17 - Pacarku

86 54 16
                                    

Now Playing : Dia Milikku - Yovie & Nuno

Happy reading!

***

Sejak kemarin, Van tak melemparkan senyum padaku ketika kita bertemu di sekolah. Ah, jangankan melemparkan senyum, memandangku saja enggak. Sejak kemarin pula Mirza nggak mengajakku bicara. Mirza juga hanya melirik bila berpapasan denganku. Kalau aku chat, Mirza sangat lama membalasnya. Dan sekalinya dia membalas chat-ku, jawabannya singkat-singkat sekali.

“Wajar Mirza kayak gitu, mungkin dia merasa nggak dihargai sama lo,” begitu respon Aurel saat kuceritakan masalahku dengan Van dan Mirza. “Wajar juga Malik marah, karena dia ngerasa nggak didengerin sama lo.”

Kemudian, ya sudah. Aku cemberut saja seharian ini. Ini menyebalkan. Padahal ini pertama kalinya aku pacaran, tapi sudah banyak masalah saja. Dan sialnya, masalahku itu sebenarnya kuciptakan sendiri.

Tapi cemberutku akhirnya hilang ketika tiba-tiba Mirza mengajakku makan siang bersama di kantin. Nggak, Mirza nggak langsung mengajakku makan siang dengan menghampiri ke kelasku. Ia menitipkan pesan itu pada seorang perantara yang juga temanku, Lily.

Awalnya, aku ragu untuk menerima ajakannya, takut kalau nanti orang lain berbicara buruk tentangku karena aku makan siang berdua dengan Mirza di kantin. Yah, habisnya aku dan Mirza memang belum pernah berduaan di sekolah. Tapi teman-temanku yang melihatku murung beberapa hari ini akhirnya menyarankanku untuk menerima ajakan Mirza. Kata mereka, ini salah satu cara agar aku bisa berbaikan lagi dengan Mirza. Jadi, di sinilah aku sekarang. Di kantin, pukul 12:00, bersama cowok paling menyebalkan di dunia, yang kemungkinan baru saja kusakiti hatinya kemarin.

“Gue minta maaf, ya, Za.” Kalimat itu adalah kalimat yang pertama kali keluar dari mulutku saat aku bertemu dengan Mirza.

Mirza tersenyum. Untuk kali ini, senyumnya nggak terlihat menyebalkan, justru malah menenangkan. “Udah gue maafin kok, Nad.”

Suasana di antara kami hening sebentar, lalu aku berbicara lagi. “Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue makan bareng di sini?”

Mirza mengernyit, lalu terkekeh. “Emangnya nggak boleh, ya, ketemu pacar sendiri? Kalo ketemu pacar harus ada alesannya gitu?”

Aku menahan senyumku. Mirza itu benar-benar menyebalkan. Baru saja bertemu sudah membuat aku senang. Aku buru-buru meminum es teh manisku dan tanpa sadar, aku tersedak.

“Eh? Lo kenapa? Makanya minumnya, tuh, pelan-pelan. Ngapain buru-buru, sih? Gugup, ya, ada di deket gue?”

“Apaan, sih, Za! Ih.” Aku nggak tau pipiku sudah semerah apa. Mirza hanya terbahak melihat responku, tapi hanya sebentar, karena setelah itu ia lanjut bicara lagi.

By the way, besok, Japanese Club ada acara di daerah Depok.”

Aku berdeham. “Lo mau ikut?”

“Rencananya, sih, gitu.”

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Lalu tersadar akan sesuatu. “Bukannya besok di sekolah juga ada event pramuka, ya?”

Event pramukanya selesai jam 10 siang, Nad. Nanti pas event pramukanya selesai, gue langsung berangkat sama anak-anak yang lain.”

Aku hanya ber-oh panjang.

“Lo mau ikut nggak, Nad?”

Aku terbelalak. “Emangnya yang bukan anak Japanese Club boleh ikut?”

Mirza mengernyit, lalu mukanya berubah jadi muka sok polos yang terlihat menyebalkan. “Boleh, lah. Gue aja yang anak Emak Bapak gue ikut kok.”

“Gue serius, Za!” Aku memekik sambil meninju lengannya.

Axiomatic (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang