun Ali menepisnya cepat.

"Gak! Prilly gak mati Dav! Dia cuma marah sama gue!" Ali menaikkan suaranya menatap Dava dengan secercah harapan.

"Maaf, jenazah harus segera diurus," ucap Sam mengintrupeksi dua orang suster dan dokter Galih.

"Gak boleh! Dia masih hidup!" cegah Ali menepis tangan seorang suster yang ingin menarik selimut yang tadinya sebatas perut. Dengan cekatan, Dava dan Gerald memegangi tubuh Ali, membuat dirinya membrontak ketika melihat Prilly yang dibawa keluar ruangan.

"Woy! Itu pacar gue! Lo gak boleh bawa dia! Lo mau gue mutilasi, ha?!!" teriak Ali sambil memrontak dari pegangan Dava dan Gerald.

"Lepas! Gue mau nyelametin pacr gue, Dav!," sentak Ali, menatap Dava nyalang. Dengan sekali hentakan Dava melepaskan cekalannya dipundak Ali, membuat Ali terhempas hingga membentur tembok. Dava mencegah Gerald yang ingin membantu.

"Bangsat! Sadar lo Li! Lo yang udah buat Prilly kayak gini! Dan lo yang gak bisa menerimanya?! Hah! Hebat lo, hebat! Lo pantes jadi aktor! Lo pikir, dengan Prilly masih hidup, dia bakalan bahagia? Gak! Dia bakal lebih menderita, apalagi dengan cowok kayak lo!" bentak Dava membuat Ali terdiam.

Dava menarik nafasnya sejenak, kemudian menghembuskan nafasnya perlahan.

"Gue tau, lo nurutin perkataan Rara buat ngelindungin Prilly, tapi gak kek gini caranya Li, dengan cara ini, lo ngebuat Prilly malah menderita. Andai lo bilang dari awal, kalau lo cuma sandiwara, gue yakin, kejadiannya gak bakal kek gini, dan Prilly gak bakalan meninggal" ucap Dava mulai menetralkan suaranya. Ali masih bergeming di tempatnya.

"Maafin aku Pril, aku harap kamu bahagia disana"

End

---------------------------------

Akhirnya selesai juga😀😀😀😀

Tunggu di extra part yah😊😊😊

Sweet But a Little Psycho (COMPLETED✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang