3 - Dia Mirza

152 66 25
                                    

Happy reading!

***

Aku menatap sekolah baruku, salah satu SMA Negeri favorit di Jakarta. Sama seperti SMA Negeri pada umumnya, di sekolahku ini nggak ada yang spesial selain akreditasi A-nya. Aku berusaha keras untuk bisa masuk ke SMA ini. Dari luar saja juga sudah terlihat bagaimana rupanya. Besar, seperti SMA Negeri favorit pada umumnya. Tapi nggak seperti istana yang biasa dipamerkan anak-anak ber-uang banyak di TikTok.

Aku, bersama Papaku, mulai melangkah masuk, melewati gerbang masuk sekolahku. Kemudian kami berdua memperhatikan denah sekolah yang terpampang di sebelah kantor satpam. Di sekolahku itu, gedungnya lumayan banyak. Aku sulit sekali menjelaskannya. Ada delapan gedung, mungkin. Aku nggak begitu pandai membaca peta. Tambahannya, ada satu gazebo, dua kantin, dan satu tempat ibadah.

Setelah selesai, aku langsung mengajak Papaku untuk segera masuk ke sekolah. Aku celingak-celinguk, bingung. Di mana tempat daftar ulangnya? Kemudian kutemukan jawabannya ketika melihat ke satu ruangan yang di depannya sudah ada antrean yang cukup panjang.

Akhirnya, aku, dengan perintah Papaku, mengantre untuk mengambil formulir daftar ulang sekolah. Ya ampun, perasaan aku datangnya sudah pagi, deh, kenapa antreannya sudah sepanjang ini? Van juga belum datang.

Setelah sekitar sepuluh menit mengantre, aku mendapatkan formulir daftar ulangnya. Papa langsung mengajakku duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan -yang kalau aku nggak salah- uks. Setelah mengisi formulir tersebut dengan lengkap dan menempelkan materai 6000 di kertas itu, aku langsung berdiri, berniat untuk mengumpulkan formulir itu. Tapi nggak jadi karena kudengar ada seorang ibu-ibu memanggilku.

“Mbak.”

Aku langsung menoleh. “Kenapa, Bu?” tanyaku.

“Ini, mau nanya. Ini kan disuruh ngisi nomor akte, nah, nomor akte itu adanya di mana, ya?”

Aku langsung menunjuk bagian paling atas akte tersebut. “Tulis aja yang ini, Bu.”

“Oh oke, makasih.” Ibu itu tersenyum.

Aku tersenyum pula. “Sama-sama, Bu.”

Baru saja ingin beranjak, Ibu itu memanggil lagi.

“Nanti ini ditempel materainya satu doang kan, Mbak?”

“Oh enggak, Bu. Dua.”

Ibu itu terbelalak. “Yang benar?”

“Iya, Bu. Di sini sama di sini.” Aku menunjukkan di mana saja letak materai harus ditempelkan.

“Mirza!” panggil Ibu itu.

Aku menoleh, mengikuti pandangan ibu itu.

Seorang laki-laki, yang merasa terpanggil, menoleh pula. Laki-laki itu berkulit sawo matang, tubuhnya juga tinggi. Sepertinya anak laki-laki bernama Mirza itu putra ibu-ibu di depanku ini.

“Kenapa, Bu?” Ia, yang tadinya asyik bermain handphone bersama teman lelakinya, akhirnya menghampiri ibunya.

“Ini, lho, materainya ternyata dua. Kok kamu cuma beli satu?”

“Lah, kan ibu nggak bilang kalau materainya dua,” ia membela.

“Harusnya kamu cek dulu sendiri. Kayak Mbak ini lho, mandiri.” Ibu itu menunjuk ke arahku.

Dia, lelaki itu, menatapku.

Aku hanya meringis, lalu menunduk. Merasa nggak enak karena dijadikan pembanding dengan putra ibu-ibu itu.

“Ya udah, nanti aku beli lagi,” akhirnya ia mengalah.

“Ya udah, cepet ya.”

Ia mengangguk. Kemudian berbincang sebentar dengan temannya yang tadi. Kupikir ia minta antar temannya itu ke fotocopy-an depan sekolah. Tak lama, mereka berdua berlalu.

Axiomatic (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang